Ketika KPK Menguji Polri
Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di Koran Tempo edisi 10 Agustus 2012
Penetapan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal DS, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan kemudi mobil pada 2011 senilai Rp 189 miliar oleh Komisi Pemberantas Korupsi dinilai banyak kalangan sebagai langkah yang sangat berani. Pujian terhadap KPK semakin melimpah. Sebaliknya, sinisme ditujukan kepada Polri. Sinisme ini mempertanyakan kecakapan Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang menegakkan hukum terhadap tersangka korupsi.
Mungkin benar, Polri, sebagai institusi negara yang memiliki wewenang menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sudah tak cakap lagi. Ketidakcakapan ini telah terindikasi lama, yang membuat pemerintah merasa punya cukup alasan untuk mereduksi kewenangan Polri dalam menegakkan hukum terhadap koruptor dan membagi kewenangan itu dengan KPK dan kejaksaan.
Untuk waktu yang lama, Polri memang sangat "terpukul" oleh reduksi kewenangan itu. Terpukul dan merasa tersaingi oleh keberadaan KPK. Apalagi kalangan internal Polri acap terindikasi dalam kasus korupsi, dari kasus yang diumbar Komjen Susno Duadji, rekening gendut para jenderal, sampai keterlibatan sejumlah perwira Polri dalam kasus Gayus Tambunan.
Polri sibuk membersihkan diri; membangun citra diri sebagai institusi negara yang anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme); merentangkan spanduk-spanduk kampanye "Polri Bebas KKN", dan membuat rambu-rambu di kompleks markas Polri yang isinya berbunyi "Kawasan Bebas KKN".
Sedangkan KPK tidak terlalu risau akan hal itu dan terus membuktikan diri. Banyak kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK. Sedangkan kasus yang diungkap Polri nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk kinerja KPK. Tidak jarang kasus korupsi yang ditangani Polri bagai jalan di tempat.
Sebut saja kasus korupsi APBD Lampung Timur dan Lampung Tengah, yang disidik Kepolisian Daerah Lampung pada 2007, yang melibatkan mantan Bupati Lampung Tengah Andi Achmad Sampoernajaya dan mantan Bupati Lampung Timur Sutono. Dalam penelitian penulis untuk kepentingan tesis atas kasus korupsi ini, terungkap bahwa polisi tidak kunjung menetapkan kedua pejabat itu sebagai tersangka karena keduanya masih aktif sebagai kepala daerah.
Akibatnya, kasus tersebut berlarut-larut dan para tersangka punya banyak waktu untuk menghilangkan barang bukti. Ketika keduanya tak aktif lagi, barulah dijadikan tersangka. Tapi Pengadilan Negeri Tanjungkarang kemudian memberi vonis bebas. Tapi keduanya kembali dinyatakan sebagai terpidana dan harus dipenjara setelah beberapa tahun berlalu. Cuma, Satono sampai sekarang menjadi buron.
Berlarut-larutnya penyelesaian kasus korupsi dana APBD Lampung Tengah dan Lampung Timur terjadi karena Polda Lampung berkali-kali melakukan kesalahan dalam pembuatan berkas acara pemeriksaan (BAP), yang justru ditolak Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Penyidikan dan penyelidikan pun bertele-tele karena Polri belum begitu memahami pasal-pasal yang hendak didakwakan kepada tersangka, sehingga Polri membutuhkan kehadiran beberapa saksi ahli dalam kaitan dengan kasus yang ditangani.
Cara kerja Polri dalam menangani kasus korupsi semakin tak cakap karena aparat di lapangan masih belum memahami substansi kasus korupsi sebagai kasus luar biasa. Pasal-pasal dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi pun membutuhkan penafsiran-penafsiran ulang, terutama terkait dengan definisi kerugian negara dalam kasus korupsi. Polri juga acap mempersoalkan siapa yang paling berhak menetapkan masalah kerugian negara dalam kasus korupsi.
Memang terdengar sangat remeh, tapi kendala dalam penafsiran atas teks-teks hukum berpengaruh terhadap pasal-pasal yang akan didakwakan terhadap tersangka korupsi. Itu sebabnya, mantan Bupati Lampung Tengah dan mantan Bupati Lampung Timur pun akhirnya didakwa bebas dari segala tuntutan hukum.
Ketidakcakapan aparat polisi dalam menangani kasus korupsi ini semakin ruwet ketika banyak kepentingan bermain di sana, ditandai dengan tidak transparannya Polri dalam melakukan penyidikan. Bertolak belakang dengan kinerja Polri, KPK justru sukses mengungkap sejumlah kasus korupsi dan memenjarakan para koruptornya. Keberhasilan tersebut membuat komisi ini menjadi lembaga "super" yang ditakuti. Tidak jarang KPK malah mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani Polri. Akibatnya, tugas dan wewenang Polri tidak hanya direduksi KPK, tetapi juga digantikan oleh KPK.
Karena itu, jika kemudian KPK masuk dalam lingkungan Polri dan mengungkap kasus korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan kemudi mobil pada 2011 senilai Rp189 miliar, hal itu menegaskan betapa institusi Polri, sebagai negara yang juga memiliki wewenang menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, mulai pantas diragukan kewenangannya. Polri sudah tak cakap lagi mengatasi masalah korupsi. Ketidakcakapan ini akan merusak institusi Polri sendiri, sehingga KPK harus turun tangan membentengi Polri dari ulah oknum aparat polisi yang korup.
Memang, Polri memiliki Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri, yang berfungsi sebagai "benteng terakhir" institusi Polri dalam memberantas korupsi di lingkungan Polri. Cuma, sebagai "benteng terakhir", Divisi Propam tampaknya bukan benteng yang kokoh. Pasalnya, Divisi Propam hanya mengurusi masalah kedisiplinan, sangat terkait dengan penegakan Kode Etika Profesi Polri.
Sekalipun dua tahun lalu Divisi Propam Polri gembar-gembor akan memberantas korupsi dari kalangan internal Polri, realitas menunjukkan hingga kini belum terdengar ada kasus korupsi di lingkungan Polri yang berhasil diungkap. Terungkapnya korupsi di Korlantas Mabes Polri hampir tidak ada kaitannya dengan Divisi Propam Polri, meskipun Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengaku juga melakukan investigasi atas kasus serupa.
Persoalannya, penyidikan yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri baru terungkap setelah KPK mendatangi Markas Korlantas Mabes Polri. Bareskrim sendiri ternyata tidak segesit KPK, yang justru sudah menetapkan DS sebagai tersangka. Situasi ini menegaskan betapa Polri dalam menangani kasus korupsi memang kurang cakap, dan sedikit lamban. Barangkali dasar pertimbangan hukum dari Polri berbeda, sehingga Polri tak ikut-ikutan menetapkannya sebagai tersangka.
Tak sukar menebak kenapa Polri tak ikut-ikutan menjadikan perwira tingginya sebagai tersangka: karena Polri lebih melihat persoalan korupsi yang melibatkan perwira tingginya Polri bukan dari perspektif hukum, melainkan dari perspektif etika profesi Polri. Karena itu, sulit membayangkan DS nantinya akan mendapat sanksi hukum sebagaimana layaknya para tersangka korupsi. Pasalnya, kedudukan DS sebagai perwira tinggi Polri yang masih aktif akan membuat Polri menjadikan masalah ini sebagai masalah internal. Sangat pasti, DS hanya akan mendapat sanksi penegakan disiplin di lingkungan Polri sebagaimana Polri pernah memberi sanksi terhadap sejumlah perwira yang terkait dengan kasus Gayus Tambunan. ●
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda