Masifikasi Batik

by - April 16, 2012

Oleh Budi Hatees

Terbit di SUMUT POST edisi Sabtu, 3 Maret 2012

BATIK. Membatik sama artinya dengan membuat Indonesia
Lina Kusyanto tak sedang bicara tentang nasionalisme sekalipun ia menyinggung salah satu identitas nasional yakni batik. "Saya ingin memperlihatkan bahwa batik cocok dipakai untuk busana internasional," katanya.

Ia ucapkan itu seusai peragaan busana Batik Keris di Mal Pondok Indah Jakarta, tahun 2011 lalu, dan wartawan mode mencatat omongannya. Tentu, sekalipun terdengar sangat sadar budaya, terutama karena batik Indonesia sudah mendapat pengakuan UNESCO sebagai mata budaya takbenda warisan dunia, jelas ia tak sedang memberikan "peringatan" kepada Malaysia yang mengaku-akui batik sebagai warisan budayanya. Pengusaha batik itu sesungguhnya sedang mengungkapkan prioritas utamanya dalam mengakrabi batik: menjajaki kemungkinan batik dikomersialkan ke pasar internasional.

Bagi para pebisnis, membuka dan memperluas pangsa pasar dari produk-produknya merupakan kewajiban dalam mengembangkan usaha. Tanpa upaya itu, bisnis yang ditekuninya tinggal menunggu kebangkrutan. Bagi para pebisnis pakaian jadi, menjadikan produknya sebagai ikon gaya hidup, salah satunya dilakukan dengan menggelar peragaan busana. Melibatkan para desainer kenamaan, salah satu teknik pemasaran di aras moderen saat ini.

Belakangan para pebisnis batik semakin gencar berpromosi. Mereka melakukan penjajakan berbagai kemungkinan agar batik betul-betul menjadi ikon Indonesia yang bukan hanya bisa diterima publik nasional tetapi juga oleh pasar internasional. Kesibukan mereka ditandai dengan melibatkan para perancang busana kenamaan yang mampu menampilkan karya-karya disain kreatif, sehingga batik tetap senantiasa mengikuti tren mode.  

Bukan perkara bisnis batik yang menjadi soal di sini, melainkan batik itu sendiri yang kini diposisikan sebagai "kain nasional". Sebagai "kain nasional" merujuk pada konsep identitas politik bernama negara-bangsa, harkat batik kemudian ditingkatkan menjadi pakaian dinas harian (PDH) di lingkungan birokrasi pemerintah. Swasta juga ikut-ikutan setelah kampanye "Satu Hari Mengenakan Batik".  Maka, suatu hari penuh, kita mendadak menjadi orang Indonesia dengan kadar nasionalisme sangat kental. Dengan batik, semua suku lebur, meskipun tidak akan ada yang bisa menolak bahwa Batik merupakan tradisi kain yang berkembang di Pulau Jawa.

Sebagai identitas nasional, sudah diandaikan bahwa batik mengandung keragaman kain tradisional yang dimiliki kelompok-kelompok budaya yang ada di negeri ini, integrasi dari seluruh nilai-nilai tradisi yang melekat pada khazanah kain tradisi Nusantara. Mungkin Koentjaraningrat tak pernah membayangkan kalau defenisi yang dibuatnya tentang kebudayaan nasional sebagai "puncak-puncak kebudayaan daerah" ternyata dipakai juga untuk menentukan batik sebagai kain nasional. Dengan begitu, batik merupakan "puncak kebudayaan kain" tradisional, sedangkan kain-kain tradisional lainnya berada pada posisi bukan puncak.

Sebagai puncak kebudayaan kain tradisional, sangat pasti, suatu saat batik akan membunuh kain-kain tradisional yang ada di negeri ini. Para pembunuhnya adalah pemilik kain tradisional itu sendiri, tentu tanpa mereka sadari. Diawali dengan kebiasaan mereka memuja batik, lalu ikut serta mengkampanyekan "Satu Hari Mengenakan Batik" sebagai sebentuk tanda nasionalisme kebangsaan. Setelah itu--ini yang paling mempengaruhi--para pemilik kain tradisional itu melihat potensi ekonomi yang begitu besar. Bayangkan apabila semua manusia Indonesia memakai batik, pasti akan mempengaruhi proses produksi batik, kemudian mendorong munculnya industrialisasi batik. Kita bisa mengkalkulasi, apa jadinya sebuah industri yang hasil produksinya dikampanyekan agar dipakai minimal sehari dalam sepekan.

Salah satu dampak yang kini dirasakan, potensi ekonomi yang besar itu telah merasuki isi kepala para elite pemerintah daerah untuk memproduksi batik yang khas daerahnya sendiri. Gagasan itulah yang kemudian akan membunuh kain radisional yang ada. Perhatian pemerintah daerah lebih difokuskan terhadap industrialisasi batik, karena konsumennya sudah pasti, yakni bisa disesuaikan dengan Permendagri Nomor 53 Tahun 2009 yang menetapkan tentang uniformitas PNS kain batik dan kain tradisional lainnya.

Permendagri tentang uniformitas PNS adalah gagasan yang ditawarkan oleh para pejabat pemerintah, elite-elite yang melihat seni dan kebudayaan bukan sebagai nilai atau filsafat hidup masyarakat yang menganutnya, tetapi sebagai tanggung jawab dan beban tugasnya. Tanggung jawab dan tugas yang harus dipikul karena pemerintah pusat telah mengeluarkan regulasi yang intinya bangsa Indonesia harus merasa banggsa atas sesuatu yang mendapat pengakuan UNESCO. Tapi para elite pemerintah, terutama di daerah, menerjemahkan regulasi pemerintah pusat sebagai perintah yang berarti sebagai kewajiban. Maka, di daerah-daerah yang juga memiliki tradisi kain yang khas daerahnya, malah mengkampanyekan "Satu Hari Mengenakan Batik".

Karena tanggung jawab dan beban yang disampaikan pemerintah pusat lewat Permendagri itu, kemudian semua pemerintah daerah menerjemahkan  batik sebagai kewajiban. Mereka pun menerjemahkan batik sebagai kain nasional dengan defenisi bahwa semua daerah harus memiliki batik sebagai identitas bersama, sehingga seluruh daerah kemudian memiliki batik yang sengaja diciptakan sesuai tradisi yang dianut masyarakat calon pemakainya.

Maka, batik yang selama ini menjadi kain tradisional mainstream masyarakat penganut kebudayaan yang ada di Pulau Jawa, kini dimiliki komunitas kebudayaan yang ada di luar mainstream itu. Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Bengkulu, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan daerah lain yang memiliki kain tradisional daerahnya, perlahan-lahan memperkenal batik yang khas daerahnya. Sementara kain-kain tradisional yang sudah ada, tak pernah dipromosikan sedasyat ketika pemerintah daerah mempromosikan batik khas daerahnya.

Inilah yang terjadi di Kota Medan ketika pemerintah kota memberikan pelatihan membuat batik khas Kota Medan kepada masyarakatnya. Pelatihan yang bertujuan meningkat keterampilan dalam membuat batik Medan--yang dikampanyekan begitu luar biasa karena dibiayai dari dana APBD--sebuah kebijakan yang justru menenggelamkan pengrajin ulos. Jangankan pelatihan serupa, perhatian yang begitu besar hampir tak pernah dinikmati masyarakat pengrajin ulos.  

Apa yang sebetulnya ada dalam kepala para elite pemerintahan daerah yang begitu bersemangat memiliki batik khas daerahnya?

Di era otonomi daerah saat ini, para elite pemerintah daerah ternyata tidak punya kemampuan untuk memahami apa itu otonomi daerah. Mereka tidak memperhatikan potensi apa yang ada di daerahnya sendiri, tetapi menyibukkan diri mengadopsi hal-hal lain yang dinilainya bagus yang ada di luar daerahnya. Apalagi jika pemerintah pusat sudah ikut mempromosikan dengan memuji-puji hal yang berhasil itu sebagai sesuatu yang pantas dicontoh oleh daerah lain. Sangat pasti, tidak akan ada penolakan dari daerah atau menimal mengkritisi, jika pemerintah pusat mulai mengkait-kaitkannnya dengan semangat nasionalisme. Nasionalisme yang dikonsep berdasarkan semangat Sumpah Pemuda untuk berikrar bahwa "kain persatuan Indonesia adalah batik".

Para elite pemerintah daerah, justru pada saat masyarakatnya tidak ingin diseragamkan terutama dalam urusan yang sangat personal yakni biologis berupa sandang, malah sibuk untuk membakukan batik sebagai seragam kebersamaan. Lihatlah pegawai negeri sipil (PNS), mereka lebih tampak seperti sekelompok massa yang hanya bisa manut, yang seluruh riwayat hidupnya terdiri dari segala hal yang dibakukan. *

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda