Dipublikasi di Analisa edisi 30 September 2012
Dua tahun lalu, ketika publik yakin Komjen Pol Nanan Soekarna akan menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Pol Bambang Hendarso Daruri yang habis masa jabatannya, tiba-tiba Presiden SBY menetapkan Timur Pradopo sebagai pengganti. Alumni Akpol 1978 menjadi anggota Polri yang tak butuh waktu lama untuk menjadi Jenderal Pol Timur Pradopo, tak sampai hitungan tahun sejak menjadi Kapolda Metro Jaya dengan pangkat Inspektur Jenderal.
Pada 20 Oktober 2010, Presiden SBY kemudian melantik Jenderal Pol Timur Pradopo menjadi orang nomor satu di kepolisian, sementara Komjen Pol Nanan Soekarna yang didukung legislatif menjadi Wakil Kapolri. Tapi, duet Timur-Nanan berbeda dengan duet Kapolri-Wakapolri sebelum-sebelumnya. Para petinggi Mabes Polri ini punya karakter yang bertolak-belakang, Timur sangat tertutup kepada public, sedangkan Nanan lebih terbuka.
Keduanya acap berbeda cara pandang dalam melihat persoalan. Dalam melihat kasus korupsi Proyek Simulator di Koorlantas Mabes Polri, Timur lebih sibuk meminta saran dari mantan-mantan Kapolri dengan menggelar pertemuan di Gedung Mutiara Djokosoetono, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 6 Agustus 2012 lalu. Kita tak tahu persis saran para mantan Kapolri, namun kabar yang menyebar justru lebih banyak membicarakan tentang berbagai regulasi hukum yang akan dikeluarkan terkait berbagai upaya mendistorsi peran dan fungsi Polri di Negara ini.
Sementara Nanan tetap teguh pada peran dan tanggung jawab Polri sebagai institusi penegak hukum terhadap kasus pidana korupsi, karena dugaan korupsi itu sudah lebih dahulu ditangani Polri. Keputusan ini didukung Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Sutarman, sehingga kasus yang ditangani Polri ini tetap ditangani Polri berbekal pada logika bahwa Polri yang lebih dahulu menangani kasus tersebut. Keputusan ini pula yang kemudian memicu pertarungan antara Polri dengan KPK, dimana KPK mendesak agar Polri menyerahkan kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri itu kepada KPK.
*
PERTARUNGAN Polri-KPK terjadi di masa kepemimpinan Jenderal Pol Timur Pradopo. Pertarungan yang sama juga pernah terjadi di zaman kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Daruri, yang lebih dikenal dengan Cicak versus Buaya. Pemicunya sama, yakni adanya anggota Polri yang terlibat kasus korupsi.
Jika di era kepemimpinan Bambang Hendarso Daruri pertarungan KPK-Polri dipicu "nyanyian" Komjen Pol Susno Duaji tentang para perwira korup di lingkungan Polri, pada era kepemimpinan Timur Pradopo dipicu pernyataan KPK yang menetapkan perwira tingi Polri sebagai tersangka dalam kasus korupsi Proyek Mobil Simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri.
Bedanya, pertarungan KPK-Polri di era Bambang Hendarso Daruri tidak sampai melibatkan Presiden SBY sebagai penengah. Pasalnya, Kapolri pada saat itu memiliki sikap tegas untuk tak terpengaruh terhadap isu tentang Cicak versus Buaya, dan tetap menjalankan tugas dan fungsinya selaku penegak hokum. Berbeda dengan Timur Pradopo yang lebih terkesan menghindar dengan tidakadanya sikap tegas, sehingga Presiden SBY harus turun tangan.
Kapolri Timur Pradopo baru bersikap tegas dengan menyatakan Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo bukan tersangka, justru setelah pidato Presiden SBY tersebut. Tapi, pernyataan Kapolri Timur Pradopo itu justru membuat pertarungan Polri-KPK tidak menemukan titik terang, sehingga pidato Presiden SBY tidak memberi solusi yang berarti.
Rebutan untuk menangani kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri masih terus berlangsung, tetapi pertarungan dialihkan ke persoalan yang lebih subtansial peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terkait sistem penegakan hokum di negeri ini menjadi sangat kacau. Di satu sisi Polri tak mau mengeluarkan Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP-3) karena tidak ada alasan hukum untuk mengeluarkan surat tersebut. Sementara KPK ngotot mengambil alih kasus korupsi itu berikut para tersangkanya, termasuk Irjen Pol Djoko Susilo.
*
PERTARUNGAN Polri-KPK akan tetap berlangsung selama gaya kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo masih seperti saat ini. Ketertutupannya yang terkesan seakan-akan menghindari persoalan, bisa meruntuhkan kridibilitas institusi Polri di mata publik. Situasi ini akan membuat program-program Polri yang terangkum dalam grand strategi Polri tidak akan membawa pengaruh apapun terhadap institusi Polri.
Publik tahu persis, terpilihnya Jenderal Pol Timur Pradopo sebagai Kapolri membawa misi dan visi baru Polri sebagai institusi yang akan diterima oleh public. Misi dan visi yang terangkum jelas dalam program-prograam kerja Polri terkait grand strategi dan Reformasi Birokrasi Polri (RBP) yang kini memasuki gelombang kedua. Baik grand strategy maupun RBP merupakan program kerja yang akan membuat institusi Polri menjadi institusi yang disukai dan dipercayai publik.
Sayangnya, setelah dua tahun menjadi Kapolri, penerapan atas grand strategy dan RBP itu belum terlihat hasilnya. Institusi Polri malah terlihat lebih sibuk mengurusi masalah pembenahan-pembenahan internal, tetapi gagap dalam mengatasi persoalan-persoalan public. Dalam hal pelayanan public, misalnya, sistem dan pola manajemen pelayanan publik yang telah dikristalisasi dalam RBP, masih jauh panggang dari api. Polisi di negeri ini belum bisa melayani publik, sebaliknya malah lebih banyak menuntut dilayani public.***
0 #type=(blogger)