Pesawat Terbang
Lantaran anaknya sakit keras dan terbujur kaku di ruang rawat khusus di sebuah rumah sakit pemerintah yang dokternya jarang datang karena banyak praktek di rumah sakit swasta, suatu malam yang larut ia bernazar dalam hati. "Tuhan Yangmahamenyebuhkan, sembuhkanlah penyakit anakku ini. Kalau anakku sembuh, aku berjabji akan memberi makan 20 anak yatim," katanya. Tak terasa, air matanya mengucur deras, serupa anak sungai mengalir di lekuk-likuk urat-urat usia yang membentuk garis-garis pada permukaan wajahnya.
Istrinya yang sedang tertidur di lantai rumah sakit karena kecapaian menjaga anak mereka, terbangun dan mendengar nazar itu. Sambil sesegukan, istrinya mengucap: "Amin, ya Allah!"
Ia kaget mendengar suara "amin" itu dan tersadar ada yang menjadi makmum saat ia berdoa. Ia bertambah semangat karena yakin doa yang dimakmuni akan lebih mudah diizabah. Ia pun melanjutkan doanya, lebih panjang, lebih banyak. Ia pun menyampaikannya sambil tersedu, berurai air mata, sehingga suaranya tidak terdengar jelas. Istrinya mengamini semua doa itu. Dan, setelah ia menutup doanya, ia tatap wajah istrinya. Air mata masih merembes di sana. "Insya Allah, Allah mendengar doa hamba yang membutuhkanNya," katanya.
Istrinya mengangguk, lalu tertidur lagi. Ia sendiri tidak tidur, menjaga kalau-kalau anaknya terbangun dan meminta ini atau itu. Anaknya sering mengigau. Terakhir, igauan anaknya sangat mengagetkannya, karena anaknya mengeluarkan suara seperti seseorang yang sedang menaik pesawat. Dalam hati ia tersenyum, karena ia berpikir anaknya pasti bermimpi berada dalam pesawat. Itu mimpi yang indah, karena ia sendiri belum pernah naik pesawat.
Ia membayangkan sebuah pesawat dan teringat pada keputusan Presiden SBY yang ingin membeli pesawat. Ia memaki dalam hati, betapa tak tahu dirinya Kepala Negara itu. Ia muak pada orang yang tidak memikirkan perasaan orang lain. Sama-sekali tidak punya jiwa sosial. Seharusnya Presiden memikirkan masalah perobatan, masalah rumah sakit, atau soal dokter yang jarang masuk rumah sakit.
Sudah satu pekan anaknya dirawat, baru dua kali dokter datang menjenguk. Pada kunjungan pertama, dokter langsung memvonis bahwa penyakit anaknya parah dan harus dirawat inap. Dokter lalu menyebut nama sebuah penyakit yang susah untuk disebutkan. Bahkan, susah untuk diingat. Tapi ia percaya, karena dokter seorang ahli. Pada kedatangan kedua, dokter hanya melihat sekilas, lalu meresep obat. Ketika resep itu ditebus, jumlahnya ada delapan jenis.
Belakangan ia tahu, setelah salah seorang tetangga yang bekerja di apotek datang menjenguk, bahwa kedelapan item obat itu ternyata multivitamin. "Obat untuk penyakitnya apa?" tanya tetangga itu.
Tentu saja ia tak tahu. Ia tak tahu soal obat. Ia percaya dokter sudah meresepkan obat terbaik. Harganya pun mahal. Tapi, tetangganya itu memberi tahu, harga mahal karena rumah sakit mengambil untung. Padahal, multivitamin sangat murah dan tiap merek selalu sama komposisinya.
Ia terdiam dan merasa ditipu, apalagi kondisi anaknya tak kunjung membaik. Anak itu masih saja terbujur kaku di bangsal rumah sakit. Tak bisa bicara, hanya bola matanya yang selalu berkata-kata. Ia sedih melihat kondisi anaknya. Ia selalu menangis karena itu. Ia berdoa semoga saja para pemimpin negara ini menyadari situasi rumah sakit dan berobat sangat buruk. Tapi, boro-boro, Presiden SBY saja lebih memikirkan membeli pesawat terbang.
Mendadak terdengar suara anaknya mengigau seperti sebelumnya, mengeluarkan suara pesawat terbang. Lalu, suara tawa anaknya menyusul, begitu riang dan renyah. Ia tersenyum. Ia membayangkan anaknya sedang naik pesawat terbang. Ia membayangkan hal-hal yang indah. Ia tersenyum. Tanpa sadar ia tertidur.
Besok paginya ia kaget ketika terdengar jerit tangis istrinya. "Ada apa?" tanyanya.
"Anak kita?"
"Kenapa?"
"Dia pergi."
"Maksudmu...?" Ia menggoncang tubuh anaknya yang terbaring. Tubuh itu kaku. Ia meraung. Ia ingat kejadian semalam. Ia ingat igauan anaknya. Ia baru sadar, semalam anaknya telah pergi bersama pesawat. *
Istrinya yang sedang tertidur di lantai rumah sakit karena kecapaian menjaga anak mereka, terbangun dan mendengar nazar itu. Sambil sesegukan, istrinya mengucap: "Amin, ya Allah!"
Ia kaget mendengar suara "amin" itu dan tersadar ada yang menjadi makmum saat ia berdoa. Ia bertambah semangat karena yakin doa yang dimakmuni akan lebih mudah diizabah. Ia pun melanjutkan doanya, lebih panjang, lebih banyak. Ia pun menyampaikannya sambil tersedu, berurai air mata, sehingga suaranya tidak terdengar jelas. Istrinya mengamini semua doa itu. Dan, setelah ia menutup doanya, ia tatap wajah istrinya. Air mata masih merembes di sana. "Insya Allah, Allah mendengar doa hamba yang membutuhkanNya," katanya.
Istrinya mengangguk, lalu tertidur lagi. Ia sendiri tidak tidur, menjaga kalau-kalau anaknya terbangun dan meminta ini atau itu. Anaknya sering mengigau. Terakhir, igauan anaknya sangat mengagetkannya, karena anaknya mengeluarkan suara seperti seseorang yang sedang menaik pesawat. Dalam hati ia tersenyum, karena ia berpikir anaknya pasti bermimpi berada dalam pesawat. Itu mimpi yang indah, karena ia sendiri belum pernah naik pesawat.
Ia membayangkan sebuah pesawat dan teringat pada keputusan Presiden SBY yang ingin membeli pesawat. Ia memaki dalam hati, betapa tak tahu dirinya Kepala Negara itu. Ia muak pada orang yang tidak memikirkan perasaan orang lain. Sama-sekali tidak punya jiwa sosial. Seharusnya Presiden memikirkan masalah perobatan, masalah rumah sakit, atau soal dokter yang jarang masuk rumah sakit.
Sudah satu pekan anaknya dirawat, baru dua kali dokter datang menjenguk. Pada kunjungan pertama, dokter langsung memvonis bahwa penyakit anaknya parah dan harus dirawat inap. Dokter lalu menyebut nama sebuah penyakit yang susah untuk disebutkan. Bahkan, susah untuk diingat. Tapi ia percaya, karena dokter seorang ahli. Pada kedatangan kedua, dokter hanya melihat sekilas, lalu meresep obat. Ketika resep itu ditebus, jumlahnya ada delapan jenis.
Belakangan ia tahu, setelah salah seorang tetangga yang bekerja di apotek datang menjenguk, bahwa kedelapan item obat itu ternyata multivitamin. "Obat untuk penyakitnya apa?" tanya tetangga itu.
Tentu saja ia tak tahu. Ia tak tahu soal obat. Ia percaya dokter sudah meresepkan obat terbaik. Harganya pun mahal. Tapi, tetangganya itu memberi tahu, harga mahal karena rumah sakit mengambil untung. Padahal, multivitamin sangat murah dan tiap merek selalu sama komposisinya.
Ia terdiam dan merasa ditipu, apalagi kondisi anaknya tak kunjung membaik. Anak itu masih saja terbujur kaku di bangsal rumah sakit. Tak bisa bicara, hanya bola matanya yang selalu berkata-kata. Ia sedih melihat kondisi anaknya. Ia selalu menangis karena itu. Ia berdoa semoga saja para pemimpin negara ini menyadari situasi rumah sakit dan berobat sangat buruk. Tapi, boro-boro, Presiden SBY saja lebih memikirkan membeli pesawat terbang.
Mendadak terdengar suara anaknya mengigau seperti sebelumnya, mengeluarkan suara pesawat terbang. Lalu, suara tawa anaknya menyusul, begitu riang dan renyah. Ia tersenyum. Ia membayangkan anaknya sedang naik pesawat terbang. Ia membayangkan hal-hal yang indah. Ia tersenyum. Tanpa sadar ia tertidur.
Besok paginya ia kaget ketika terdengar jerit tangis istrinya. "Ada apa?" tanyanya.
"Anak kita?"
"Kenapa?"
"Dia pergi."
"Maksudmu...?" Ia menggoncang tubuh anaknya yang terbaring. Tubuh itu kaku. Ia meraung. Ia ingat kejadian semalam. Ia ingat igauan anaknya. Ia baru sadar, semalam anaknya telah pergi bersama pesawat. *
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda