Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di Analisa edisi 14 Oktober 2012
Apakah Dewan Kesenian Medan (DKM) itu
penting?
Syahdan,
pada zaman ketika pemerintah begitu hagemonik,
tiga laki-laki -- Ali
Sadikin, Salim Said, dan Goenawan Muhammad—bertemu.. Ketiganya punya gagasan sinting tentang
seni yang mesti disensur. Sensur itu, konon semacam filterisasi, agar seni tak dijadikan
medium bagi pemikiran-pemikiran sosialisme dan komunisme. Maka, ketiga orang yang dikenal sebagai
pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu, merencanakan membentuk sebuah lembaga
yang punya legitimasi untuk mengontrol kreativitas berkesenian para seniman.
Pada
zaman itu, sosialisme dan komunisme
adalah wabah. Semacam bibit penyakit yang mampu melemahkan sebuah
bangsa. Wabah yang oleh pemegang
hagemoni kekuasaan Negara dibangun sebagai momok, serupa mimpi buruk yang akan
menakutkan, lalu disuntikkan ke dalam kesadaran
kognitif setiap warga bangsa melalui sistem pendidikan nasional. Kesenian, yang juga diajarkan dalam dunia
pendidikan, haruslah steril dari nilai-nilai sosialisme dan komunisme. Maka,
ketiga orang yang saat itu dikenal sebagai Gubernur DKI Jakarta (Ali Sadikin),
seniman film (Salim Said), dan penyair (Goenawan Mohammad), merasa
perlu ada lembaga untuk melegitimasi sensur itu.
Sayang, tak seorang
pun di antara mereka yang pernah membayangkan bahwa suatu saat sosialisme atau
komunisme akan hancur dari dunia ini seperti yang terjadi saat ini. Maka, ketika sosialisme dan komunisme yang
menakutkan itu tak lagi menjadi wabah,
apakah lembaga kesenian tersebut masih relevan. Relevan! Setidaknya begitulah jawaban yang diberikan para seniman
di Kota Medan ketika mereka rebut mempersoalkan pentingnya Dewan Kesenian Medan
(DKM). Tapi, kita tak tahu persis, apakah mereka paham bahwa segala upaya untuk mempertahankan
DKM itu sama saja dengan melegitimasi sensur?
Sensur adalah musuh
orang-orang kreatif yang kita sebut seniman. Agak aneh jika seniman, mahluk
kreatif itu, berusaha keras menghidupkan lembaga-lembaga sensur.
Tapi, sesungguhnya,
tidak ada yang aneh dengan soal seperti
ini. Karena lembaga dewan kesenian itu, sejak ketiga orang aneh yang disinggung
di awal tulisan ini merumuskan Dewan Kesenian Jakarta, lembaga itu tidak sepenuhnya bekerja untuk
melakukan sensur. Meskipun Dewan Kesenian Jakarta acap dipakai pemerintah pusat
untuk menyensur dan melarang peristiwa-peristiwa kesenian maupun publikasi karya-karya
kesenian, yang sesungguhnya terjadi
adalah pertarungan mutu karya seni yang tak dilakukan di medan karya seni.
Sensur yang dilakukan
pemerintah pada zaman itu—yang melibatkan Dewan Kesenian Jakarta-- acap
berdasarkan laporan-laporan dari kalangan seniman sendiri yang memiliki rasa
iri berlebihan terhadap kreativitas dan produktivitas berkesenian dari
seniman-seniman yang tak sealiran dengan dirinya. Untuk membunuh kreativitas berkesenian itu,
segelintir seniman mampu membuat apresiasi miring terhadap sebuah karya seni
lewat strategi mengait-kaitkan nilai dalam karya seni itu dengan nilai-nilai
sosialisme dan komunisme.
Tujuannya jelas, bukan
karena nilai-nilai dalam karya seni itu bisa menghancurkan sebuah bangsa. Tapi,
karena kreativitas berkesenian itu sangat luar biasa dan tidak bisa diimbangi
oleh seniman-seniman yang duduk di Dewan Kesenian Jakarta. Para seniman di
Dewan Kesenian Jakarta sebagian besar adalah orang-orang yang tak kreatif, yang
merasa kemampuannya di masa lalu sudah sampai pada puncak sehingga tak merasa
perlu berkreativitas lagi. Mereka hanya perlu mempertegas eksistensi diri,
membangun jaringan seniman dari kalangan seniman-seniman yang mau
dibeatifikasi, sehingga posisi seniman di Dewan Kesenian Jakarta menjadi
semacam “tukan baiat”.
Zaman sudah berubah,
tapi lembaga dewan kesenian tak akan pernah berubah karena fondasi yang
menopang bangunannya terbuat dari kepingan-kepingan rasa iri dan narsisme yang
berlebihan. Para seniman yang duduk di lembaga dewan kesenian adalah
orang-orang yang aji mumpung, yang hanya berorientasi pada kepentingan diri
sendiri. Itulah yang terjadi ketika Dewan Kesenian Jakarta dalam perkembangan
beberapa puluh tahun kemudian, hal yang sama juga terjadi pada lembaga serupa
yang menyebar di seluruh Nusantara.
Sekelompok seniman
yang menjadikan seni bukan sebagai seni, tetapi sebagai medium untuk
menancapkan strategi berkesenian dalam rangka merebut segala kemungkinan untuk
menjadi ikon kesenian secara nasional, berlomba-lomba menjadi pengurus dewan
kesenian. Mereka membentuk jaringan kesenian yang hanya memfasilitasi
anggota-anggota jaringanya dengan orientasi agar karya seni yang diciptakan
seluruh anggota jaringan dapat menjadi ikon kreativitas berkesenian di negeri
ini. Ketika jaringan kesenian yang dibangun Goenawan Mohamad menguasai Dewan
Kesenian Jakarta, yang tampak pada kita adalah seluruh anggota jaringan itu
menjadi ikon kreativitas berkesenian di negeri ini. Di dunia sastra, Ayu Utami
jadi fenomenal karena novelnya, Saman,
menjadi jawara dalam Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta. Di dunia
teater, film, seni rupa, dan lain sebagainya, yang jadi ikon adalah anggota
jaringan kesenian bentukan Goenawan Mohamad.
Jadi, Dewan Kesenian
Jakarta itu hanya alat bagi para seniman untuk mengorbitkan dirinya dan
jaringannya agar menjadi ikon kesenian di negeri ini. Pertarungan memperebutkan
posisi pengurus Dewan Kesenian Jakarta adalah pertarungan politik yang sarat
akan tanda, kekejian, dan tak ada kaitannya dengan upaya membangun kesenian
sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Situasi seperti itu terjadi
dimana-mana dalam perebutan pengurus dewan kesenian, tak terkecuali perebutan
pengurus Dewan Kesenian Medan.
Karena itu, Dewan
Kesenian Medan tidak penting. Yang penting dilakukan para seniman adalah
berkreativitas, berkarya, dan selalu mengajukan pertanyaan yang pernah diajukan
Iwan Simatupang: “Apa lagi karya selanjutnya.” Tentu, simpul seperti ini akan
ditolak para seniman sambil berargumentasi bahwa seniman juga perlu
memperjuangkan agar karya-karya seni bisa dipahami masyarakat. Dan, perjuangan para seniman untuk
memasyarakatkan karya seni tidak bisa berjalan sendiri tanpa fasilitas dari
pemerintah, karena pemerintah diadakan untuk mengurus rakyat termasuk mengurus
karya seni.
Dengan sangat ideal, para seniman kemudian akan
mengutif konstitusi yang dibuat Departemen Dalam Negeri berupa Immendagri Nomor: 5A/1993 tentang Produktivitas Kinerja Kesenian.
Konstitusi itu seakan-akan sebuah pernyataan bahwa para seniman harus wajib
membangun Dewan Kesenian di tingkat kota dan kabupaten, dan menafsirkan
pengukuhan para pengurusnya melalui surat keputusan kepala daerah setempat.
Tafsir atas teks-teks peraturan perundang-undangan tidak sama, dan sesungguhnya
Immendagri itu lebih pantas disikapi sebagai sebuah pernyataan bahwa pemerintah
masih kukuh mempertahankan subtansi dewan kesenian sebagai lembaga sensur.
Pasalnya, Immendagri itu tidak menegaskan secara legitimasi perihal keanggotaan
dalam Dewan Kesenian, dan setiap anggota tak dipersiapkan sebagai pemikir yang
akan membangun kesenian sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Kesenian acap
tumpang-tindih dengan tugas dan tanggung
jawab dinas/instansi di dalam birokrasi.Dalam jajaran pemerintah kota ada lebih
dari satu instansi yang sama-sama mengurusi kesenian: Dishubparsenbud (
pariwisata,seni budaya), Dispora (kepemudaan dan olah raga), bahkan Dinas
pendidikan nasional pun memiliki kewenangan mengurusi kesenian. Tumpang tindih
kinerja semacam ini menjadikan Dewan Kesenian hanyalah semacam event organiser dalam
kesenian.
Artinya, Dewan Kesenian Medan itu hanya semacam
topeng kepada public untuk menunjukkan bahwa pemerintah paham kesenian, dan
karenanya mengerti kebudayaan. Tentu, kita bisa mensejajarkan Dewan Kesenian
Medan dimata elite birokrasi hanya semacam upaya meringankan beban tugas dan
tanggung jawab terkait pengembangan seni dan budaya.
Sekali lagi, masih perlukah Dewan Kesenian Medan
itu. ***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda