Islam yang Terus Dibenturkan

by - September 22, 2012

Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di SUMUT POS edisi 19 September 2012

Sebuah film yang menyalakan rasa marah, Innocence of Moslem, beredar di internet.  Diunggah di YouTube oleh seseorang yang mengaku bernama Sam Bacile pada Juni 2012 lalu. Film yang memojokkan Rasullulloh Muhammad SAW ini, menambah panjang daftar serangan berbentuk propaganda anti-Islam.
Awal September 2012, film berdurasi 14 menit dan dikerjakan asal-asalan itu, memancing kemarahan ummat Islam dimana-mana. Di Lybia, kerusuhan pecah dan menewaskan Dubes AS untuk Libya, John Christopher Stevens, beserta tiga stafnya.

Amerika Serikat kaget. Tentu, V.S. Naipul, yang  menulis Among The Believers: An Islamic Journey (1981), akan manggut-manggut. Tesisnya, bahwa Islam selalu menjadikan amarah sebagai sesuatu yang suci atas nama iman, seakan-akan mendapat pembenaran dengan kejadian ini.

Padahal, kemarahan tak punya agama. Kemarahan lekat dengan seluruh ummat manusia. Marah adalah sifat manusia, sama dengan sabar, sedih,atau gembira. Jadi, marah sangat manusiawi. Malah, akan aneh kalau ada orang yang tidak marah sebagai ekspresiatas ketidaksukaan, kekecewaan, ataupun ketidaksetujuan akan suatu hal.

Marah juga hak asasi siapa saja. Karena itu, wajar kalau seorang akan marah ketika kakinya sengaja diinjak orang lain yang bertujuan mengganggu atau bahkan menyakiti. Dan, kemarahan itu, adalah sesuatu yang bisa dipicu oleh sesuatu yang tak disangka-sangka.

Kemarahan di Lybia terkait film Innocence of Moeslim, yang semula berjudul Innocence of Bin Laden,  bukan hal yang tak disangka-sangka. Melainkan sesuatu yang disengaja oleh sekelompok pembuat film amatarin di Kota California, dan diniatkan sebagai gerakan anti-Islam, terutama diarahkan untuk menjatuhkan Bin Laden.

Niat itu berubah setelah film diputar pertama kali di Vine Theater, lalu seseorang mengunggahnya di YouTube dengan judul Innocence of Moslem. Kemudian menyebar kemana-mana, karena niat yang sama untuk merusak citra Islam.

Seperti virus, mungkin serupa wabah, ia menyebar dengan cepat dan membakar kemarahan di berbagai belahan Bumi. Ummat muslim di Mesir dan Libya pun marah, sambil meneriakkan syalawat Nabi.

Ekspresi kemarahan punya banyak wajah. Bergantung karakter masing-masing orang. Ada yang berteriak keras, ada yang hanya mengumpat, ada pula yang marah dengan berbisik atau bergumam.

Tapi, ekspresi kemarahan sudah bisa diduga bentuk wajahnya bila berkaitan dengan sesuatu yang diyakini banyak manusia seperti keyakinan agama Islam.

Islam adalah agama yang selalu dipojokkan, seakan-akan identik sebagai sumber malapetaka. Dalam kurun satu dekade terakhir, Islam senantiasa dipersalahkan. Tapi, sebagai agama samawi, para penganutnya tak serta merta memberi perlawanan.  Islam adalah agama “hablu minan nas” wa “hablu minnalloh”. Agama yang memandang hubungan sesama manusia sebagai perwujudan  atas hubungan manusia dengan Sang Ilahi. Penghargaan terhadap sesama ciptaan Allah sangat tinggi.

Mereka yang anti-Islam, tentu saja belajar banyak tentang Islam. Mereka memahami tingginya penghargaan sesama muslim, dan mustahil memecah belah mereka tanpa sebuah strategi untuk menghancurkan pola pikir mereka. Strategi yang dirancang dari keyakinan atas lemahnya akses ummat Islam terhadap sumber-sumber ekonomi. Strategi itu pun menemukan habitatnya pada lingkungan ummat Islam yang cenderung miskin dan lemah secara ekonomi, yang harus terus-menerus dimiskinkan.

Sebab, bila Islam memiliki akses besar terhadap sumber ekonomi, mereka bisa menjadi kekuatan yang luar biasa. Islam seperti itu pernah lahir di negeri ini, di lingkungan Minangkabau, pada awal abad ke-19. Christine Dobbin dalam bukunya, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, membeberkan kekuatan Padri yang yang luar biasa lebih banyak didorong karena besarnya akses mereka terhadap sumber ekonomi ditopang booming perdagangan kopi untuk ekspor.

Memperluas akses terhadap kopi sebagai komoditas ekspor, mendorong para pejuang Padri melakukan ekspansi hingga ke wilayah Sumatra Utara, dan membungkus rapi orientasi ekonomi itu di dalam apa yang disebut banyak ahli sebagai gerakan “pemurnian” agama Islam.

Padri yang kuat menakutkan bagi Belanda, meskipun akhirnya berhasil ditumpas dengan membuang Tuanku Imam Bonjol. Dalam bukunya, Orang Arab di Nusantara (2010), LWC van den Berg menguraikan tentang paranoia terhadap Islam ini. Dan, kita kemudian tahu, segala sesuatunya berawal dari peristiwa di masa  lalu ketika Imperium Usmania membentang luas dari Afrika sampai Eropa. Kekuasaannya yang besar, ternyata pula mengundang perlawanan dari kekuasaan Kristen di Eropa.

Segalanya bermuara dari kekuasaan, keinginan yang luar biasa untuk berkuasa. Tapi zaman sudah berubah, dan imperium tak bisa dibangun dengan kaki-kaki yang menginjak hak orang lain.

Kolonialisme sudah lama tamat. Kemerdekaan manusia mendapat tempat yang luar biasa. Hak asasi manusia diletakkan di atas segalanya. Tapi, kekuasaan agama Islam terasa bagai membangun imperium baru, meskipun tak ada lagi Khalifah Usmaniah.

Kekuasaan itu mengeristal dalam bentuk penganut agama Islam, ummat yang melimpah dan ada dimana-mana di belahan Bumi. Kehadiran mereka di seluruh benua, tak menyebabkan kehancuran benua bersangkutan.

Sebaliknya, mereka berperan serta-bersama warga-warga asli untuk ambil bagian dalam segala dinamika kehidupan. Samuel P. Huntington menyebut mereka penganut agama Islam itu sebagai pemilik peradaban yang kelak akan berbenturan keras dengan peradaban Barat.Mereka, kemudian disebut kaum fundamentalisme agama Islam, sekalipun yang dirujuk dari kesimpulan itu adalah seluruh ummat Islam. Fundamentalis menjadi semacam citraan buruk, yang membenarkan tesis-tesis kiri tentang Islam, seperti sekelompok penganut agama yang menganggap kekerasan atas nama agama sebagai tindak suci.

Intinya, sejarah Islam yang kuat karena menguasai sumber ekonomi, sejarah yang bagi banyak kalangan harus dikubur dalam-dalam. Dengan mengemasnya sebagai gerakan Islam garis keras, yang acap disebut Wahabbi, pejuang Padri disudutkan sebagai masa lalu Islam di Sumatra Barat yang tak boleh dibangkitkan.

Maka, Islam adalah agama yang harus dimiskinkan. Kemiskinan dalam banyak hal dapat menjadi sumber malapetaka. Mereka akan mudah tersulut emosinya. Tidak sulit mengadu-dombanya. Tidak perlu berpikir keras untuk menyeretnya ke dalam sebuah medan konflik yang keras dan mematikan. Karena Islam, yang miskin itu, gampang marah.

Pencitraan yang buruk, stigmatisasi Islam keras, dan wacana yang diapungkan tentang rentetan korban jiwa manusia di wilayah Sumatra Utara sebagai dampak kekerasaan pejuang Padri, menakutkan bagi sebuah bangsa yang hidup dari mengandalkan keanekaragaman seperti negeri ini. Rasa takut yang memaksa Negara untuk mempersempit akses Islam terhadap sumber-sumber ekonomi, dan hal itu berlangsung terus sejak negeri ini merdeka, apalagi setelah gerakan PRRI dinamai sebagai separatisme. (*)

Penulis Direktur Program dan peneliti di Matakata Institute

You May Also Like

0 #type=(blogger)