Melembagakan Sensur di Medan Sastra

by - October 13, 2012

Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di Analisa edisi 14 Oktober 2012

Apakah Dewan Kesenian Medan (DKM) itu penting?
Syahdan, pada zaman ketika pemerintah begitu hagemonik,  tiga laki-laki -- Ali Sadikin, Salim Said, dan Goenawan Muhammad—bertemu..  Ketiganya punya gagasan sinting tentang seni  yang mesti disensur.  Sensur itu,  konon semacam filterisasi, agar seni tak dijadikan medium bagi pemikiran-pemikiran sosialisme dan komunisme.  Maka, ketiga orang yang dikenal sebagai pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu, merencanakan membentuk sebuah lembaga yang punya legitimasi untuk mengontrol kreativitas berkesenian para seniman.
            Pada zaman itu, sosialisme dan komunisme  adalah wabah. Semacam bibit penyakit yang mampu melemahkan sebuah bangsa.  Wabah yang oleh pemegang hagemoni kekuasaan Negara dibangun sebagai momok, serupa mimpi buruk yang akan menakutkan, lalu disuntikkan ke dalam kesadaran  kognitif setiap warga bangsa melalui sistem pendidikan nasional.  Kesenian, yang juga diajarkan dalam dunia pendidikan, haruslah steril dari nilai-nilai sosialisme dan komunisme. Maka, ketiga orang yang saat itu dikenal sebagai Gubernur DKI Jakarta (Ali Sadikin), seniman film (Salim Said), dan penyair (Goenawan Mohammad),  merasa  perlu ada lembaga untuk melegitimasi sensur itu. 
Sayang, tak seorang pun di antara mereka yang pernah membayangkan bahwa suatu saat sosialisme atau komunisme akan hancur dari dunia ini seperti yang terjadi saat ini.  Maka, ketika sosialisme dan komunisme yang menakutkan itu tak lagi menjadi wabah,  apakah lembaga kesenian tersebut masih relevan.  Relevan! Setidaknya  begitulah jawaban yang diberikan para seniman di Kota Medan ketika mereka rebut mempersoalkan pentingnya Dewan Kesenian Medan (DKM).  Tapi,  kita tak tahu persis, apakah mereka  paham bahwa segala upaya untuk mempertahankan DKM itu sama saja dengan melegitimasi sensur?
Sensur adalah musuh orang-orang kreatif yang kita sebut seniman. Agak aneh jika seniman, mahluk kreatif itu, berusaha keras menghidupkan lembaga-lembaga sensur. 
Tapi, sesungguhnya, tidak ada yang aneh  dengan soal seperti ini. Karena lembaga dewan kesenian itu, sejak ketiga orang aneh yang disinggung di awal tulisan ini merumuskan Dewan Kesenian Jakarta,  lembaga itu tidak sepenuhnya bekerja untuk melakukan sensur. Meskipun Dewan Kesenian Jakarta acap dipakai pemerintah pusat untuk menyensur dan melarang peristiwa-peristiwa kesenian maupun publikasi karya-karya kesenian,  yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan mutu karya seni yang tak dilakukan di medan karya seni.
Sensur yang dilakukan pemerintah pada zaman itu—yang melibatkan Dewan Kesenian Jakarta-- acap berdasarkan laporan-laporan dari kalangan seniman sendiri yang memiliki rasa iri berlebihan terhadap kreativitas dan produktivitas berkesenian dari seniman-seniman yang tak sealiran dengan dirinya.  Untuk membunuh kreativitas berkesenian itu, segelintir seniman mampu membuat apresiasi miring terhadap sebuah karya seni lewat strategi mengait-kaitkan nilai dalam karya seni itu dengan nilai-nilai sosialisme dan komunisme.
Tujuannya jelas, bukan karena nilai-nilai dalam karya seni itu bisa menghancurkan sebuah bangsa. Tapi, karena kreativitas berkesenian itu sangat luar biasa dan tidak bisa diimbangi oleh seniman-seniman yang duduk di Dewan Kesenian Jakarta. Para seniman di Dewan Kesenian Jakarta sebagian besar adalah orang-orang yang tak kreatif, yang merasa kemampuannya di masa lalu sudah sampai pada puncak sehingga tak merasa perlu berkreativitas lagi. Mereka hanya perlu mempertegas eksistensi diri, membangun jaringan seniman dari kalangan seniman-seniman yang mau dibeatifikasi, sehingga posisi seniman di Dewan Kesenian Jakarta menjadi semacam “tukan baiat”.
Zaman sudah berubah, tapi lembaga dewan kesenian tak akan pernah berubah karena fondasi yang menopang bangunannya terbuat dari kepingan-kepingan rasa iri dan narsisme yang berlebihan. Para seniman yang duduk di lembaga dewan kesenian adalah orang-orang yang aji mumpung, yang hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Itulah yang terjadi ketika Dewan Kesenian Jakarta dalam perkembangan beberapa puluh tahun kemudian, hal yang sama juga terjadi pada lembaga serupa yang menyebar di seluruh Nusantara.
Sekelompok seniman yang menjadikan seni bukan sebagai seni, tetapi sebagai medium untuk menancapkan strategi berkesenian dalam rangka merebut segala kemungkinan untuk menjadi ikon kesenian secara nasional, berlomba-lomba menjadi pengurus dewan kesenian. Mereka membentuk jaringan kesenian yang hanya memfasilitasi anggota-anggota jaringanya dengan orientasi agar karya seni yang diciptakan seluruh anggota jaringan dapat menjadi ikon kreativitas berkesenian di negeri ini. Ketika jaringan kesenian yang dibangun Goenawan Mohamad menguasai Dewan Kesenian Jakarta, yang tampak pada kita adalah seluruh anggota jaringan itu menjadi ikon kreativitas berkesenian di negeri ini. Di dunia sastra, Ayu Utami jadi fenomenal karena novelnya, Saman, menjadi jawara dalam Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta. Di dunia teater, film, seni rupa, dan lain sebagainya, yang jadi ikon adalah anggota jaringan kesenian bentukan Goenawan Mohamad.
Jadi, Dewan Kesenian Jakarta itu hanya alat bagi para seniman untuk mengorbitkan dirinya dan jaringannya agar menjadi ikon kesenian di negeri ini. Pertarungan memperebutkan posisi pengurus Dewan Kesenian Jakarta adalah pertarungan politik yang sarat akan tanda, kekejian, dan tak ada kaitannya dengan upaya membangun kesenian sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Situasi seperti itu terjadi dimana-mana dalam perebutan pengurus dewan kesenian, tak terkecuali perebutan pengurus Dewan Kesenian Medan.
Karena itu, Dewan Kesenian Medan tidak penting. Yang penting dilakukan para seniman adalah berkreativitas, berkarya, dan selalu mengajukan pertanyaan yang pernah diajukan Iwan Simatupang: “Apa lagi karya selanjutnya.” Tentu, simpul seperti ini akan ditolak para seniman sambil berargumentasi bahwa seniman juga perlu memperjuangkan agar karya-karya seni bisa dipahami masyarakat.  Dan, perjuangan para seniman untuk memasyarakatkan karya seni tidak bisa berjalan sendiri tanpa fasilitas dari pemerintah, karena pemerintah diadakan untuk mengurus rakyat termasuk mengurus karya seni.
Dengan sangat ideal, para seniman kemudian akan mengutif konstitusi yang dibuat Departemen Dalam Negeri berupa Immendagri Nomor:  5A/1993 tentang Produktivitas Kinerja Kesenian. Konstitusi itu seakan-akan sebuah pernyataan bahwa para seniman harus wajib membangun Dewan Kesenian di tingkat kota dan kabupaten, dan menafsirkan pengukuhan para pengurusnya melalui surat keputusan kepala daerah setempat. Tafsir atas teks-teks peraturan perundang-undangan tidak sama, dan sesungguhnya Immendagri itu lebih pantas disikapi sebagai sebuah pernyataan bahwa pemerintah masih kukuh mempertahankan subtansi dewan kesenian sebagai lembaga sensur. Pasalnya, Immendagri itu tidak menegaskan secara legitimasi perihal keanggotaan dalam Dewan Kesenian, dan setiap anggota tak dipersiapkan sebagai pemikir yang akan membangun kesenian sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Kesenian acap tumpang-tindih  dengan tugas dan tanggung jawab dinas/instansi di dalam birokrasi.Dalam jajaran pemerintah kota ada lebih dari satu instansi yang sama-sama mengurusi kesenian: Dishubparsenbud ( pariwisata,seni budaya), Dispora (kepemudaan dan olah raga), bahkan Dinas pendidikan nasional pun memiliki kewenangan mengurusi kesenian. Tumpang tindih kinerja semacam ini menjadikan Dewan Kesenian hanyalah semacam event organiser dalam kesenian.
Artinya, Dewan Kesenian Medan itu hanya semacam topeng kepada public untuk menunjukkan bahwa pemerintah paham kesenian, dan karenanya mengerti kebudayaan. Tentu, kita bisa mensejajarkan Dewan Kesenian Medan dimata elite birokrasi hanya semacam upaya meringankan beban tugas dan tanggung jawab terkait pengembangan seni dan budaya.
Sekali lagi, masih perlukah Dewan Kesenian Medan itu. ***

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda