Cerpen: Talangsari
MASYITO, perempuan tua itu, tampak ringkih dalam kekhawatiran. Berkali-kali ia melangkah ke pintu. Berkali-kali pula ia berdiri di gerbang. Dari sana ia menatap ke ujung gang, berharap seseorang yang ditunggunya muncul di sana. Gang itu selebar satu setengah meter. Pada kedua sisinya berdiri kokoh tembok beton, dinding rumah orang, membuat gang itu bagai sebuah lorong yang panjang.
Ia masih mengenakan mukenah, tak dibukanya selepas mendirikan shalat Ashar. Hari telah sore betul, dan semestinya Hasanah sudah berada di rumah seperti biasanya. Dalam hatinya mengaduk rasa khawatir yang hebat tentang nasib anak gadisnya itu.
***
SUDAH berulang kali ia wanti-wanti agar Hasanah tidak usah mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Lebih bagus bersabar dan berdoa kepada Allah Swt agar arwah Jarot dan Husin diterima di sisi-Nya. Tapi, Hasanah selalu membantah dengan sekian banyak alasan, dan ia tak punya sepotong kata pun untuk mendebatnya, sekedar menenangkan hatinya.
“Kau harus iklaskan semuanya, Nduk?” Entah sudah berapa kali ia ucapkan hal serupa. “Dengan begitu Jarot dan Husin akan tenang di sisiNya.”
“Ibu tidak mengerti perasaan saya.” Hasanah menangis. “Peristiwa itu mengubah jalan hidup saya. Mengubah nasib kita. Seandainya….”
“Semua sudah terjadi, Nduk. Gusti Allah berkehendak kita mesti melalui hal seperti ini. Kita mesti iklas.”
Hasanah sesegukan. Tapi setelah itu, ia akan kembali mengungkit persoalan itu dengan caranya. “Saya harus bisa memastikan dimana jasad mereka. Kalau mereka mati, pasti ada jasadnya.”
“Tidak ada jasad, Nduk. Mereka mati dan dikubur, tetapi tidak seorang pun tahu dimana kuburan itu.”
“Saya tidak percaya. Itulah yang ingin saya buktikan.”
“Setelah kau berhasil, lantas mau apa? Jarot dan Husin tidak akan hidup kembali.”
Tapi Hasanah tidak mendengarnya. Anak gadisnya itu keras kepala, sama persis seperti Jarot dan Husin. Diam-diam dia pergi ke Talangsari, mencari bekas dusun tempat pembantaian pada tahun 1989 itu.
Dia selalu pulang pada dini hari. Setiap kali Masyito bertanya apa yang telah dilakukannya, Hasanah tidak banyak bicara. Dia menyuruh ibunya tidur, sedangkan dia tidak langsung istirahat. Berjalan ke meja kerjanya, membuka komputer jinjing, dan mulai menulis.
Bagai diserang oleh insomania yang akut, Hasanah tidak berkompromi dengan rasa kantuk. Dia duduk di meja kerjanya, menghadapi komputer jinjing selama berjam-jam, memindahkan segala yang berlintasan di kepalanya ke dalam narasi-narasi panjang. Di luar malam telah larut. Di kamar, ibunya sudah terlelap sejak usai shalat Isya.
Hampir tiga bulan Hasanah melakoni kebiasaan itu dan telah menjadi begitu akrab dengan tubuhnya. Ini semacam tradisi baru dimana dia merasa ada yang belum lengkap apabila tidak mengetik dalam satu hari, dan dia merasa belum mau berhenti sebelum semua yang bergejolak di dalam pikirannya ditumpahkan ke dalam tulisan. Gejolak yang acap membuat hatinya panas dan terbakar oleh amarah yang menggelegak, tetapi dia selalu berusaha untuk tidak melampiaskan amarahnya yang dapat merusak orisinalitas tulisannya. Namun, bagaimana pun usahanya untuk tetap menjaga agar teks tidak dinodai amarah, sering kata-kata yang masuk dalam tulisan mengandung diksi yang meledak-ledak dan subyektif.
Hasanah paham dia mesti bersikap objektif, tetapi dia selalu tidak bisa mengendalikan sikap subyektivitas. Dia begitu dipengaruhi. Setiap kali mulai menulis, setiap kali masa lalu itu melintas, setiap kali pula dia merasa berada dalam masa lalu itu dan terperangkap di sana. Dia menyaksikan semuanya seolah sedang berlangsung di hadapannya, begitu jelas, begitu tegas. Suara-suara itu.... Begitu.... Ah, jari-jemarinya bagai kesurupan dan berubah menjadi sebuah kamera yang mengabadikan adegan-adegan ke dalam bentuk tulisan. Lalu sosok-sosok manusia, semua orang yang dikenalnya, muncul satu per satu. Dia tahu mereka sudah lama pergi, dan dia tidak pernah tahu bagaimana kejadiannya, tetapi kini dia menjadi lebih paham. Mereka hidup kembali di dalam dirinya, lalu menceritakan semuanya, sangat rinci. Menceritakan bagaimana mereka menuju kematian setelah ledakan-ledakan itu, setelah teriakan-teriakan, setelah....
Sering Hasanah tidak percaya dengan apa yang diketahuinya, lalu berhenti mengetik, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdegup seakan hendak melesat. Tidak jarang tubuhnya menggigil, gemetar begitu hebat, sehingga jari-jemarinya tidak bisa menyentuh tuts-tuts pada komputer jinjingnya. Kalau sudah begini ia akan berhenti mengetik, mendekap wajahnya, dan menangis.
“Ada apa, Nduk?” Suara parau ibunya menghentikan tangis itu. “Malam begini harusnya kau istirahat.”
“Mereka bicara pada saya.” Suaranya lemah.
“Siapa?”
“Mas Jarot, Mas Husin, Bapak, semua....”
“Mereka sudah meninggal, Nduk.” Ibunya memeluknya, mendekap tubuh anak gadisnya begitu lembut. “Istrirahatlah, Nduk! Kau terlalu capai.”
“Tapi, Bu.”
Masyito tidak menyahut. Dekapannya semakin erat, tangannya mengelus punggung gadis itu. Di matanya melintas masa lalu itu ketika suaminya ditemukan tergantung di salah satu dahan pohon nangka di belakang rumah, dua hari setelah kabar tenang Jarot dan Husin tiba. Lalu, segala sesuatunya berubah….
Dia seret langkahnya keluar dari dusun itu, memapah Hasanah dan tidak tahu mesti kemana. Sampai akhirnya dia tiba di Kota Metro, di rumah salah seorang kerabat jauh. Mereka menerimanya tinggal sementara, tetapi kemudian dia dihadapkan pada persoalan baru tentang bagaimana menghidupi diri dan anaknya.
“Istirahatlah, Nduk. Kamu kan capai.”
“Bagaimana saya bisa istirahat.”
“Lupakan dulu semuanya.”
“Saya tak mungkin melakukan itu.”
“Berusahalah, Nduk.”
“Mereka mendatangi saya, Bu. Mereka….”
“Mereka sudah meninggal.”
Hasanah kembali menangis. Siti Masyitoh mengusap punggung gadis itu, begitu lembut. Dalam hatinya ada yang menyayat. Bagaimana pun sukar melupakan semua itu, peristiwa yang telah mengubah segalanya. Dan, sesungguhnya, Masyitoh ingin mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas semua itu. Ada kebencian yang ingin diledakkan kepada orang itu. Tapi siapa orang itu?
Hasanah membuka jalan untuk mengetahui orang itu. Dan ia telah mewanti-wanti Hasanah agar lebih berhati-hati. Katanya, orang-orang tidak akan membiarkan keburukannya dibongkar. Mereka akan melakukan apa saja.
“Sabarlah, Nduk.”
“Ibu tahu apa yang terjadi pada mereka?” Hasanah menatap ibunya. “Mereka ditembaki seperti hewan buruan, diseret ke dalam satu lobang meskipun belum pasti apakah sudah meninggal atau belum, lalu dikubur beramai-ramai. Mas Jarot dan Mas Husin diantaranya, dan…. Mereka berbicara kepada saya.”
“Nduk. Nanti kamu sakit.”
“Saya sudah sakit, Bu.”
“Ibu hanya punya kau. Ibu tak ingin….”
“Tidak, Bu, tidak akan ada yang menimpa saya.”
“Istigfar, Nduk! Kau bermain api.”
***
MASYITOH tidak menyadari air matanya merembes. Bagaimana pun sulit baginya untuk melupakan peristiwa itu, dan segala sesuatunya berubah sekian ratus derajat setelah kejadian itu. Dan ia sering menyalahkan dirinya atas semuanya, karena sebetulnya ia bisa saja mencegahnya, melarang Jarot da Husin pergi malam itu, seperti yang dilakukan suaminya, Amru. Tetapi ia diam saja, karena memang ada hal lain yang dipikirkannya, sesuatu yang bakal diubah oleh Jarot dan Husin, sesuatu….
Lalu kedua anak muda itu, Jarot dan Husin, terlihat berdiri di hadapannya, seperti dulu. Masing-masing membawa tas berisi pakaian. Mereka berdiri dan hanya diam, menatap sekilas ke seluruh rumah dan pekarangan, lalu berhenti pada wajah Amru, suaminya, silih berganti menatapnya, lalu melirik. Setelah itu berbalik dan melangkah keluar rumah. Amru tampak tak rela dan bermaksud menahan mereka, tetapi ia memberi isyarat dengan menggeleng.
“Biarlah!” Suaranya pelan.
Amru menatapnya, lalu memandang ke pintu. Kedua orang itu, Jarot dan Husin, sudah tak ada di sana. Mereka ditelan kegelapan malam di luar rumah. Amru bangkit lalu ke kamar, ia membanting sesuatu di dalam kamar. Suara berisik itu jelas sebuah gelas telah pecah.
Begitulah Amru, selalu tak bisa mengendalikan diri. Lain dengan dirinya. Ia pergi ke pekarangan rumah, mencoba mengikuti Jarot dan Husin sampai mereka menghilang di kelokan gang. Di gendongannya Hasanah terkantuk. Ada genangan air pada bola matanya, dan ia berusaha untuk menahan agar tak tumpah.
Dalam remang lampu minyak dari bambu yang ditaruh di pekarangan rumah, air matanya merembes di pipinya. Cepat-cepat ia usap dengan ujung bajunya, takut Amru datang dan memergoki. Bagaimana pun ia harus kelihatan kuat di hadapan suaminya. Kepergian mereka, dua putranya yang sedang beranjak dewasa, tentu sulit untuk bisa diterimanya. Apalagi alasan kepergian itu…ah, orang tua mana pun pasti akan sulit menerimanya. Tapi, tetap harus ada yang berpikir seperti mereka, berusaha untuk mengubah kondisi yang ada. Dan ia mesti berpura-pura sanggup menerima kepergian mereka agar kesedihan hati suaminya tak berlarut-larut.
Sejak niat untuk pergi mereka sampaikan, Amru paling tak setuju. Dengan berbagai alasan, yang justru terdengar tak masuk akal, ia berusaha mengubah keinginan Jarot dan Husin. Tetapi kedua anak muda itu tetap dengan rencana mereka.
“Kami pamit, Pak,” kata Jarot begitu keluar dari kamar. Menenteng tas berisi beberapa potong pakaian, ia dan Husin melangkah ke ruang tamu dimana keluarga berkumpul, tetapi tidak seorang pun yang menyahut. Dalam remang lampu minyak di atas meja Amru menatap istrinya. Desah nafas yang memenuhi rumah itu, ditimpali siul angin di luar rumah yang membuat daun-daun berkresek riuh, suasana hening menyungkup. “Pak!” Anak muda bertubuh kurus itu menarik sebuah kursi kayu yang berderit ketika didudukinya. “Jangan diam saja.”
“Kau ingin Bapak bilang apa?” Laki-laki paroh baya itu balik bertanya. Ditatapnya wajah kedua anak muda itu dengan tatapan yang dingin. “Bagaimana pun usaha Bapak menghalangi, Kalian tetap akan pergi.”
“Kita sudah membicarakannya, Pak.” Husin menimpali. “Semuanya sudah jelas. Sikap kami sudah jelas, tetap akan pergi. Kami hanya butuh restu.”
“Apanya yang jelas. Kalian tak mendengarkan Bapak, hanya itu yang jelas bagi Bapak.” Laki-laki itu kembali menatap istrinya, memberi isyarat agar memberi dukungan kepadanya agar menghalangi niat anak muda itu. “Kalian hanya menuruti kemauan sendiri, tetapi tidak pernah sedikit pun Kalian pikirkan dampaknya.”
“Dampak? Apa!?” Jarot kesal juga akhirnya. “Satu-satunya hal yang menimbulkan dampak paling parah cuma bila kami tetap berada di rumah ini. Masa depan kami bukan saja suram di sini, tetapi tidak jelas, sama seperti masa depan yang Bapak hadapi.”
“Kami punya cita-cita, harapan-harapan yang berbeda, tetapi sulit meraihnya kalau kami tetapi tinggal di kampung ini.”
“Tidak ada yang menghalangi Kalian untuk meraih cita-cita.”
“Bapak belum mengerti juga rupanya. Ini bukan soal Bapak, bukan soal Ibu. Ini soal kutukan itu, kutukan yang diberikan kepada dusun ini. Bapak tidak pernah merasakannya karena tidak pernah keluar dari dusun ini. Sedangkan kami….” Jarot menatap Husin, “Semua orang di luar dusun ini mencibir. Setiap orang menjauhi kami, mereka mengecap kami….”
Laki-laki paroh baya itu menatap istrinya. Siti Masyitoh seolah tak mau terlibat, ia berbicara kepada Hasanah, gadis kecil berusia empat tahun, yang duduk di sampingnya, yang sedang menjolok api pada sumbu lampu minyak dengan sebatang lidi. “Nduk, nanti tanganmu terbakar.”
“Bu!” Volume suara laki-laki paroh baya itu meninggi. “Katakan kalau kau tidak ingin mereka pergi dari rumah ini.”
Masyitoh menggeleng. “Mereka sekeras Bapaknya.”
“Sudahlah, Pak.” Husin memotong. “Hanya ini satu-satunya jalan untuk mengubah semua ini.” Anak muda itu tetap berusaha meyakinkan Bapaknya. “Kami tahu perasaan Bapak.”
“Bagaimana Kalian mengatakan tahu perasaan Bapak sedangkan Kalian tidak mendengarkan apa yang Bapak katakan.”
“Bukan kami tak mendengarkan, tetapi soal ini kita beda pendapat.”
“Masih ada jalanan lain.”
“Sudah semua jalan kami coba, hasilnya tetap sama. Kami tidak akan bisa menjadi apapun yang kami inginkan, karena orang-orang tidak menginginkan hal itu.”
“Apa perduli pada pandangan orang-orang. Selama ini kita bisa hidup tanpa mereka.”
“Hidup. Apa seperti ini hidup yang Bapak maksud.” Jarot menarik nafas dalam-dalam. “Di luar sana, di luar dusun kita ini, anak-anak muda seperti kami bisa memilih apa yang mereka inginkan tanpa perlu khawatir ada yang menghalangi. Sedangkan kami.... Tidak, Pak, kami berbeda dengan Bapak. Bapak bisa hidup dalam situasi seperti ini sampai kapan pun, tetapi kami tidak. Kami butuh dunia luar, butuh hal-hal lebih dari apa yang kami dapati di dusun ini.”
“Kalian tidak bersyukur.”
“Bukan tak bersyukur. Bapak sendiri kan mendengar cerita Mas Wahidin. Di luar sana, bahkan di berbagai pelosok negeri ini, orang-orang bisa dengan mudah meraih yang mereka inginkan. Sedangkan kita.... Sudahlah, kami tak mau berdebat lagi. Bapak seharusnya menyadari, sekali kita ditempatkan pada posisi ini, sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa beranjak dari posisi ini.” Nada suara anak muda itu melemah. “Kami tidak pernah meminta dilahirkan di lingkungan dusun ini. Kalau boleh memilih, kami meminta dilahirkan di lingkungan lain sekalipun lebih buruk dari lingkungan ini. Yang penting kami tidak menanggung beban yang tak pernah kami lakoni.”
“Wahidin…Wahidin…. Bapak tidak percaya kepadanya.”
“Mas Wahidin salah seorang dari kita. Untuk apa ia berbohong atau membohongi kita. Apa yang ia katakan benar, lagi pula kita pun mengalami apa yang diceritakannya. Kita bagai warga kelas dua, mungkin, tak berkelas sama-sekali. Kita harus mengikuti sekian banyak peraturan sedangkan warga lain tidak. Kita harus melapor setiap bulan sedangkan warga lain tidak. Kita juga warga negara dan berhak atas perlakuan yang sama dengan warga lainnya.” Jarot duduk di kursi. “Sebetulnya apa yang Bapak takutkan?” Anak-anaknya menyelidiki.
“Takut!?” Suaminya gugup. Mendadak, bayangan masa lalu itu melintas, sesuatu yang dengan susah payah dikuburnya selama bertahun-tahun. Bayangan itu begitu jelas, seakan ia memandang pada sebuah layar proyektor, lalu melihat segalanya di sana: dirinya, almahum ayahnya, almarhum ibunya, almarhum tiga saudara laki-lakinya, dan Mariani, perempuan yang pernah dicintainya, dan perjalanan penuh penderitaan dari Pulau Jawa ke Lampung. Semua dalam perwujudan yang sangat dikenalnya, tergeletak tumpuk bertumpuk di dalam rumah, dimana darah berceceran pada lantai serupa anak sungai. Ada luka dan amarah yang mengaduk dalam dadanya, berbaur dengar kesedihan yang meminta diledakkan. Tetapi ia diam saja, seolah-olah tubuh-tubuh yang menggeletak tak bernyawa itu tidak dikenalnya. Ia mesti berpura-pura tidak mengenal mereka, sementara orang-orang yang baru saja mengaraknya berharap ia mengakui mengenali mereka.
“Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Tetapi Bapak mencoba mengabaikannya.” Husin diam, menatap tajam ke bola mata laki-laki paroh baya itu, tetapi laki-laki paroh baya itu mengalihkan tatapnnya kepada istrinya. “Saya tahu masa lalu Bapak, Mas Wahidin menceritakan semuanya, semuanya.... Tidak ada lagi yang perlu Bapak tutup-tutupi dari kami. Kami tahu Bapak tak salah, tetapi zaman ketika Bapak dihukum tidak memerlukan penjelasan hukum apa pun untuk melemparkan seseorang ke dalam jurang.”
“Wahidin tak tahu apa-apa. Jangan Kalian percaya pada omongannya.”
“Ia tahu banyak tentang Bapak, bahkan sebelum Bapak dikirim sebagai transmigran ke dusun ini bersama orang-orang yang dicap komunis seperti halnya Bapak. Wahidin bilang Bapak tidak pernah ikut atau menjadi anggota PKI, tetapi orang-orang di lingkungan Bapak di Jawa tidak menyukai Bapak dan menuduh Bapak anggota PKI.”
“Itu cerita bohong.”
“Bapak.... Dusun ini dihuni para mantan PKI. Bagaimana upaya Bapak menutupinya, itu tidak akan membuat posisi Bapak sebagai mantan PKI akan berubah. Orang-orang sudah memberi cap. Itu sebabnya kami ingin pergi. Memilih tetap tinggal di kampung ini adalah menerima kenyataan sebagai warga terkutuk di negeri ini. Kami ingin mengubahnya, karena semua warga negara punya hak yang sama. Kami tidak ingin hidup sebagai orang asing di negeri ini.”
“Tidak ada yang memperlakukan Kalian seperti itu. Semua orang di dusun ini mencintai Kalian, kami pun begitu.”
“Cinta?! Apa arti semua itu jika kami tak bisa mewujudkan apa yang kami cita-citakan.”
“Semuanya sudah ada di dusun ini. Apalagi yang Kalian inginkan?”
“Kami ingin keluar dan tak mau menjadi bagian dari warga dusun ini.”
“Wahidin betul-betul merusak Kalian. Bapak menyesal membawanya ke rumah ini.”
“Jangan salahkan Mas Wahidin. Ia membuka wawasan kami yang selama ini tertutup. Ia memberi kami banyak perspektif. Ia memperkenalkan kami kepada dunia yang luas. Sekarang kami ingin lebih mengenali dunia itu, dan itu hanya mungkin jika kami meninggalkan kampung ini.”
Laki-laki paroh baya itu terdiam. Desah nafasnya memenuhi ruangan, membuat api pada lampu bergoyang-goyang. Gadis kecil yang tadi mempermainkan api pada lampu, mulai terkantuk di kursinya. Ia bangkit dari duduknya, mengajak gadis kecil itu ke kamar tidur.
“Mereka tidak akan membiarkan Kalian begitu saja.” Suara laki-laki paroh baya itu sangat lemah, ditatapnya anak muda itu. “Bapak tak ingin terjadi sesuatu….”
“Tidak akan terjadi apapun, Pak. Kami tidak akan berbuat apapun yang akan membuat orang-orang membenci. Seperti kata Mas Wahidin, orang-orang percaya bahwa warga dusun ini tidak beragama. Kalaupun kita mendirikan mesjid seluas 10 hektare, orang-orang akan menilai semua itu kamuflase. Karena itu, kami hanya perlu mondok di Pondok Pesantren Kiyai Warsidi di Dusun Talangsari, setelah itu kami akan kembali ke dusun ini sebagai santri alumni pondok. Bekal itu akan kami bawa ke dusun ini untuk mengubah semuanya. Hanya itu, Pak, yang ingin kami lakukan. Mengubah semua predikat buruk yang dicantelkan orang-orang terhadap dusun ini. Apa yang salah dengan keinginan kami itu.”
“Bagimu tidak salah, tetapi….”
“Bukankah kita harus mengubah nasib kita sendiri.”
“Tidak dengan kekerasan.”
“Kami tidak melakukan kekerasan. Kami hanya belajar agama dan mendalaminya di pondok pesantren. Kalau kelak kami selesai, kami akan membawa ilmu agama itu ke dusun ini dan membagi-bagikannya kepada seluruh masayarakat. Dengan menguasai ilmu agama itu kami yakin predikat buruk yang disematkan kepada warga dusun ini akan hilang.”
“Biarkan orang-orang menilai kita tidak beragama. Soal agama adalah persoalan kita dengan Allah, bukan persoalan orang lain.”
“Bapak bisa berpikiran seperti itu, tetapi bagaimana Bapak bisa mempertahankan kesabaran seperti itu dan mewariskannya kepada anak-anak yang akan lahir terus di dusun ini. Kami bisa saja menjadi seperti keinginan Bapak, sabar dan menerima. Tetapi kami tidak akan bisa sabar dan menerima melihat sekian banyak anak-anak lahir di dusun ini dan tumbuh dalam situasi seperti ini. Mereka lahir sebagai anak-anak yang merdeka di negeri yang merdeka, tetapi akan mendapat perlakuan sebagai warga negara yang mesti dijauhkan dari kehidupan warga lain.” Jarot tertunduk, menarik nafas dalam-dalam. “Kami mengalami hal itu, Pak. Ketika kami keluar dari dusun ini, orang-orang menatap kami seolah-olah baru saja keluar dari neraka, dan mencurigai kami seolah-olah akan mengajak mereka ke neraka. Apa bedanya kami dengan anak-anak muda lainnya, mereka yang boleh melakukan apa saja dan bercita-cita menjadi apa saja.”
Laki-laki paroh baya itu mendesah. Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela dan membukanya. Angin dari luar menerabas masuk dan berkesiur di dalam ruangan.
Masyitoh keluar dari kamar dan duduk di tempatnya yang tadi. Ditatapnya anak muda itu, jauh ke dalam bola matanya. “Ibu mendengar semua, tetapi ada banyak hal yang tak Kalian perhitungkan,” katanya.
Ia masih mau melanjutkan kalimatnya ketika suaminya memotong. “Baik, kalau itu mau Kalian. Kalian boleh pergi.”
“Bapak.” Masyitoh memotong.
“Mereka perlu tahu banyak hal... Banyak hal, Bu.”
“Tapi....”
“Biarlah. Sudah saatnya….”
***
DAN kini, kedua anak muda itu sudah tak terlihat lagi. Angin berkesiur di halaman rumah itu. Dinginnya terasa lain. Rasa dingin yang sama juga dirasakan Masyitoh ketika angin berembus masuk lewat jendela yang masih dibukanya. Di kejauhan matahari berwarna senja. Hasanah belum juga muncul. Rasa khawatir itu semakin hebat. Jangan-jangan….
Masyitoh merasa sangat menyesal kalau terjadi sesuatu pada Hasanah. Bagaimana pun seluruh kesalahan pantas dtujukan kepadanya. Ia yang menyeret Hasanah ke dalam situasi seperti sekarang, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Semua berjalan begitu cepat. Tidak ada yang bisa diubah. Tidak ada yang bisa diperbuat. Seperti masa lalu, beberapa bulan setelah Jarot dan Husin pergi, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan terjadi. Tiba-tiba Amru muncul dengan wajah memucat. “Apa yang saya khawatirkan akhirnya terjadi.” Amru sesegukan.
“Apa, Pak? Apa yang terjadi?” Masyitoh mendesak.
“Pondok Pesantren itu dibumihanguskan. Semua diratakan dengan tanah.”
“Jangan mengada-ada, Pak.”
“Semua orang membicarakannya.”
“Apa yang dibicarakan orang.”
“Tentara mendatangi pondok pesantren itu, lalu sesuatu terjadi. Tidak ada yang tahu persis, karena tidak ada seorang pun yang selamat. Pondok pesantren itu dibakar dan semua orang dibunuh.”
“Jarot…Husin….!?” Masyitoh memekik.
“Saya tidak tahu.”
“Cari tahu, Pak.”
“Cari tahu?! Apa yang bisa saya lakukan. Inilah yang saya khawatirkan dan akhirnya terjadi.”
“Selamatkan anak-anakku.” Masyitoh meraung-raung.
Amru merutuk menyesali ketidakmampuannya meyakinkan Jarot dan Husin agar tidak pergi beberapa waktu lalu. Berkali-kali Masyitoh mendesak Amru agar pergi mencari Jarot dan Husin.
“Percuma, Bu.”
“Percuma? Maksudnya?”
“Tempat itu benar-benar hangus, rata dengan tanah. Tidak seorang pun yang selamat.”
Masyitoh meraung lagi.
“Sabar, Bu. Ini kehendak Gusti Allah.”
“Saya yakin mereka masih hidup. Saya yakin itu, Pak.”***
Bandar Lampung, xii—2009
0 #type=(blogger)