MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Hukum yang Tegak ke Bawah

Dipublikasi di Analisa edisi Selasa, 6 Maret 2012.

Hamdani adalah orang zaman sekarang, buruh pabrik yang polos dan lugu. Ia tahu hak asasi manusia serbasedikit. Ia sedih melihat perlakuan pemilik modal yang "memperbudak" pekerjanya. Tapi ia tak pernah tahu, banyak orang yang tak suka terhadap segala upaya manusia dalam mendapatkan haknya, terutama jika upaya itu berkaitan dengan investasi bisnis.

Hamdani tak punya rasa curiga dalam hidup sekalipun orang menilainya suka protes. Sesungguhnya ia tak sedang protes, tapi segala sesuatu yang disampaikan terlalu lugu kadung dikonsepkan orang sebagai tindak protes. Dan pemilik modal, kelompok yang selalu akan diberi perhatian khusus oleh pemerintah, tidak pernah suka dengan segala kepolosan yang berakhir sebagai penelanjangan. Sebab itu, Hamdani yang polos dan lugu dijadikan pesakitan sebagai tertuduh pencuri sendal di gudang pabrik tempat kerjanya. Pengadilan pun menghukumnya 3 bulan kurungan pada Januari 2002.

Kisah hidup Hamdani sangat menggemparkan. Di zaman ketika publisitas diposisikan sebagai bagian dari propaganda politik, derita Hamdani kemudian mengundang simpati banyak kalangan. Politisi mengubahnya menjadi komoditas politik, kemudian di perdagangkan di pasar politik nasional untuk mengkritisi buruknya cara elite penguasa dalam menegakkan keadilan hukum.

Inilah persoalan yang, sangat mungkin, tidak akan pernah genah di negeri ini. Senantiasa ada ketidakadilan, ketimpangan, dan senantiasa pula pesakitan pastilah mereka yang dianggap lemah. Hamdani, seorang buruh yang memang lemah, kemudian mendapat dukungan publik. Kisahnya melambung jadi bahan diskusi dimana-mana, inspirasi bagi banyak orang untuk mengkritisi penguasa.

Yang menarik kemudian, kisah hidup Hamdani menginspirasi Dedi Setiadi membuat sinetron berjudul "Sandal Bolong untuk Hamdani". Kisah itu menjadi film televisi terbaik dalam Festival Film Indonesia 2004, sekaligus mengukuhkan Dedi Setiadi sebagai sutradara terbaik, serta pemeran Hamdani, Epi Kusnandar, sebagai aktor terbaik. Tapi setelah itu kita tahu, film yang sesungguhnya untuk mempropaganda soal buruknya wajah hukum dan peradilan di negeri ini kepada orang ramai, ternyata tak membuat kasus serupa berhenti.

Kita terenyak menyaksikan AAL, 15 tahun, diinterogasi dan dipukul polisi dengan tuduhan mencuri sandal jepit milik dua anggota Polda Sulawesi Tengah. Laiknya cara polisi bekerja dalam menemukan tersangka, segenap keberanian AAL untuk menyangkal tuduhan dicopoti satu per satu. Dipreteli dengan sangat kasar hingga yang utuh pada dirinya cuma pengakuan bahwa dirinya memang melakukan segala tuduhan itu. Itulah yang ditulis dalam berita acara pemeriksaan (BAP) polisi, yang kemudian dikirim ke pengadilan. AAL diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.

Dasar, memang, para penghukum di pengadilan pada zaman sekarang, mereka tak membutuhkan otak untuk mengetukkan palu. Tak membutuhkan hati untuk menyikapi dakwaan. Sangat mungkin juga tidak membutuhkan mata. Mereka hanya butuh palu itu. Bisa jadi mereka tak paham bahwa palu itu akan merenggut kemerdekaan seseorang. Atau, mungkin, mereka tak paham apa itu kemerdekaan. Atau, mungkin, mereka punya konsep kemerdekaan yang dirumuskan sendiri sambil tertawa.

"Di rumah tahanan," setidaknya begitu defenisi kemerdekaan bagi penegak hukum, "ada juga kemerdekaan yakni ketika narapida berkumpul, tertawa, dan mengorganisasi diri sebagai narapidana".

Tentu saja kemerdekaan para narapidana tidak keliru dipahami sebagai kemerdekaan apabila konsep tentang kemerdekaan hanya sebatas berserikat dan berkumpul, tertawa dan tersenyum. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah sesuatu yang otonom dalam diri manusia. Kemerdekaan yang dilindungi secara konstitusional.

Kemerdekaan Hamdani ada lah kemerdekaan yang lain. Kemerdekaan yang subtansial. Kemerdekaan manusia secara utuh, yang mendorongnya bertanya secara lugu kenapa seseorang harus mendapat perlakuan "semau gue" dari orang lain. Tapi bagi penegak hukum, kemerdekaan seperti itu terlalu lugu, teramat idealis. Kemerdekaan bagi penegak hukum tak berbeda sejak zaman Orde Baru sampai zaman sekarang: tergantung siapa yang memegang palu. Itulah yang memegang kendali, pihak yang berhak menentukan, beberapa lama seseorang harus mendekam di penjara.

Hanya Milik Penegak Hukum

Kemerdekaan hanya milik penegak hukum, menggumpali tangan mereka yang keras dan liat. Di sana tak ada demokrasi sekalipun semua warga bangsa mengelu-elukan pentingnya nilai-nilai demokrasi. Demokrasi tidak berarti apapun bagi mereka, kecuali hanya semacam cita-cita yang untuk mewujudkannya seseorang rela melawan hukum. Orang-orang yang merindukan demokrasi itu, bagi penegak hukum, adalah mereka yang pantas diganjar sesuai hukum karena tindakannya mengganggu keamanan dan ketertiban.

Seperti Hamdani, kasus AAL mengundang simpati publik. Semua orang membicarakannya di dalam setiap kesempatan. Semua orang menunjukkan keprihatinan. Media mempublikasikannya, secara kontinyu. Tiap hari selalu ada cerita baru seputar kasus AAL. Para pengamat kembali memiliki batu loncatan baru untuk mengkritisi masalah penegakan hukum di negeri ini. Polisi pun jadi sorotan, diposisikan sebagai institusi yang kekurangan sendal jepit.

Tapi, derita AAL ini justru semakin memperjelas, betapa publisitas berada di atas segala-galanya. Di zaman sekarang, di dalam euforia demokratisasi yang hanya dipahami dari sisi menguntungkan pribadi-pribadi, baik Hamdani maupun AAL, hanya bagian terkecil dari realitas publisitas itu. Sebagaimana dalam budaya publisitas, mereka akan segera dilupakan apabila ada fakta lain yang lebih menarik perhatian publik. Dan kasus mereka, permasalahan keadilan hukum yang tak kunjung bisa ditegakkan, kembali berlalu.

Kita kembali terenyak ketika nenek berusia 55 tahun, Rasminah, divonis Mahkamah Agung empat bulan 10 hari.

Seperti anjing menggonggong, kafilah berlalu. Padahal, sudah banyak institusi yang dikorbankan, yang dihukum publik karena Hamdani, AAL, Rasminah, dan banyak lagi. Kita tidak tahu kenapa hukum hanya tegak ke bawah, ke rakyat jelata. Sedang ke atas, senantiasa menjadi tontonan yang mengasyikkan seperti sebuah sinetron. Tak tajam, tumpul, dan tak mampu menebas apapun.***

Penulis adalah peneliti di Matakata Institute

No comments

Terima kasih atas pesan Anda