MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Polisi Korup

“Polisi korup tidak boleh ada di lingkungan Polri.” Itu kalimat yang disampaikan Kepala Divisi Propam Polri, Irjend Pol Budi Gunawan. Ungkapan itu disampaikan sekaitan dengan program Kapolri Jenderal Timor Pradopo untuk membersihkan institusi Korps Bhayangkara dari aparat korup yang memosisikan Div Propam Polri sebagai ujung tombaknya.
Korupsi dan aparat polisi sudah lumrah. Tiap hari public bisa melihat aparat polisi yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa kode etik profesi. Di jalan raya, polisi lalu lintas sanggup meminta kepada pelanggar lalu lintas sejumlah uang (tidak jarang cuma Rp5.000) agar tidak ditilang. Konon lagi di lingkungan kerja reserse, dimana posisi tawar aparat polisi menjadi lebih tinggi dari tersangka. Bukan mustahil, ada aparat polisi yang menjanjikan akan meringankan tuntutan atau malah memperlambat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara para tersangka, asalkan diberi imbalan sejumlah uang.

Inilah yang mendera nasib Kompol Afarat Enanie. Ketika saya menghadiri Sidang Kode Etik dan Profesi yang mendudukan Kompol Arafat sebagai pelanggar kode etik profesi Polri, perwira menengah yang merupakan koordinator penyidikan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, disebut telah terbukti merekayasa dana dalam rekening Gayus Tambunan. Kompol Arafat dan perwira-perwira di Mabes Polri dinyatakan bersalah karena tidak bekerja melakukan penegakan hokum sehingga melanggar azas keadilan hukum. Malah sebaliknya, aparat polisi ini melindungi pelaku tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya selaku penyidik kasus mafia pajak untuk kepentingan pribadi.

Kini karier Kompol Arafat yang sangat bagus dan cepat tenar, berakhir sudah di Mabes Polri. Setiap anggota Korps Bhayangkara mengenangnya sebagai barang contoh aparat penegak hukum yang tak profesional dalam bekerja. Aparat hukum yang membuat citra buruk institusi polisi semakin terpuruk.

Dan, tentu, kasus ini bukan kasus terakhir yang akan menimpa aparat polisi di lingkungan Polri. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 14 huruf g ditegaskan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Artinya, kewenangan polisi begitu besar dalam penyidikan untuk membuat BAP, dapat memengaruhi aparat polisi untuk melanggar kode etik profesi. Sedangkan BAP merupakan dasar yang dipergunakan saat menyidang tersangka tindak pidana di pengadilan negeri.

Saya berharap cukup hanya Kompol Arafat yang menjadi contoh buruk bagi segenap aparat polisi yang tidak profesional menjalankan tugas dan tanggung jawab. Jangan ada lagi aparat polisi yang harus mengikuti Sidang Etika dan Profesi, yang sering berakhir pada hilangnya karier di lingkungan Polri. Atau lebih parah lagi seperti Kompol Arafat, sudah kehilangan karier, masih harus mendekam di penjara karena perbuatannya melindungi koruptor dan menerima suap pantas diganjar sesuai KUHAP.

Polisi Introspeksi

Secara mengejutkan, Korps Bhayangkara di lingkungan Polres Kota Bandar Lampung beredar short massage service yang menyatakan bahwa Waka Polresta Bandar Lampung, AKBP Akbar Tuntalanai menerima suap Rp500 juta dari salah seorang tersangka narkoba. Gerah dengan isi SMS itu, Kamis lalu Waka Polresta Baandar Lampung menggelar jumpa pers untuk meluruskan informasi yang katanya bengkok itu. Dia mengaku soal suap Rp500 juta itu isu dan pihak Polresta Bandar Lampung sedang menyelidiki siapa yang menyebarluaskan SMS fitnah itu.

Publik tak tahu persis kebenaran sesungguhnya. Publik hanya tahu, ternyata institusi Polri itu tidak pernah lepas dari persoalan sama setiap tahun, yakni senantiasa muncul sosok anggota polisi yang akan merusak nama baik institusi. Bagi public yang terbiasa melihat Polri sebagai institusi korup, soal SMS yang beredar itu bukan sesuatu yang mesti diragukan. Tapi, SMS itu merupakan fakta yang menunjukkan bahwa institusi Polri belum sepenuhnya bisa dipercaya untuk melakukan penegakan hokum di negeri ini.

Karena itu, yang terpenting bagi jajaran Polresta Bandar Lampung bukanlah mencari siapa pengirim SMS fitnah itu. Bukan zamannya lagi bagi anggota Polri yang sudah memiliki paradigma baru dalam menyelesaikan kasus pidana untuk menyebarkan ancaman terhadap pengirim SMS. Zaman Polri saat ini adalah zaman dimana setiap anggota polisi harus introspeksi diri apakah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sudah bertindak professional sesuai kode etik. Jika belum, mulailah untuk bekerja professional.

Tapi, jika merasa sudah professional, lantas alasan yuridis dan empiris apa yang membuat Polresta Bandar Lampung tak menahan satu dari tiga tersangka narkoba yang ditangkap? Tentu saja polisi selalu punya alasan-alasan teknik penyelidikan kasus, tapi public menghendaki institusi Polri dikelola dan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan responsibilitas. Polisi harus instrospeksi diri apakah dalam menangani kasus tersangka narkoba itu sudah bertindak akuntabel atau belum? Apakah polisi langsung memberi tahu public melalui media cetak hal-hal yang mampu menjawab kecurigaan public?

Narkoba di Lampung

Polisi selalu gembar-gembor akan memberantas narkoba dari Lampung. Spanduk-spoanduk disebarkan di setiap penjuru Kota Bandar Lampung sampai ke polosok-pelosok. Publik yang membaca spanduk awalnya pesimis polisi di Lampung akan mampu menghajar para pemakai narkoba dan mengulung para pengedar psikotropika dan segala jenisnya itu. Kini terbukti, polisi ternyata membebaskan tersangka narkoba dengan sekian banyak alasan teknis yang hanya dipahami oleh jajaran polisi. Publik tidak melihat ada korelasi antara perbuatan polisi itu dengan spanduk-spoanduk yang dipasang.

Sebab itu, hal paling indah yang harus dilakukan polisi saat ini adalah mulailah memikirkan untuk membersihkan institusi Polri dari polisi-polisi yang doyan suap. Ini program yang sedang gencar-gencarnya dikampanyekan Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Beberapa kali saya ngobrol soal program ini dengan Div Propam Polri, saya mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya tugas ini merupakan tugas yang paling berat dari sekian banyak tanggung jawab yang harus dipikul aparat polisi.

Betapa sukarnya bagi aparat polisi untuk meyakinkan dirinya apakah ia sudah bekerja professional sesuai kodw etik profesi atau sedang menuju ke sana? ****

Dipublikasi di Radar Lampung edisi Sabtu, 02 Aporil 2011 dengan judul POLISI KORUP, KELUAR DARI POLRI

No comments

Terima kasih atas pesan Anda