Dalam Balut Kematian
Juwono tak lagi melangkah, tapi kini berlari di lorong Rumah Sakit Daerah Kabupaten Toba Samosir itu. Makin lama, larinya makin cepat. Ia menuju ruang mayat, bangunan yang ada di arah utara dari komplek rumah sakit itu. Bangunan itu sendirian di sana, hanya ada sebuah jalan teraso selebar semeter yang menghubungkan bangunan itu dengan bangunan-bangunan lainnya. Selepas lorong, ruang mayat itu pun terlihat. Juwono makin kencang memacu langkahnya.
Di belakang Juwono, Lumongga dan beberapa orang menyusul. Mereka tidak bisa mengejar Juwono. Laki-laki itu bagai kesetanan. Dan, ketika mereka tiba di ujung lorong rumah sakit, mereka mendengar lolong Juwono yang histeris. Lolong yang pilu. Lolong yang hanya akan lahir dari kesedíhan yang luar biasa. Lolong dari rasa kehilangan yang sangat hebat. Dan lolong itu makin memanjang ketika Lumongga tiba di sampingnya, memeluknya dari belakang sambil ikut melolong.
Di hadapan mereka, terbujur dua sosok mayat yang sangat mereka kenali.
*
AKU sudah tak perduli pada Juwono ketika suatu hari kau membawa suratnya kepadaku. Aku sedang menyelesaikan laporan yang harus dikirim siang itu ke lembaga internasional yang membiayai kegiatan NG0 yang kukelola. Katamu surat itu dibawa oleh seorang kawan yang datang dari desa tempat Juwono memutuskan tinggal dan hidup bersama Lumongga, istrinya. Aku bilang apa perduliku pada Juwono.
Juwono meninggalkan luka teramat nganga di hatiku ketika ia bilang akan menikah dengan Lumongga. Sejak itu aku bersumpah tidak akan memikirkannya lagi. Ia selalu berusaha menghubungiku. Aku selalu menolak. Teleponnya tak kuangkat. Ketika aku mulai berhasil melupakannya, kau datang membawa surat itu. “Juwono butuh bantuan,” katamu. “Dia tahu kemampuanmu, dan hanya kau yang bisa membantunya.”
Aku masih bersikeras menolak menerima surat itu. Aku bilang luka yang disebabkan Juwono belum kering betul. Tapi, kau mencoba meyakinkanku bahwa hal ini—pergi ke desa untuk menolong Jowono-- akan membuat lukaku sembuh total. Katamu, Juwono sesungguhnya tidak pernah berpikir ingin menikah dengan aku karena baginya aku adalah adiknya. Sama seperti adik kandungnya. Kalau selama ini Juwono selalu mendampingi aku kemanapun dan semua orang tahu tidak akan pernah ada aku tanpa Juwono atau sebaliknya, semua itu terjadi karena hubungan pekerjaan sebagai sesama aktivis pemberdayaan masyarakat.
”Juwono cerita semuanya padaku. Baginya, kau sudah seperti adik kandungnya sendiri. Itulah perasaannya selama ini padamu,” katamu.
Kata-katamu itu membuatku menangis. Aku sudah mencoba untuk lebih kuat dan menahan agar air mataku tak tumpah, tapi aku gagal. Seketika berlintasan semua hal indah bersama Juwono. Dan, memang, tak pernah sekalipun Juwono membicarakan soal perasaannya padaku. Tak pernah Juwono mengatakan mencintaiku. Aku pun tak cukup berani untuk mengungkapkan isi hatiku. Tapi Juwono selalu ada di sampingku, menemaniku dalam situasi apapun. Ia yang membuat pekerjaanku sebagai pendamping masyarakat menjadi lebih mudah. Ia banyak membantuku sehingga NGO yang kukelola mendapat kepercayaan dari banyak lembaga funding.
”Juwono sangat terpukul ketika kau menolak bertemu dengannya,” katamu.
Kau ingin melanjutkan kalimatmu, tapi aku memintamu berhenti. Aku bilang tak ingin mendengar tentang Juwono. Aku masih kecewa. Aku pun memintamu meninggalkanku. Aku bilang ingin sendiri. Kau mengangguk. Sebelum menutup pintu, kau ingatkan kalau Juwono sedang membutuhkan pertolonganku.
Aku mengibaskan tanganku.
”Pikirkan lagi. Juwono akan terusir dari desa itu. Aku tinggalkan surat ini di sini,” katamu.
Setelah kau pergi, kembali semua hal bersama Juwono terulang. Semua, sejak awal kami berkenalan—itu terjadi sekitar lima tahun lalu-- dan semua yang kami alami bersama begitu indah. Sangat indah. Aku membayangkan Juwono kelak menjadi suamiku. Aku menunggu setiap hari Juwono datang dan mengajakku menikah. Tapi Juwono tak pernah mengajakku menikah. Juwono bahkan tak pernah membicarakan soal hati setiap kali kami berdua. Ia memang sering memujiku, dan pujiannya membuatku melambung. Ia sering menatapku dengan tajam, dan itu membuat tubuhku melayang. Ia acap menyentuh pucuk hidungku, dan itu membuatku selalu terbayang akan dirinya. Sampai hari itu ketika Juwono membawa Lumongga dan mengatakan mereka akan menikah.
”Kami akan tinggal di desa Lumongga untuk selamanya,” kata Juwono.
*
KETIKA kau menelepon, aku sedang bertemu dengan seorang rekan yang baru datang dari Jakarta. Kau bilang sedang dalam perjalanan dari Sipirok—desamu, juga desa Juwono— ke Medan untuk menemuiku. Kau bilang dalam hitungan jam mobil yang membawamu akan sampai. Kau lalu bertanya apakah aku sudah membaca surat dari Juwono. Aku bilang belum, karena surat itu memang belum aku sentuh.
Surat itu masih di tempat semula, dimana kau meletakkannya. Aku tak tertarik membukanya. Aku tidak tertarik untuk mengetahui apa yang menimpa Juwono.
Aku dengar kau menghela nafas. “Tidak bisakah kau memaafkannya?” tanyamu.
“Sudahlah. Aku sedang sibuk.” Aku malah memutus hubungan telepon. Aku kembali mengobrol dengan rekanku. Tidaklah terlalu penting obrolan kami, cuma percakapan mengisi waktu luang tentang hal-hal yang tidak fokus.
Belakangan, sejak kau muncul membawa kabar tentang Juwono, entah kenapa aku punya kebiasaan baru. Aku jarang masuk kantor. Jarang berada di rumah. Jarang menghidupkan telepon. Aku memilih mengunjungi rekan-rekan sesama aktivis. Berdiskusi dengan mereka tentang banyak hal. Aku bisa melakukan hal itu berlama-lama. Aku baru beranjak dan pamit setelah malam. Setiba di rumah, aku langsung istirahat. Begitu juga besok paginya.
Belakangan aku baru menyadari, hal seperti ini pernah aku alami. Itu terjadi beberapa bulan lalu ketika Juwono mengatakan ia akan menikahi Lumongga. Aku berusaha melupakan Juwono dengan mengunjungi rekan-rekan sesama aktivis. Aku tahu, jika aku bertemu mereka, aku pasti lupa banyak hal. Aku juga akan melupakan Juwono.
Dan kini, aku kembali pada kebiasaan itu. Aku sadar, semua kulakukan hanya untuk mengalihkan perhatianku dari Juwono. Kau telah membangkitkan kembali sosok Juwono dalam ingatanku. Aku sudah berhasil melupakannya, tapi kau membangkitkannya kembali.
*
SUATU malam aku pulang dan menemukanmu di beranda. Kau tertidur di sofa dan tersentak ketika aku sentuh pundakmu. “Maaf,” katamu sambil bangkit. “Aku menunggumu dari tadi.”
Aku tak terlalu bereaksi. Tubuhku sangat lelah. Aku duduk di kursi. ”Apa maumu?” tanyaku.
”Masih soal Juwono.”
”Aku tak mau bicara tentang Juwono.”
”Dengarkan aku dulu.”
”Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”
”Tolonglah. Kalau bukan karena Juwono, aku tak akan datang menemuimu.” Kau menarik nafas. ”Hanya kau yang dimiliki Jowono. Kaulah satu-satunya saudara Juwono.”
”Apa maksudmu?”
”Kau bacalah dulu surat itu. Di dalam surat itu, Juwono menjelaskan semuanya. Aku tak bisa menjelaskan apapun, tapi aku tahu Juwono sangat menderita,” katamu.
Kau kemudian bangkit, lalu berpamitan. Kau terlihat sangat kecewa dengan sikapku. Aku tetap tidak perduli. Aku mengikuti langkahmu pergi dan menghilang di keremangan lampu jalan.
Setelah kau pergi, ceritamu tentang Juwono kembali menggangguku. Tapi, letih yang kualami malah membawaku ke tempat tidur. Aku cepat melupakan percakapan denganmu.
Pagi hari, mendadak percakapan denganmu kembali menggangu. Apa yang menimpa Juwono sebetulnya? Tiba-tiba saja aku ingin membaca surat itu. Aku mencari-carinya karena sudah lupa dimana meletakkannya. Aku tak menemukan surat itu sama sekali. Aku membongkar tumpukan surat-surat lama, membongkar laci-laci meja, dan semua tempat yang kuduga suratmu ada. Nyatanya, surat itu betul-betul hilang.
Entah kenapa aku jadi gugup. Percakapan terakhir denganmu begitu menggangguku. Tiba-tiba aku membayangkan telah terjadi sesuatu yang luar biasa pada diri Juwono. Tiba-tiba saja aku membayangkan bahwa kejadian itu sangat fatal. Tiba-tiba saja…ah, pikiranku jadi Macau. Buru-buru aku menelepon ke nomormu. Tapi handphonemu tidak aktif. Aku terus mencoba. Tetap tidak berhasil.
Aku makin gugup. Seharian aku coba terus menghubungimu. Tapi aku tak berhasil.
*
BESOK paginya, entah bagaimana, tiba-tiba mobilku sudah melesat di Jalan Lintas Sumatra menuju Sipirok. Aku tak sadar apa yang telah aku lakukan. Aku baru menyadari setelah mobilku memasuki kawasan Tebing Tinggi. Bagaimana bisa seperti itu? Aku hanya tahu, ketika baru duduk di belakang setir dan siap-siap hendak keluar rumah, mendadak saja aku melihat Juwono berkelebat di hadapanku. Ia berhenti sebentar di depanku, lalu menatapku dengan cara yang ganjil. Hanya sekelebat, kemudian sosok Juwono hilang. Aku pikir Juwono datang kepadaku, lalu aku turun dari mobil dan mencarinya di sekitar rumah. Tapi ia tak ada.
Lama aku bengong dan berpikir keras apakah aku salah lihat atau tidak? Apakah yang telah menimpaku? Tapi, cepat-cepat aku menguasai diri, menarik nafas dalam-dalam. Setelah agak tenang, aku coba membuang bayangan Juwono dari pikiranku. Mobil pun kujalankan.
Mobilku malah bergerak ke arah Jalan Lintas Sumatra, keluar dari hiruk-pikuk Kota Medan. Aku baru menyadarinya setelah tiba di Tebing Tinggi. Mendadak aku meminggirkan mobil dan berhenti. Lama aku diam di belakang setir dan memikirkan apa yang sedang menimpaku. Saat itu juga tiba-tiba aku melihat Juwono kembali berkelebat di depanku. Seperti sebelumnya, ia berhenti sebentar untuk menatapku. Aku terhenyak dan menyandarkan punggung di kursi.
Saat itulah aku teringat percakapan kita yang terakhir. Aku mengeluarkan telepon dan mencoba menghubungimu. Aku ingin tahu apa yang sebetulnya sedang menimpa Juwono. Tapi, seperti sebelumnya, sulit sekali menghubungimu. Aku terus mencoba, tetap saja tidak bisa. Aku ingin menghubungi langsung ke Juwono. Tapi, nomor Juwono sudah terlanjur aku hapus. Aku begitu kecewa padanya, lalu kubuang semua hal yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan, foto-foto kami yang selama ini aku simpan dalam laptop, aku hapus file-filenya. Aku benar-benar tidak ingin lagi memikirkan Juwono.
Aku kembali menghidupkan mesin mobil. Mendadak aku putuskan untuk mendatangi Juwono ke kampungnya di Sipirok. Sepanjang perjalanan, berkali-kali aku merasa melihat Juwono. Kadang ia berdiri di pinggir jalan dan mengikuti laju mobilku, kadang ia berkelebat di hadapanku, dan tidak jarang aku merasa tiba-tiba ia sudah duduk di sampingku. Semakin sering Juwono berkelebat, semakin aku memikirkannya. Semakin aku memikirkannya, semakin khawatir aku padanya.
*
LALU, tiba-tiba, kau sudah berdiri di hadapanku. Bagaimana bisa? Aku tak tahu. Aku menanyakan hal itu padamu. Kau menggeleng. ”Aku juga tidak tahu,” katamu. ”Sejak awal aku menanyakan hal serupa, tapi di sini tak ada seorang pun sampai aku menemukanmu.”
”Aku?” Ada yang aneh dari penjelasanmu. ”Sejak kapan kau berada di sini?”
”Entahlah,” katamu. ”Tak ada jam, aku tak tahu waktu.” Kau menatapku. ”Terakhir aku bertemu denganmu malam itu. Aku sangat kecewa karena kau begitu pendendam. Aku pulang malam itu juga ke Sipirok sambil merancang-rancang alasan apa yang akan saya berikan kepada Juwono kalau ia bertanya tentang dirimu.”
”Kau tidak perlu alasan lagi?” kataku.
”Kenapa?” tanyamu.
”Aku sudah di sini. Aku juga tidak mengerti kenapa. Tiba-tiba saja aku ingin ke Sipirok untuk menemui Juwono. Aku khawatir padanya.”
Tiba-tiba kau tersenyum. ”Berarti kau memaafkannya?” tanyamu.
Aku agak malu, ingat kelakuanku padamu, tapi aku tetap mengangguk. Tiba-tiba kau memelukku, kau begitu bahagia. Aku memintamu melepaskan pelukan. Kau tersadar dan undur selangkah. ”Maaf, aku begitu bahagia,” katamu.
”Kenapa?” tanyaku.
”Entahlah. Aku begitu senang mendengar kau memaafkan Juwono.”
”Apa hubunganmu dengan Juwono?” tanyaku.
Sungguh, aku tak pernah menanyakan ini sebelumnya, meskipun aku kenal denganmu bersamaan dengan kenal Juwono. Kau dan Juwono selalu bersama, lalu tiba-tiba hubungan kalian merenggang karena Juwono lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.
“Kau tidak tahu?” tanyamu.
“Aku tak tahu. Selama ini kau tidak pernah mau ikut bergabung dengan kami. Kau selalu beralasan tidak ingin mengganggu kami.”
Tiba-tiba kau tertawa. “Aku percaya pada Juwono.”
“Percaya? Apa maksudmu?”
“Kau tidak pernah mau mendengarkan penjelasan Juwono. Kau juga tidak pernah membaca suratnya. Juwono menjelaskan semuanya di sana. Semuanya.”
Tiba-tiba aku ingat surat itu. “Aku menghilangkan surat itu,” kataku.
“Jadi, kau belum membacanya.”
Aku menggeleng.
Kau menatapku, begitu dalam. Baru aku tahu, tatapanmu begitu teduh. Mendadak dadaku berdebar.
“Baiklah kalau kau belum membacanya.” Kau menelan ludah. “Juwono ingin minta tolong padamu untuk meyakinkan Lumongga bahwa hubunganmu dengan Juwono hanya sebatas kakak dengan adik. Lumongga tidak percata, dan ia selalu berpikir bahwa Juwono mencintaimu dan tidak pernah mencintainya.”
“Kenapa aku harus melakukan itu?” tanyaku.
”Karena Lumongga adikku.” Kau tertunduk. ”Aku mengajak Juwono ke kampungku di Sipirok dan ia berkenalan dengan adikku. Adikku mencintainya, lalu mereka berhubungan. Semua itu terjadi sebelum Juwono mengenalmu. Mereka sepakat akan menikah.”
”Kenapa Juwono tidak pernah cerita.”
“Karena Juwono tahu kau mencintainya. Juwono sayang padamu sebagai adik dan tidak ingin kau kecewa. Tapi, mau tidak mau dia tetap membuatmu kecewa karena ia harus bicarakan soal pernikahannya. Dia berharap kau ikut bahagia, karena Juwono menganggapmu sebagai adiknya.”
Aku terdiam. Sungguh. Akulah yang keliru menafsirkan. Tidak seharusnya aku mengharapkan Juwono menjadi suamiku.
”Tidak apa-apa. Sekarang sudah jelas bagimu kan?” tanyamu.
Aku menggeleng.
”Apalagi yang belum jelas?”
”Kau sendiri kenapa tidak pernah menceritakan semua ini?” tanyaku.
”Aku tak mungkin ikut campur urusan Kalian. Aku baru ikut campur ketika Lumongga mencemburuimu. Aku sudah mencoba menjelaskan kepada Lumongga, tapi ia menuduhku bersekongkol dengan Juwono. Itu sebabnya Juwono membutuhkanmu menjelaskannya agar rumah tangganya bisa terjaga.” Kau pun menatapku, begitu mengharapkan. ”Mau kau membantu Juwono?”
Aku diam.
”Tolonglah!”
Aku mengangguk. Dan, tiba-tiba, kau ingin memelukku. Tapi aku mengambil jarak. Kau tersadar, undur lagi selangkah. Aku lihat kulit wajahmu memerah. Sambil berusaha menyembunyikan rasa malu, kau bilang: ”Kalau begitu tak ada masalah lagi. Semua persoalan akan selesai. Kita harus menemui Lumongga dan Juwono.”
“Kita berangkat sekarang,” kataku sambil menebar tatapan. Dan, baru aku sadar, ternyata kami berada di sebuah tempat dimana tak ada satu benda pun yang bisa kutangkap. Kau tampak tak kaget, karena mungkin sejak awal kau sudah menyadarinya.
”Tempat apa ini?” tanyaku.
Kau menggeleng. ”Semua hal sama saja.”
”Sama saja!?” Aku menatapmu. Tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. “Apakah kau memikirkan hal yang sama?” tanyaku.
“Apa maksudmu?” tanyamu.
“Tempat ini agak aneh. Bukankah sebelumnya aku sedang mengendarai mobilku. Dan kau, bukankah kau bilang sedang mengendarai mobilmu kembali ke Sipirok sejak malam pertemuan kita itu.” ***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda