Geliat Pembangunan di Usia Muda

by - June 08, 2011


Usianya masih sangat muda. Itulah Kabupaten Halmahera Timur (Haltim). Jika dihitung sejak dimekarkan dari Kabupaten Halmahera Tengah pada 25 Februari 2003 berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2003, usia itu baru menunjuk angkat 7 tahun.



SEBELUM tujuh tahun lalu, tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat di Kota Maba akan begitu dekat dengan kantor pemerintah. Ketika itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Tengah, dan segala urusan administrasi pemerintahan mesti menempuh jarak cukup panjang untuk sampai ke ibu kota Kabupaten Halmahera Tengah.

Ditambah kondisi infrastruktur jalan raya yang sangat memprihatinkan, urusan administrasi pemerintah banyak yang terkendala. Untuk mengurus kartu tanda penduduk saja butuh waktu yang lama. Namun, sejak Kota Maba menjelma menjadi ibu kota Kabupaten Haltim, masalah jarak segera teratasi.

Masyarakat semakin dekat dengan kantor pemerintah daerah kabupaten, sehingga administrasi pemerintahan menjadi lebih mudah. Komunikasi antara masyarakat di berbagai pelosok dengan pemerintah semakin sering terjalin. Inilah salah satu wujud dari manfaat pemekaran wilayah, dimana kehadiran daerah otonomi baru dapat mengatasi masalah terlalu lebarnya jarak antara rakyat dengan pemerintah.

Manfaat lain yang dirasakan masyarakat adalah daerah otonomi baru itu sendiri, yakni daerah yang memiliki hak otonom untuk menyelenggarakan roda pemerintah baru. Pemerintahan yang dikelola sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada.

Tujuh tahun sudah Kabupaten Haltim menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dalam usia sedini itu, dinamika pembangunan daerah menggeliat dinamis. Segala aspek kehidupan masyarakat bergerak ke arah kemandirian sebagai daerah otonomi baru. Meskipun belum memuaskan bagi masyarakat, tetapi progresivitasnya menunjuk grafik yang terus menanjak.

Dari aspek pemerintahan, Kabupaten Haltim yang semula terdiri dari empat kecamatan (Kecamatan Wasile, Kecamatan Maba, Kecamatan Maba Selatan, dan Kecamatan Wasile Selatan), kini dimekarkan menjadi beberapa kecamatan. Setiap kecamatan merupakan daerah yang kaya akan ragam potensi, meskipun belum banyak dari potensi itu yang dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pemekaran wilayah geografis ke dalam beberapa kecamatan dengan puluhan desa membuktikan bahwa progresivitas pembangunan memang ada dan nyata. Pemekaran wilayah ini makin memperjelas potensi yang ada di setiap daerah.

Sebut saja di wilayah Subaim, ibu kota Kecamatan Wasile. Daerah ini tergolong daerah istimewa di Kabupaten Haltim. Membawahi sedikitnya delapan satuan permukiman (SP) penduduk, merupakan daerah baru yang tercipta dari program transmigrasi nasional, dan dikenal sebagai sentra produksi beras.

Warga transmigran asal Pulau Jawa yang masing-masing 1.000-2.000 orang setiap SP, wilayah tersebut digarap hingga menghasilkan padi 20.665 ton tahun 2002. Jumlah tersebut merupakan hasil tuaian di atas lahan panen 6.885 hektare.

Meski demikian, hasil panen tersebut tidak beredar di Kabupaten Haltim, tetapi justru lari ke Tobelo di Kabupaten Halmahera Utara, tetangganya. Buat para petani, menyeberangi Teluk Kau selama dua jam dengan long boat, angkutan air bagi masyarakat setempat, lebih menguntungkan ketimbang harus ke Kota Maba.

Membawa hasil panen ke Maba bukan perkara mudah. Satu-satunya jalan yang tersedia ke sana, sejauh 41 kilometer, belum layak dilewati. Dari total jalan yang dibuka, sepanjang 247 kilometer, baru 17 persen beraspal. Rute Subaim-Maba tidak termasuk di dalamnya.

Kabupaten ini belum memiliki sarana infrastruktur yang memadai. Demikian pula sarana wilayah lainnya. Meskipun Sungai Sangaji, atau lebih populer disebut Ake Sangaji, mampu mengalirkan 6.000-7.000 liter air per detik, hingga kini masih banyak rumah penduduk belum dialiri air bersih.

Listrik tak kalah langka. Hanya sebagian Kecamatan Maba dan Wasile yang bisa menikmati fasilitas ini. Itu pun 12 jam per hari mulai pukul enam sore hingga enam pagi.

Berkomunikasi jarak jauh dengan penduduk Kabupaten Haltim merupakan perjuangan tersendiri. Hubungan antara satu daerah dengan daerah lain hanya bisa menggunakan telepon satelit yang kualitasnya sangat ditentukan oleh cuaca. Sekarang telepon seluler sudah dapat dinikmati di Subaim dan Buli.

Sebagai daerah agraris, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Mereka yang menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam jumlahnya 86 persen. Selain tanaman pangan, seperti padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kacang kedelai, penduduk menanam pula sayur-sayuran, seperti cabai, terong, kacang panjang, dan bayam. Pisang, jeruk, pepaya, mangga, nangka, dan jambu adalah jenis buah-buahan yang mereka budidayakan, tetapi hasilnya masih terbatas.

Terhadap kegiatan ekonomi Halmahera Timur, lahan perkebunan yang digarap belum kelihatan perannya. Kecuali kelapa, beberapa komoditas lain yang dikembangkan, yakni jambu mete, cengkeh, pala, coklat, dan kopi, produksinya belum memuaskan.

Deretan nyiur yang memagari pesisir pantai sebagian besar bukan jenis hibrida, melainkan kelapa dalam. Meski banyak yang bisa dimanfaatkan dari tanaman kelapa, oleh masyarakat setempat hasilnya hanya dijual dalam bentuk kopra. Biasanya Tobelo dan Ternate menjadi tempat persinggahan sementara sebelum kopra dibawa ke Surabaya.

Tumbuhnya perekonomian kabupaten baru ini pun belum bisa berharap banyak dari hasil perikanan. Meski kecamatan yang ada berhadapan langsung dengan teluk dan lautan lepas dengan kelompok desa nelayan seperti Mabapura, Bicoli, Wayamli, Soakimalaha, Jarajara, Lolobata, dan Fayaul, produksi perairan belum mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat. Padahal, Halmahera Timur terletak di Maluku Utara yang berpotensi besar menghasilkan berbagai jenis ikan pelagis atau ikan permukaan berukuran besar maupun kecil.

Dari seluruh kecamatan, hanya 5 persen penduduk yang berminat menggeluti lapangan usaha ini. Mereka melaut dengan peralatan yang sederhana, seperti pukat pantai, jaring insang, bagang perahu, pancing tonda, rawai, dan bubu. Perahu yang digunakan pun sebagian besar atau 80 persen dari 1.772 adalah perahu tanpa motor. Tuna dan teri adalah jenis ikan yang paling banyak diburu nelayan.

Di usia yang sangat muda, Halmahera Timur belum lengkap dengan berbagai sarana. Bagaimanapun, sektor pertanian-termasuk di dalamnya perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan-akan terus dikembangkan karena sifatnya yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat.

Sebaliknya dalam waktu dekat Haltim masih harus menggali kekayaan tambang. Tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut, galian tambang yang masih mentah langsung dikirim ke luar daerah. Oleh PT Aneka Tambang (Antam), dua kali seminggu, setidaknya 70.000-80.000 ton nikel diangkut ke Pomala di Sulawesi Tenggara, Jepang, Korea, dan Australia.

Dari timbunan nikel itulah roda ekonomi daerah digerakkan. Ada tiga sumber tambang nikel Halmahera Timur. Dua di antaranya di Mabapura dan Buli sudah beroperasi. Sementara Pulau Pakal masih dalam rencana.

Meski cukup berarti terhadap produk domestik regional bruto, dunia pertambangan Haltim belum banyak mengikutsertakan penduduk setempat. Diperkirakan dari 6.400 tenaga kerja yang terlibat dalam usaha penambangan, 30 persen merupakan putra daerah. Masih sedikitnya lapangan usaha dalam menyerap tenaga kerja lokal diakibatkan oleh masalah pendidikan.

Penulis: Budi P. Hatees
Sumber: Tabloid Haltim

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda