Logika Membela Polisi

by - September 01, 2012

Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di Analisa edisi 01 September 2012

Logika-logika polisi untuk membela diri acap tak logis. Begitu juga pembelaan Polri sekaitan penyerbuan Brimob Polda Sumatera Selatan ke Desa Limbang Jaya, Ogan Komering Ilir.
Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo menyebut, tidak ada aparat Korps Bhayangkara yang menggunakan peluru tajam. Padahal, Angga, bocah 12 tahun, tewas tertembak di bagian kepala. Warga lain yang luka tembak dan kritis sedikitnya 5 orang. 

Menariknya, logika yang tak logis itu mampu meredam kasus tersebut. Meskipun belum jelas bagaimana solusi yang dibuat, dan tak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kematian Angga.

Padahal, sudah jelas peluru yang bersarang di kepala Angga itu hanya bisa melesat dari moncong senjata api. Sangat mustahil penduduk Desa Limbang Jaya, yang hidup sebagai petani, memiliki senjata api. Sedang polisi justru identik dengan senjata api, terutama anggota Korps Brimob, apalagi jika kesatuan itu sedang menjalankan tugas mengawal objek vital milik Negara. Petugas-petugas itu, menenteng senjata api di tangan, melangkah dengan derap yang sama, membuat kecut siapa saja yang berniat mengacau di tempat objek vital tersebut.

*

Peristiwa miris kematian Angga bermula ketika manajemen perusahaan perkebunan tebu PT Perkebunan Nusantara VII Cintamanis, melaporkan asset badan usaha milik negara (BUMN) itu berupa pupuk sebanyak 127 ton hilang dicuri warga. Berdasarkan laporan itulah, Polda Sumsel kemudian mengirimkan Brimob untuk melakukan sweeping ke perkampungan warga. 

Entah kenapa untuk urusan masalah kriminalitas pencurian pupuk malah melibatkan Brimob, bukan satuan kerja Reserse Kriminal Umum. Tidak jelas pula prosedur apa yang sedang dijalankan Polda Sumsel, Brimob kemudian melakukan sweeping ke perkampungan penduduk hanya untuk mencari pencuri. 

Padahal, seharusnya polisi mencoba memahami secara logika bagaimana mungkin pupuk sebanyak 127 ton bisa hilang dari lahan Rayon Tiga PTPN VII Cinta Manis. Bukankah jumlah 127 ton itu tak sedikit, dan tentu butuh sarana transportasi khusus untuk mengangkutnya? Tapi, Polri tampaknya tidak membutuhkan logika seperti itu, lalu buru-buru menindaklanjuti laporan manajemen BUMN tersebut seakan-akan ingin menunjukkan bahwa polisi sangat proaktif.

Atau, jangan-jangan soal pupuk hilang ini sesungguhnya hanya sebuah cerita rekayasa. Ini hanya alasan agar polisi bisa merangsek ke perkampungan penduduk, mempertontonkan kekuasaan sambil menenteng senjata api, dan meruntuhkan keberanian penduduk untuk melawan manajemen PTPN VII Cinta Manis. 

Brimob Polda Sumsel adalah alat yang paling cocok untuk menghancurkan keberanian warga, sehingga mereka berpikir dua kali untuk melanjutkan protes terkait sengketa lahan dengan PTPN VII Cintamanis. Ternyata tidak seperti dibayangkan, warga malah melawan hingga terjadi bentrokan. Tentu, perlawanan warga bukan tanpa alasan, terutama jika kita kembali lagi pada peran dan fungsi Polri sebagai salah satu institusi Negara yang bertanggung jawab dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban.

*

Dimana-mana di negeri ini, setiap kali terjadi konflik lahan antara warga dengan perusahaan, entah kenapa selalu menempatkan Brimob sebagai alat perusahaan. Brimob seakan-akan hanya milik perusahaan, membela kepentingan perusahaan, dan memposisikan warga sebagai entitas yang pantas dicurigai karena berpotensi menimbulkan ketidakamanan dan ketidakstabilan. 

Brimob akan melakukan apa saja untuk perusahaan. Menjadi benteng kokoh bagi perusahaan dengan persenjataan lengkap. Aparat Brimob acap menjadi "anjing penjaga" aset-aset perusahaan, yang terkesan kehilangan rasa sosial untuk sedikit perduli dengan nasib masyarakat. Bahkan, Brimob tidak menolak ketika perusahaan akhirnya lepas tangan dan membiarkan Brimob berhadap-hadapan langsung dengan warga. Brimob menjadi wakil perusahaan untuk "menyingkirkan" warga. 

Sebagai bagian dari Korps Bhayangkara, tidak seharusnya Brimob mengedepankan pendekatan kekuasaan keberpihakannya membabi-buta seperti itu. Brimob semestinya berada di tengah-tengah, yakni sebagai institusi negara yang lebih mengedepankan azas praduga tak bersalah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Apalagi jika tugas dan kewajiban itu membuat Brimob harus berhadap-hadapan langsung dengan warga yang merasa haknya direbut, sekelompok orang yang secara psikologis telah dikalahkan oleh sistem dan dipaksa untuk manut. 

Brimob seharusnya memihak pada kebenaran. Jika kebenaran tentang konflik lahan masih sumir, maka Brimob harus tampil sebagai penengah untuk memfasilitasi kedua belah pihak agar bisa menyelesaikan konflik yang ada. 

Sayangnya, Brimob yang selama ini dilibatkan untuk menjaga asset-aset perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara, tidak pernah berusaha untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Brimob justru memperkeruh suasana, membuat warga selalu dicekam rasa takut. 

Tidak jarang, rasa takut warga menjadi kenyataan ketika terjadi bentrokan yang menelan korban jiwa di pihak warga.

*

Masih lekat dalam ingatan ketika kasus Mesuji menyeruak. Sampai hari ini, kematian para petani di Mesuji yang diduga melibatkan anggota Korps Bhayangkara, belum jelas bagaimana penyelesaiannya. Berbagai upaya untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia di Mesuji belum membawa hasil yang memuaskan. 

Kini, kasus yang mirip muncul lagi. Tapi, kembali, seperti ketika menyikapi kasus Mesuji, Polri lebih banyak membela diri dengan logika-logika yang tak masuk akal. Pernyataan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo terkait penggunaan peluru yang tak tajam sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Sebaliknya akan memperkeruh suasana, karena pernyataan itu menunjukkan bahwa Polri akan selalu membela anggota korpsnya. 

Sekalipun Polri melakukan penyidikan atas kasus tersebut, tetapi orientasi Polri bukan hendak membuktikan bahwa anggota Korps Bhayangkara melakukan pelanggaran hukum. Penyidikan oleh Polri yang melibatkan Devisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri lebih diarahkan pada upaya menyidik pelanggaran kode etik kepolisian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. 

Output yang diharapkan Polri sesungguhnya untuk menegaskan bahwa Polri akan menegakkan disiplin dari aparatnya. Bukan untuk membuktikan bahwa aparat polisi melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan kematian warga.

Bukankah Divisi Propam Mabes Polri merupakan lembaga yang selalu akan membentengi Polri dari segala bentuk realitas yang mungkin dapat meruntuhkan citra Polri. Artinya, sekalipun hasil penyidikan nantinya terbukti bahwa peluru anggota Brimob yang menewaskan Angga, sangat pasti pemilik senjata api tersebut yang akan "dikorbankan".

Jika akhir dari kasus penembakan Brimob terhadap warga Desa Limbang Jaya ini hanya untuk menegakkan disiplin di kalangan aparat polisi, bisa dipastikan bahwa kasus serupa akan terus berulang. Brimob akan selalu "diminta" perusahaan sebagai penjaga asset-aset mereka manakala ada konflik dengan warga. Sudah pasti, Brimob akan selalu berpihak kepada perusahaan. ***

Penulis Pengamat masalah kepolisian, peneliti di Matakata Institute.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda