Harmoni Gaya Presiden
KARENA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih markas militer sebagai tempat berpidato menyikapi gesekan dengan Malaysia, public menduga ia akan sangat garang dan berapi-api. Di berbagai pelosok Tanah Air, pidato yang berapi-api itu sangat diharapkan karena semua kalangan sudah gerah dan geram atas keangkuhan Malaysia.
Oleh Budi Hatees
Sayangnya, pidato Kepala Negara sangat datar, cenderung lemah, dan terkesan menghindarkan konflik. Presiden SBY lebih banyak berbicara tentang posisi Indonesia dan Malaysia di kawasan Asia Tenggara sebagai pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. Posisi yang strategis dan memiliki dampak strategis pula terhadap perkembangan perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, situasi yang tanpa konflik dan penuh perdamaian mesti dipelihara.
“Cara kita menangani hubungan Indonesia–Malaysia,” kata Presiden SBY, “akan disimak dan diikuti oleh negara-negara sahabat di kawasan Asia, bahkan oleh dunia internasional. Selama ini sebagai Pendiri ASEAN, Indonesia sering dijadikan panutan di dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di kawasan, maupun di belahan bumi yang lain.”
***
PIDATO Presiden SBY lebih menunjukkan karakteristik kebanyakan orang Indonesia yang memilih menjaga harmoni daripada mempertahankan harga diri. Pidato itu kontradiktif dengan kemarahan rakyat yang terlanjur tersinggung atas keangkuhan Malaysia. Bahkan, secara tidak langsung Presiden SBY berusaha menyampaikan kepada Malaysia bahwa mereka yang pernah demontrasi dan melemparkan kotoran ke Kedutaan Besar Malaysia bukanlah sikap sebagian besar rakyat Indonesia.
Segala persoalan yang selama memicu kemarahan rakyat, mulai dari penistaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia sampai pengambilalihan sejumlah asset bangsa, seolah-olah bukan persoalan besar bagi Presiden SBY. Ini ditandai dengan pujian SBY terhadap Malaysia yang menampung sekitar dua juta TKI, karena hal itu membawa keuntungan bagi Indonesia. Tidak lupa Presiden SBY menyinggung perkara investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) sebanyak 285 proyek berjumlah US$ 1,2 miliar. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 miliar pada tahun 2009 sebagai bukti hubungan ekonomi Indonesia–Malaysia sungguh kuat.
Pidato itu menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak sejalan dengan rakyatnya. Dia mengambil jalan yang berseberangan dengan jalan yang diinginkan rakyat. Jalan yang sesungguhnya menegaskan betapa Republik Indonesia telah menjadi sebuah negara yang lemah dan sangat tergantung terhadap Malaysia. Negara yang tak mampu mempertahankan harga diri di hadapan negara lain yang belakangan merdeka sebagai sebuah bangsa. Negara yang aneh karena sangat bersyukur ketika jutaan rakyatnya yang berstatus TKI hidup dalam tekanan dan dinistakan.
Menjaga harmonisasi di kawasan ASEAN menjadi prioritas utama Presiden SBY. Itulah alasan utama sehingga tidak mengobarkan konfrontasi. Padahal, sikap yang ditunjukkan Malaysia sama sekali tidak memikirkan pentingnya perkara harmoni itu. Malaysia justru menebarkan ancaman, yang menegaskan negara jiran ini lebih siap menghadapi resiko apabila konfrontasi benar-benar terjadi.
***
HARMONI merupakan keselarasan hidup yang berakar pada kapital social masyarakat kita. Namun, ketika harmoni diapungkan pada ranah nasionalisme kebangsaan, persoalannya menjadi lain. Konsep harmoni di sini menjadi factor negative yang memperlemah watak bangsa Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain.
Di zaman Orde Baru, pemegang hagemoni kekuasaan negara senantiasa mengupayakan terjaganya harmoni di lingkungan masyarakat. Namun, harmoni dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk menekan segala bentuk kritik yang dialamatkan kepada pemerintah. Dengan alasan akan mengganggu harmoni yang ada, segala bentuk pembangkangan mesti ditekan dan dihilangkan.
Harmoni diapungkan pemerintah Orde Baru untuk sebagai kontrol terhadap masyarakat. Karena itu, atas nama harmoni Orde Baru melakukan pemandulan terhadap lembaga perwakilan rakyat; melakukan pengalengan kekuatan-kekuatan alternatif melalui penguasaan serikat buruh dan organisasi-organisasi profesi, pelarangan demonstrasi dan pertemuan bahkan pertunjukan seni yang kritis, pembredelan pers, hingga pelanggaran HAM dan kekerasan politik berupa penculikan dan pembunuhan beberapa aktivis yang mengkritisi dan menggugat ketidakadilan Pemerintah Orde Baru. Dengan harmoni, Orde Baru membungkam kebebasan rakyatnya untuk menyatakan kebenaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan cara yang sama, Presiden SBY juga mengutamakan harmoni dalam menggerakkan roda pemerintahan. Berbeda dengan rezim Orde Baru yang melanggengkan kekuasaan dengan harmoni, Presiden SBY mengapungkan harmoni untuk memperkuat citra personalnya. Konsep harmoni dalam pandangan Presiden SBY memiliki dampak negatif berupa sikap konformisme yang besar. Kita menjadi bangsa yang selalu bisa menerima, berkompromi, dan manut atas apa saja perlakuan orang lain.
Karena itu, pidato Presiden SBY bukannya menyelesaikan persoalan antara Indonesia-Malaysia. Malah melahirkan persoalan baru, yang membuat posisi Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa; sebuah “negara adidaya” di wilayah ASEAN, bagi bangsa-bangsa lain merupakan sebuah nonsen. Sebab, negara yang konon “adidaya” itu tidak lebih daripada sebuah negara yang terlalu mengandalkan harmoni. Karena watak itu, negara tersebut cenderung kehilangan kreativitas, tak kritis, dan lemah dalam segala hal.
Oleh Budi Hatees
Sayangnya, pidato Kepala Negara sangat datar, cenderung lemah, dan terkesan menghindarkan konflik. Presiden SBY lebih banyak berbicara tentang posisi Indonesia dan Malaysia di kawasan Asia Tenggara sebagai pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. Posisi yang strategis dan memiliki dampak strategis pula terhadap perkembangan perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, situasi yang tanpa konflik dan penuh perdamaian mesti dipelihara.
“Cara kita menangani hubungan Indonesia–Malaysia,” kata Presiden SBY, “akan disimak dan diikuti oleh negara-negara sahabat di kawasan Asia, bahkan oleh dunia internasional. Selama ini sebagai Pendiri ASEAN, Indonesia sering dijadikan panutan di dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di kawasan, maupun di belahan bumi yang lain.”
***
PIDATO Presiden SBY lebih menunjukkan karakteristik kebanyakan orang Indonesia yang memilih menjaga harmoni daripada mempertahankan harga diri. Pidato itu kontradiktif dengan kemarahan rakyat yang terlanjur tersinggung atas keangkuhan Malaysia. Bahkan, secara tidak langsung Presiden SBY berusaha menyampaikan kepada Malaysia bahwa mereka yang pernah demontrasi dan melemparkan kotoran ke Kedutaan Besar Malaysia bukanlah sikap sebagian besar rakyat Indonesia.
Segala persoalan yang selama memicu kemarahan rakyat, mulai dari penistaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia sampai pengambilalihan sejumlah asset bangsa, seolah-olah bukan persoalan besar bagi Presiden SBY. Ini ditandai dengan pujian SBY terhadap Malaysia yang menampung sekitar dua juta TKI, karena hal itu membawa keuntungan bagi Indonesia. Tidak lupa Presiden SBY menyinggung perkara investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) sebanyak 285 proyek berjumlah US$ 1,2 miliar. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 miliar pada tahun 2009 sebagai bukti hubungan ekonomi Indonesia–Malaysia sungguh kuat.
Pidato itu menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak sejalan dengan rakyatnya. Dia mengambil jalan yang berseberangan dengan jalan yang diinginkan rakyat. Jalan yang sesungguhnya menegaskan betapa Republik Indonesia telah menjadi sebuah negara yang lemah dan sangat tergantung terhadap Malaysia. Negara yang tak mampu mempertahankan harga diri di hadapan negara lain yang belakangan merdeka sebagai sebuah bangsa. Negara yang aneh karena sangat bersyukur ketika jutaan rakyatnya yang berstatus TKI hidup dalam tekanan dan dinistakan.
Menjaga harmonisasi di kawasan ASEAN menjadi prioritas utama Presiden SBY. Itulah alasan utama sehingga tidak mengobarkan konfrontasi. Padahal, sikap yang ditunjukkan Malaysia sama sekali tidak memikirkan pentingnya perkara harmoni itu. Malaysia justru menebarkan ancaman, yang menegaskan negara jiran ini lebih siap menghadapi resiko apabila konfrontasi benar-benar terjadi.
***
HARMONI merupakan keselarasan hidup yang berakar pada kapital social masyarakat kita. Namun, ketika harmoni diapungkan pada ranah nasionalisme kebangsaan, persoalannya menjadi lain. Konsep harmoni di sini menjadi factor negative yang memperlemah watak bangsa Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain.
Di zaman Orde Baru, pemegang hagemoni kekuasaan negara senantiasa mengupayakan terjaganya harmoni di lingkungan masyarakat. Namun, harmoni dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk menekan segala bentuk kritik yang dialamatkan kepada pemerintah. Dengan alasan akan mengganggu harmoni yang ada, segala bentuk pembangkangan mesti ditekan dan dihilangkan.
Harmoni diapungkan pemerintah Orde Baru untuk sebagai kontrol terhadap masyarakat. Karena itu, atas nama harmoni Orde Baru melakukan pemandulan terhadap lembaga perwakilan rakyat; melakukan pengalengan kekuatan-kekuatan alternatif melalui penguasaan serikat buruh dan organisasi-organisasi profesi, pelarangan demonstrasi dan pertemuan bahkan pertunjukan seni yang kritis, pembredelan pers, hingga pelanggaran HAM dan kekerasan politik berupa penculikan dan pembunuhan beberapa aktivis yang mengkritisi dan menggugat ketidakadilan Pemerintah Orde Baru. Dengan harmoni, Orde Baru membungkam kebebasan rakyatnya untuk menyatakan kebenaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan cara yang sama, Presiden SBY juga mengutamakan harmoni dalam menggerakkan roda pemerintahan. Berbeda dengan rezim Orde Baru yang melanggengkan kekuasaan dengan harmoni, Presiden SBY mengapungkan harmoni untuk memperkuat citra personalnya. Konsep harmoni dalam pandangan Presiden SBY memiliki dampak negatif berupa sikap konformisme yang besar. Kita menjadi bangsa yang selalu bisa menerima, berkompromi, dan manut atas apa saja perlakuan orang lain.
Karena itu, pidato Presiden SBY bukannya menyelesaikan persoalan antara Indonesia-Malaysia. Malah melahirkan persoalan baru, yang membuat posisi Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa; sebuah “negara adidaya” di wilayah ASEAN, bagi bangsa-bangsa lain merupakan sebuah nonsen. Sebab, negara yang konon “adidaya” itu tidak lebih daripada sebuah negara yang terlalu mengandalkan harmoni. Karena watak itu, negara tersebut cenderung kehilangan kreativitas, tak kritis, dan lemah dalam segala hal.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda