Sastrawan dalam Kutukan

by - April 22, 2011

Sewindu lalu, pada periode awal roda reformasi bergulir dan menerabas ke mana-mana, bukan cuma Presiden Soeharto yang terguling dari kursi kekuasaan, melainkan juga jutaan jiwa warga negara menjadi ragu akan banyak hal. Kepercayaan terhadap elite, tanpa pengecualian, luntur begitu drastis.

Orang-orang histeris, berteriak, dan melakukan apa saja untuk mendapatkan identitas baru. Pejuang-pejuang reformasi bermunculan, riuh, ribut, dan berlomba-lomba agar bisa dicatat dalam buku-buku sejarah pergerakan nasional.

Dalam priode yang hiruk-pikuk itu, kita mencatat banyak upaya membongkar dan mengungkap borok rezim penguasa Orde Baru. Para intelektual pun ikut gerbong kereta dan terseret arus penumpang yang kehilangan arah tujuan.

Reformasi meledak tanpa ada satu hal yang bisa ditandai, kecuali euforia-euforia yang menyesakkan dada. Tiap sebentar ada yang berteriak memaki rezim yang otoriter, korupsi yang merajalela, illegal logging, birokrasi yang busuk, dan moralitas yang bobrok.

Inilah iklim yang membuat sastrawan kita tercengang. Dinamika yang terjadi di luar perhitungan yang ada. Gerakan-gerakan sosial-politik menampakkan wajah yang paling brutal, orang menyampaikan aspirasi dengan memperbesar urat-urat lehernya, keributan pecah dan korban berjatuhan dengan luka-luka yang menganga. Kreativitas bersastra bak kehilangan tali kekangan, menerabas ke mana-mana dan menyentuh wilayah apa saja, tapi tidak satu substansi pun dapat ditandai kecuali bahwa inilah era ketika kebebasan berekspresi tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri.

Kebebasan menemukan bentuknya yang paling alami, tanpa sekat-sekat moral yang selama ini begitu kuat mencengkeram. Tetapi, kebebasan itu nyaris tidak memberi makna apa pun terhadap dunia kesusastraan, seperti ketika zaman revolusi perjuangan kemerdekaan memberi warna baru pada rasa sastra nasional.

Kesusastraan kita tidak mencatat, ada capaian-capaian estetika yang mengemuka pada masa ini. Penyair tetap menulis dengan metafora romatis seperti embun pagi, daun gugur, anggur pada gelas, sampan yang berlayar, kepak burung, penggali pasir, lumut, dll.

Cerpenis tetap gemar bicara soal buruh yang dipecat, pertengkaran keluarga, cinta tak terjawab, harapan yang pupus, meja di sebuah kafe, sinar bulan, dll.

Novel kita berkutat soal berahi. Karya-karya sastra dari berbagai genre itu lahir dan membuat sastrawan terangkat hingga sejajar dengan selebriti. Tetapi, kita tidak menemukan sesuatu yang begitu berarti, yang di dalam karya-karya sastra itu menyimpan dinamika reformasi itu sendiri.

Karya-karya sastra kita seolah mengabaikan situasi zamannya, tidak peduli pada dinamika masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan kita sibuk membongkar-bongkar literatur lama yang dihasilkan dari dinamika kebudayaan asing.

Kita pun membaca Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan dengan sosok tokoh yang tidak berjejak di Indonesia. Kita membaca novel-novel Fira Basuki dengan sosok tokoh yang datang dari dunia ketika seks bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan. Kita membaca Cala Ibi dengan gaya bercerita yang sulit diterima logika ketimuran.

Para sastrawan kita seolah menegaskan pernyataan para pendahulunya, “Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”. Sepenggal kalimat yang kita catat sebagai peluruh bagi lahirnya Angkatan’45, menemukan euforianya kembali dalam diri para kreator sastra kita.

Tetapi, gemanya cepat meredup karena limpahan informasi dari berbagai literatur dan sumber-sumber data tak terbatas–hal yang tidak dimiliki para sastrawan saat melahirkan Angkatan’45–membuat para kreator sastra menjadi lebih tertarik mengurusi wilayah artifisial.

Mereka yang memiliki akses luas terhadap karya-karya sastra dunia, tampil ke permukaan dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai “pembawa pembaruan”. Warisan sastra nasional makin terabaikan gerakan-gerakan untuk menancapkan tonggak sejarah sastra yang baru.

Ironisnya, segala sesuatu yang mereka pandang “pembaruan”, yang dibawa dengan keangkuhan seorang penemu dari tanah-tanah kelahirannya seperti Amerika Latin, ternyata sangat lapuk di daerah asalnya.

Dalam situasi seperti inilah Nirwan Dewanto menyimpulkan sejarah sastra cuma kumpulan kisah tentang asal-muasal dan rangkaian pembaruan dalam lingkup nasional, dari sudut pandang kiri atau kanan, hidup di alam bawah sadar para pencipta sastra di Indonesia. Pretensi nasional menjadi tempurung yang membuat sang katak tak mampu melihat cakrawala yang lebih baik.

Warisan sastra nasional menjadi beban, bukan berkah. Tetapi itulah beban yang seakan-akan menjadi rumus tentang titik-titik pembaruan berikutnya. Sejarah sastra yang merasuki alam bawah sadar, yang tidak lagi dibaca dekat-dekat, close reading, sehingga berubah menjadi setengah mitos.

Dalam tulisannya berjudul “Masih Perlukah Sejarah Sastra?” (Kompas, 4 Maret 2000), Nirwan menyerukan sastra kita tidak dibebani sejarah kebangsaan dan komitmen politik, tapi harus membuka diri terhadap pengaruh dan kontak sastra dunia. Bagai terhipnosis, sastrawan kita beralih haluan ke sastra dunia.

Ajaibnya, Nirwan Dewanto dengan tongkat sihirnya mengubah watak sastrawan kita menjadi tidak merasa hebat jika tidak menulis puisi seperti Dereck Walcott menulis. Asif Amini asyik bicara hal-hal lama dan usang tentang dunia sastra, mengungkit kedahsyatan sastrawan-sastrawan lama dari dunia yang jauh dalam menghasilkan karya.

Dari kecenderungan ini kita bisa menangkap satu hal, sebenarnya kita sedang bersusah-payah mengelap orientasi kebudayaan yang baru; bukan Barat bukan Timur. Tetapi, kebudayaan yang tumbuh dalam situasi zaman penuh kekangan oleh kolonialisme, seolah-olah mengamini tesis yang mengatakan di luar sosoknya yang kejam dan sadistis, kolonialisme mampu melahirkan dan menumbuhkan mentalitas kebudayaan dari orang-orang yang lama hidup dijajah.

Orientasi kebudayaan dari entitas yang lama tertindas, dan tidak memilki alternatif pintu untuk bisa lepas dan kabur dari bayang-bayang sang penindas.

Orde Baru bagi semua warga bangsa, tidak lebih bagus dibandingkan dengan kolonialisme. Keduanya menanam racun di urat darah kita, yang membuat kita menghabiskan energi hanya untuk melakukan perlawanan demi perlawanan, sehingga lupa untuk terus berkreativitas sebagai orang-orang profesional. Zaman reformasi, ternyata pula, tidak lebih bagus dari Orde Baru.

Yang kita saksikan, tumpukan manusia yang kehilangan pegangan dan kebingungan menentukan orientasi, tapi tidak pernah bisa mengelak dari tusukan dan tujahan globalisasi yang begitu tajam.

Memang, perkembangan sastra nasional menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memproduksi karya-karya sastra. Tetapi, karya-karya sastra tersebut sejak kelahiran sampai peredarannya ke tangan masyarakat, sudah menolak segala bentuk teori-teori dalam berkesenian. Banyak intelektual membicarakan novel Saman bukan semata sebagai seni, tapi juga karya politik yang tidak berbeda dengan tesis-tesis para doktor sosiologi politik di negeri ini.

Niels Mulder dalam Southeast Asian Images: Toward Civil Society? (2003), menulis sebuah simpul, “Hal yang sangat menarik dari Saman adalah hubungannya yang meyakinkan antara dua tema yang sepintas lalu tak bertalian: Kekejaman Orde Baru dan keasyikan seks empat orang wanita yang bersahabat….”

Semua fakta ini menunjukkan sastrawan di Indonesia adalah sebuah posisi yang penuh kutukan. Mereka terus berkarya, tapi tidak bisa bebas dari persoalan yang dihadapi para pendahulunya. Persoalan yang mereka hadapi selalu berkisar antara sastra sebagai karya seni dan sastra sebagai risalah politik.

Pada aspek sosialisasi, mereka pun tidak bisa bebas dari kecenderungan “ikut berkelompok dan karenanya berpolitik dalam sastra” atau tidak mendapat tempat sama-sekali.

Lampung Post edisi February 3, 2009

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda