Generasi Korup

by - April 16, 2012

Oleh Budi Hatees

Dipublikasi KORAN TEMPO edisi 20 Maret 2012

Anak muda adalah korban, bo- neka yang merasa dirinya diper- cayai oleh atasannya. Sayang- nya, Wakil Ketua Komisi Pem- berantasan Korupsi Busyro Mu- qoddas menyebut mereka seba- gai hasil regenerasi dan kaderi- sasi koruptor di lembaga peme- rintahan dan partai politik.

Salah satu sajak Toto Sudarto Bachtiar yang pantas dibaca ulang akhir-akhir ini adalah “Pahlawan Tak Dikenal“. Sajak ini bercerita tentang anak muda yang mati dengan sebuah lubang peluru bundar di dadanya. Ceritanya tentang heroisme anak muda yang tak takut mati muda untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada zaman pergerakan, di masa hiruk-pikuk setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, darah anak muda bangsa ini tumpah di tanah. Tak terhitung jumlahnya, darah mereka rembes dari luka-luka bekas peluru di tubuhnya, sedangkan di bibir mereka terukir senyuman.“Senyum bekunya ingin berkata: aku sangat muda,“tulis Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya yang terkenal itu.

Kita memang selalu menghadapi perang. Setelah merdeka, bahkan setelah puluhan tahun merdeka, bangsa ini selalu dalam situasi perang. Sementara sebelumnya kita berperang melawan kolonialisme, akhir-akhir ini musuh yang kita hadapi adalah diri kita sendiri--orangorang yang telah sukses belajar banyak dari kolonialisme sehingga berhasrat besar menghidupkan kolonialisme yang baru. Kolonialisme baru tidak membutuhkan senjata penghancur seperti artileri dan peralatan tempur yang canggih. Hanya dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang andal tentang siapa sesungguhnya yang harus dilawan, sehingga bisa dipahami siapa yang lebih dulu harus dilemahkan.

Dan, kita tahu kemudian, anak muda dengan segenap energi dan emosi mereka yang senantiasa labil merupakan entitas yang pertama kali harus dilemahkan. Inilah yang dilakukan para koruptor di negeri ini, yang melancarkan perlawanan sengit terhadap segala upaya pemerintah dalam menghapus penjajahan oleh tindak pidana korupsi dalam segala dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan melemahkan para anak muda. Koruptor merekrut anakanak muda, memberi mereka harapan yang indah tentang gaya hidup glamor. Kita pun mencatat anak-anak muda muncul di lingkungan aparat pemerintah, memiliki peran besar, sehingga bisa mengakses dana negara dengan mudah. Di lingkungan partai politik, anak-anak muda juga punya tempat khusus, seakan-akan mereka memiliki cukup kemampuan untuk mengelola sebuah partai sebagaimana seharusnya.

Sesungguhnya keberadaan anak muda di dalam institusi-institusi besar itu lebih mirip boneka si Gale-gale di Pulau Samosir. Si Gale-gale muncul di hadapan publik seakan-akan lantaran mampu berdiri sendiri, bergerak sendiri, dan menari tortor, padahal ada tali yang menggerakkannya.

Anak-anak muda di institusi-institusi besar itu tidak pernah menyadari bahwa mereka lebih mirip si Galegale. Ia diberi peran besar, tanggung jawab yang luas untuk menentukan masa depan institusi yang dipimpinnya, tapi kemudian dilemahkan dengan meruntuhkan citra dirinya sebagai entitas yang menyebabkan kerusakan institusi. Mereka, anak-anak muda itu, kemudian mendapat cap sebagai koruptor yang dibiarkan sendiri menghadapi proses peradilan di hadapan para penegak hukum.

Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, sesungguhnya karakteristik anak muda yang digerakkan oleh tali untuk mengeruk dana-dana besar guna membiayai kegiatan partai. Tali-tali dipegang oleh para elite partai yang duduk di lembaga legislatif, yang kemudian mengarahkan sang boneka agar ikut dalam sejumlah tender proyek yang dibiayai dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Bagi publik, sangat mengherankan bagaimana bisa anggota legislatif terlibat dalam urusan proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games. Tapi bukan hal yang mengherankan jika kita memahami bagaimana pertarungan para elite partai politik untuk bisa mengelola anggaran negara. Semuanya berkaitan, juga dengan kedudukan para menteri di lingkungan jajaran birokrat.
Jika menteri berasal dari elite partai, sudah galib bahwa seluruh proyek APBN di lingkungan kementerian itu pasti menjadi hak elite partai si menteri.

Tentu situasi ini memperburuk iklim di lingkungan birokrasi pemerintah. Ketika menteri melanggengkan korupsi dengan membangun jaringannya, para pejabat birokrat akan mengambil kesempatan ikut larut dalam situasi buruk itu. Tentu para pejabat memiliki si Galegale lain yang bisa digerak-gerakkan sesuai keinginan mereka, seperti halnya yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Anak muda adalah korban, boneka yang merasa dirinya dipercayai oleh atasannya. Sayangnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas me nyebut mereka sebagai hasil regenerasi dan kaderisasi koruptor di lembaga pemerintahan dan partai politik. Publik pun sesungguhnya memiliki penilaian yang sama. Bagi publik, terlibatnya sejumlah anak muda sebagai pelaku tindak pidana korupsi menunjukkan korupsi telah beranak-pinak.

Tapi pendapat seperti ini pada akhirnya hanya akan mengandung risiko yang tak remeh terhadap masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita tak bisa menyalahkan anak muda, karena sesungguhnya keterlibatan mereka lebih disebabkan oleh citra mereka yang selama ini paling bersih dari perkara korupsi.

Sejak persoalan korupsi merebak di negeri ini, sebagian besar yang menjadi terpidana kasus korupsi berasal dari generasi tua. Anak-anak muda justru menjadi sosok yang paling bersemangat mengkritik keterlibatan para generasi tua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat anak-anak muda untuk memprotes sosok tua yang tetap ingin tampil, seperti kritik yang diberikan kepada para pensiunan TNI yang ingin menjadi pemimpin, sesungguhnya membawa pengaruh besar.

Para generasi tua secara perlahan-lahan memberi kesempatan kepada generasi muda untuk tampil, tapi pengalaman generasi tua memaksa mereka tidak sepenuhnya memberi peran. Dengan tali-tali di tangan, para generasi tua menggerakkan anak-anak muda yang diberi kesempatan untuk tampil, lalu mengatur mereka sebagai alat demi memenuhi hasrat generasi tua untuk tetap berkuasa.

Pada tataran inilah bisa dibilang kedewasaan berpikir dan pengalaman anak-anak muda masih rendah, sehingga mereka terlalu cepat merasa puas atas apa yang didapatnya. Anak-anak muda tidak menyadari sesungguhnya mereka hanya alat dan diperalat. Mereka baru tersentak ketika mulai terjerembap dan ditinggalkan seperti halnya dialami Muhammad Nazaruddin di tubuh Partai Demokrat.

Sesungguhnya perilaku korup tidak bisa dilekatkan pada suatu generasi tertentu. Perilaku korup melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, terhadap anakanak muda yang terlibat korupsi, kita hanya bisa prihatin karena persoalan korupsi belum bisa diatasi di negeri ini sambil mengenang situasi ketika Toto Sudarto Bachtiar menulis sajaknya yang terkenal itu.


Dipublikasi KORAN TEMPO edisi 20 Maret 2012
Link to http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/03/20/index.shtml?ArtId=012_004&Search=Y

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda