"Bisnis Sekuriti" Polri Bersama Investor

by - November 06, 2012

Oleh : Budi Hatees. 
Dipublikasi di Analisa edisi Jumat, 28 Sep 2012 

Apakah Sebuah Kejahatan Bila Industri Minta Didampingi Polri?" Pertanyaan itu menjadi judul tulisan Manosor Panjaitan (selanjutnya MP) di media ini, Analisa edisi 6 September 2012. Ia meniatkan tulisan itu untuk menanggapi tulisan saya, Logika Membela Polisi (Analisa edisi 1 September 2012), dan tulisan Benget Silitonga, "Publik Butuh Reformasi, Bukan Dekorasi Polisi! (Analisa edisi 2 September 2012).
Tulisan berikut mencoba mendiskusikan pokok pikiran yang disampaikan Manosor Panjaitan dalam tulisannya, yakni makna yang terkandung dalam judul tulisan: apakah sebuah kejahatan bila industri minta didampingi Polri. Dari pertanyaan itu, bisa dipahami bahwa MP berpihak pada pengusaha (investor) dan hendak mengatakan "tak ada dosa kalau investor meminta Polri campur tangan dalam mengamankan asset mereka".

Tentu, konteks persoalan bukan perkara "dosa" dan "tidak dosa". Persoalan sesungguhnya tentang posisi Polri sebagai institusi Negara yang harus bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Peran dan tanggung jawab itu sangat konstitusional, termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sah. Sebab itu, bila Polri melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian masyarakat-apalagi anak-anak, seperti yang terjadi di Cintamanis, Sumatera Selatan -sudah pasti tindakan itu bisa disebut inkonstitusional. 

Inkonstitusional sebuah kejahatan dalam berbangsa dan bernegara, ketidakpatuhan terhadap konstitusi nasional yang sudah diakui. Ketidaktundukan terhadap aturan sebagai sebuah orde dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cuma, di negeri ini tindak inkonstitusional tak pernah mendapat sanksi, baik secara hukum formal maupun hukum sosial. Sebaliknya, pelakunya acap dilindungi entah untuk kepentingan apa. Publik tak tahu persis, tapi yang terasa kemudian adalah institusi yang inkonstitusional itu hendak dijaga nama baiknya dan dipelihara citranya. 

Tekanan Masyarakat Sipil

Polri adalah institusi Negara yang kian terpojok oleh tekanan masyarakat sipil, karena acap tak mampu memainkan peran, fungsi, dan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Tri Brata Polri. Tapi, tekanan publik tak mampu membuat Polri mengambil hikmah karena tidak pernah menjadikan kesalahan di masa lalu sebagai inspirasi untuk berbuat lebih baik. Polri malah sibuk merayu publik agar percaya, bahwa Polri senantiasa bekerja dalam koridor yang sudah ditentukan. 

Supaya terlihat sungguh-sungguh, Polri memainkan apa yang disebut sebagai permainan tanda (play of signs) lewat pemalsuan realitas sehingga citra bersih terbangun dengan sendirinya. Yasraf Amir Piliang dalam esainya, "Hantu-Hantu Kebenaran", mengasumsikan permainan tanda oleh Polri dengan cara mereduksi berbagai fakta hukum menjadi realitas-realitas tanda (reality of signs), yaitu tanda-tanda palsu (pseudo signs) untuk melencengkan realitas sebenarnya.

Kematian anak kecil oleh sebutir peluru di Perkebunan Cintamanis, Sumatera Selatan, adalah realitas hukum tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi oleh Polri direduksi menjadi realitas sosial. Polri bermain-main di wilayah administrasi tugas dengan menyebut petugas yang bekerja mengawal aset-aset milik perusahaan tidak dibekali peluru tajam. 

Bagi yang tak paham, pastilah akan menganggukkan kepala. Namun, bagi mereka yang mengerti betul bahwa untuk urusan pemilikan senjata api dan amunisi di negeri ini, diperlukan administrasi yang panjang dan berbelit-belit yang dikeluarkan oleh Polri. Sebab itu, sangat mustahil ada peluru tajam yang merenggut nyawa anak manusia di dalam situasi chaos yang dipenuhi anggota Polri jika pelaksanaan tata administrasi itu berjalan sesuai aturan yang ada. Artinya, senjata api dan amunisi illegal tidak akan beredar di lingkungan masyarakat jika Polri bekerja serius dalam mengawasi peredaran senjata api dan amunisi.

Maka, jika logika berpikir MP yang mengatakan "sangat mungkin rakyat biasa memiliki senjata api" kita kaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang kepemilikan senjata api dan amunisi di negeri ini, sudah tentu Polri adalah entitas yang paling pantas disalahkan atas beredarnya senjata api dan amunisi di lingkungan masyarakat petani. Ketidakmampuan Polri dalam menjaga peredaran senjata api dan amunisi secara bebas di lingkungan masyarakat, satu indikator lain atas bobroknya profesionalisme Polri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Perizinan penggunaan senjata api dan amunisi diawasi secara ketat oleh Polri. Di tingkat kepolisian daerah, tugas dan tanggung jawab itu ada di lingkungan Direktorat Intelkam. Seluruh senjata api yang dipegang publik sipil, baik untuk kepentingan olah raga maupun kepentingan profesi, tercatat dan terdata di lingkungan Polri. Namun, jika ada senjata api dan amunisi yang beredar dan tidak tercatat di Polri, perlu dipertanyakan keberadaannya. Begitu juga halnya kalau ada peluru tajam yang menyebabkan kematian rakyat dan peluru itu tidak tercatat di Polri, hal yang paling pantas dipertanyakan justru "kenapa bisa beredar".

Pada tataran inilah logika berpikir yang disampaikan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo bahwa petugas tidak dilengkapi peluru tajam, merupakan bagian dari strategi permainan tanda. Fakta hokum direduksi Kapolri menjadi realitas-realitas tanda (reality of signs), yaitu tanda-tanda palsu (pseudo signs) untuk melencengkan realitas sebenarnya. Tentu, muncul pertanyaan mendasar kenapa Kapolri menonjolkan logika berpikir yang tidak logis seperti itu?

Kita bisa kembali ke soal awal, terkait keterlibatan Polri dalam menjaga aset-aset milik investor. Di berbagai belahan negeri ini, Polri senantiasa terlibat dan melibatkan diri dalam urus an menjaga aset milik investor. Di belahan Indonesia bagian Timur, Polri harus melibatkan diri untuk mengamankan asset milik perusahaan tambang internasional agar investor besar itu merasa nyaman dalam berbisnis di negeri ini. Di belahan Indonesia bagian Barat, Polri acap diajak terlibat untuk mengamankan aset investor.

Pelibatan Polri didorong oleh banyak faktor, terutama terkait adanya konflik lahan antara investor dengan masyarakat di sekitar. Dalam kasus perkebunan di Cintamanis, Sumatera Selatan, Polri diajak terlibat sebagai pengaman asset perusahaan karena investor merasa tertekan oleh tuntutan masyarakat sekitar terkait konflik kepemilikan lahan. Masyarakat merasa lahan-lahan milik investor merupakan hak mereka yang diambil alih investor secara paksa di masa lalu, lalu berusaha merebut haknya kembali karena merasa situasi zaman mendukung publik untuk mempertahankan hak asasi manusia (HAM) yang melekat dalam dirinya.

Persoalan konflik kepemilikan lahan yang menghadapkan masyarakat pace to pace dengan investor, seharusnya dicarikan solusinya lebih dahulu. Jika terkait pengakuan kepemilikan lahan, sudah tentu terkait dengan legalitas hukum, sehingga solusi yang harus ditempuh sudah bisa dibayangkan. Selama status lahan masih dalam persengketaan, sudah seharusnya kedua belah pihak sama-sama bersabar untuk tidak mengelola lahan konflik tersebut. 

Kenyataan yang terjadi, investor acap tak memiliki kesabaran dan memutuskan meminta perlindungan dari Polri agar menjaga keamanan dan ketertiban dari aset-asetnya. Dengan alasan karyawan hidup dalam balutan rasa takut karena merasa terancam oleh masyarakat sekitar, investor akan melakukan apa saja agar Polri menurunkan anggota di lokasi-lokasi milik investor. Pada tataran inilah Polri akan berubah menjadi lembaga sekuriti (pengaman) aset investor, yang tugas dan tanggung jawabnya lebih dekat sebagai satuan pengaman (satpam) perusahaan. 

Pilihan Polri sebagai sekuriti investor seharusnya bisa dilakukan dengan lebih mengefektifkan satuan-satuan pengamanan yang ada di lingkungan perusahaan tersebut. Atau, jika investor merasa kenyamanan dan keamanannya terganggu, Polri bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebatas mengecek ke lokasi dengan mengirimkan petugas-petugas khusus dan bukan dari lingkungan Direktorat Brigadir Mobil (Brimob). Disamping itu, Polri juga bisa menawarkan gagasan kepada investor agar menyewa perusahaan swasta jasa pengamanan supaya kualitas pengamanan di lokasi asset bisa lebih meningkat. Bukankah Polri juga acap tampil sebagai institusi yang member izin atas beroperasinya perusahaan-perusahaan swasta jasa pengamanan, sehingga sangat paham perusahaan mana yang jasanya cocok untuk dipakai oleh investor.

Tapi, investor tak akan menjatuhkan pilihan terhadap perusahaan jasa pengamanan karena yang terpenting bukan untuk mengamankan. Yang terpenting bagi investor adalah menaruh Polri sebagai "penjaga", sehingga menimbulkan rasa gentar dan jera pada publik bahwa secara hukum investor mendapat dukungan dari Negara. Keberadaan Polri di lingkungan investor dapat diartikan sebagai pamer kekuatan (show of porce) dalam rangka menakut-nakuti masyarakat yang hendak menuntut hak atas lahannya yang diambil-alih investor. ***

Tulisan ini tanggapan untuk Manosor Panjaitan yang mengkritisi tulisan saya.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda