Ketika Anak Bupati jadi Bupati

by - April 02, 2010

Mengapa anak bupati mencalonkan diri menjadi bupati? Apakah anak gubernur akan pasti menjadi bupati, karena anak ketua partai politik pasti menjadi anggota legislatif? Apakah ada kaitan antara pemekaran wilayah oleh seorang bupati dengan rencana membagi kekuasaan kepada anggota keluarganya?


Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan masyarakat di Lampung akhir-akhir ini. Menjelang pelaksanaan Pilkada 2010 di beberapa wilayah pemerintahan daerah, terutama di daerah otonomi baru (DOB), public melihat anak para bupati muncul sebagai calon kepala daerah dengan dukungan besar dari ayah mereka.

Konservasi Budaya
Segala bentuk pembicaraan tentang kebudayaan Lampung yang muncul akhir-akhir ini, selalu saja memosisikan warisan-warisan leluhur masyarakat Lampung pada kedudukan sebagai “produk cipta budaya manusia” yang sudah berada di ujung tanduk. Setiap orang kemudian resah dan ngotot ingin melestarikan, meskipun persepsi mereka tentang kebudayaan Lampung itu sendiri tidaklah tunggal, sehingga upaya pelestarian menemukan kendala justru karena belum adanya consensus tentang kebudayaan Lampung itu sendiri.
Keresahan yang ditunjukkan banyak pihak terhadap lunturnya nilai-nilai budaya Lampung, sesungguhnya hal itu muncul dari pemikiran budaya yang sangat umum. Setiap penganut budaya di negeri ini, memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang sama terhadap hantaman gelombang besar kebudayaan dunia yang digiring oleh media massa. Pemahaman seperti itu juga yang muncul setelah membaca tulisan Anshori Djausal, “Konservasi Kebudayaan Lampung” (Lampung Post edisi 31 Oktober 2009), bahwa konsep “konservasi budaya” merupakan representasi pemikiran, pengetahuan, dan pemahaman kebanyakan penganut kebudayaan Lampung.
Pada tataran ini, saya menafsirkan kata “konservasi budaya” sebagai sebuah upaya menyelamatkan kebudayaan dengan cara melakukan “penananam kembali”. Jika segenap pihak sama-sama berperan aktif dalam kegiatan konservasi kebudayaan Lampung ini, diharapkan upaya tersebut mampu menumbuhkan tunas-tunas baru.
Namun, persoalan baru akan muncul pascakonservasi. Sebab, yang tumbuh dari hasil konservasi adalah sebuah kebudayaan baru yang bisa saja tidak ada kaitannya dengan kebudayaan yang dikonservasi. Hal ini dapat terjadi karena “bibit” yang dipergunakan untuk konservasi budaya tidak memiliki keterkaitan secara genetasi maupun vegetasi akibat belum adanya consensus tentang kebudayaan Lampung itu sendiri.
Sebab itu, tawaran Anshori Djausal lebih mengarah pada sebuah strategi untuk menciptakan kebudayaan baru bagi masyarakat Lampung, bukan melakukan pelestarian atas warisan-warisan leluhur budaya Lampung itu sendiri. Tentu, kebudayaan baru membutuhkan uji coba terhadap di lapangan untuk mengetahui apakah ada resistensi atau penolakan dari masyarakat penganut budaya lama terhadap kebudayaan baru itu. Jika yang terjadi penolakan, perlu juga dilihat seberapa besar resiko atau konflik yang ditimbulkan terhadap masa depan kebudayaan Lampung seandainya penolakan itu tidak ditanggapi.
Jika ternyata paskakonservasi itu lebih banyak mudarat yang ditimbulkan oleh kebudayaan baru, terutama terhadap upaya pelestarian nilai-nilai kebudayaan Lampung untuk mengatasi kekhawatiran-kekhawatiran mengenai kepunahan nilai-nilai tersebut, sudah seharusnya tawaran ini dipikirkan ulang. Kita tidak mungkin membuat keputusan dengan resiko konflik yang berkepanjangan, karena hal itu akan berdampak luas terhadap masa depan pembangunan daerah.

Dikotomis Kebudayaan
Tidak ada satu kebudayaan pun di negeri ini yang memiliki kekhasan seperti kebudayaan Lampung. Kebudayaan yang satu ini sangat dikotomis, terbagi atas Saibatin dan Pepadun. Inilah realitas masyarakat berbudaya Lampung yang terpecah ke dalam dua lingkungan masyarakat marga (sub budaya Lampung), dan masing-masing menganggap dikotomi diantara mereka sudah final serta tidak perlu lagi dipersoalkan.
Perbedaan-perbedaan diantara kedua penganut sub budaya ini diterima dalam lingkungan logika konsep kebudayaan nasional yakni “keekaan” dalam “kebhinnekaan”. Padahal, dalam banyak tataran social masyarakat terutama ketika kebudayaan Lampung dibawa masuk ke dalam wilayah politik kekuasaan dan birokrasi pemerintahan, konsep “keekaan” dalam “kebhinnekaan” ini menjadi luruh. Setiap penganut sub budaya justru melakukan penegasian terhadap sub budaya lain, sehingga ada sub budaya yang mendapat porsi perhatian lebih besar dari pemerintah daerah.
Berangkat dari pemikiran kebudayaan yang ditarik masuk wilayah kekuasaan politik dan birokrasi pemerintahan daerah, dikotomi kebudayaan Lampung berubah menjadi kebudayaan birokrat dan kebudayaan rakyat. Disebut kebudayaan birokrat, karena kebudayaan Lampung ini hanya berdasarkan kepada kebudayaan seperti dipahami elite-elite birokrat. Di tangan birokrat, kebudayaan Lampung adalah kebudayaan yang membuat konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara semu (pseudo state).
Di era otonomi daerah saat ini, nilai-nilai kebudayaan Lampung hanya diakui berdasarkan siapa yang menjadi pemegang legitimasi kekuasaan pemerintahan daerah. Model kekuasaannya tradisional-personal. Mereka adalah orang-orang atau keluarga/dinasti kuat, yang tanpa sadar telah membangun sebuah patri¬monial yang diwariskan dari kerajaan masa lalu. Di tangan mereka, kebudayaan Lampung menjadi bagian dari politik penandaan etnisitas. Karakterististiknya sangat patrimonial. Kebudayaan Lampung dibesarkan dalam jaringan-jaringan patron klien dan keke¬luargaan (kekerabatan).
Karakter patrimonial ini berdampak sekaligus memengaruh sistem pemerintahan nega¬ra di level local. Pemerintahan daerah dikelola secara personal seperti dalam keluarga, baik dalam penempatan jabatan-jabatan publik maupun distribusi sumberdaya keuangan. Tatanan patrimonial menjadi kerangka kerja hubungan internal dalam pemerintahan maupun hubungan antara pejabat birokrasi.

Kebudayaan Baru
Jika konsep konservasi kebudayaan yang ditawarkan Anshory Djausal diterapkan, akan muncul kebudayaan baru di lingkungan masyarakat Lampung. Kebudayaan baru itu merupakan hasil perkawinan kebudayaan dan birokrasi, dimana nilai-nilai kebudayaan Lampung sangat kuat tetapi orientasinya hanya pada kekuasaan politik.
Inilah kebudayaan birokrat, kebudayaan dimana penganutnya merupakan ahli waris yang takzim atas semangat kolonialisme di masa akhir penjajahan. Kolonialisme di masa akhir penjajahan melalui birokrasi bentukannya bersekutu dengan elite bang¬sawan di daerah dan membangun pemerintahan tidak langsung untuk menciptakan stabilitas politik.
Birokrat ini sukses menguatkan legitimasinya dengan basis etnisitas dan tradisi adat. Hukum adat dilembagakan dan menjadi unsur penting bagi pemerintah daerah dalam mengatur hubungan-hubungan setempat dengan mem¬biarkan rakyat terbelenggu dalam tata aturan yang berbasis etnis (Henk Schulte Nordholt, 2005). Politik identitas etnik menjadi representasi politik dan teritorialisasi politik. Di seluruh wilayah Lampung, kelompok dan batas-batas etnis ditetapkan sebagai hasil dari komunitas cair dengan tapal batas sangat mudah berubah, yang kemudian diberi garis pembatas jelas dengan istilah-istilah ketat serta diletakkan di dalam struk¬tur wilayah.
Di tangan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., legitimimasi kekuasaan pemerintah daerah dibangun di atas persekutuan dengan kalangan bangsawan (penyimbang) yang merupakan representasi dari nilai dan istilah dalam lingkungan sub budaya pepadun. Kehadiran Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) membuktikan hal ini, sehingga nilai dan istilah dari lingkungan sub budaya pepadun tersebut menjadi sub budaya elite birokrasi. Sementara nilai dan istilah-istilah yang ada dalam lingkungan sub budaya saibatin dengan sendirinya menjadi sub budaya rakyat.
Secara perlahan-lahan bangsawan (penyimbang) memasuki wilayah pemerintahan daerah, duduk di jajaran elite birokrasi pemerintahan daerah dan menyesuaikan diri secara halus dengan aturan baru permainan politik dan administrasi, lalu menciptakan kekuatan baru bagi kepentingan mereka sendiri untuk memperluas kekuasaan, status, dan kekayaan. Pada tataran ini, proses desentralisasi memberikan mereka kesempatan memperluas dan mempertahankan jaringan patron-klien daerah, bergabung dengan keter¬gantungan fiskal pada Jakarta, menghasilkan persaingan sengit untuk be¬rebut posisi-posisi strategis dalam pemerintahan daerah. Jabatan-jabatan tersebut memungkinkan mereka memperoleh akses eksklusif pada dana-dana pusat dan sumber-sumber daerah.

Anak Bupati jadi Bupati
Di era desentralisasi dan otonomi daerah, karakter patrimonial berpindah dan menguat di daerah. Delegitimasi sentralisme dan kebangkitan daerah menjadi ciri khas paling menonjol dalam konteks desentralisasi selama delapan tahun terakhir. Berbeda dengan kondisi masa lalu, kontrol pemerintah pusat atas daerah semakin melemah, sehingga pusat semakin berang terhadap munculnya raja-raja kecil di daerah.
Kebangkitan daerah ditandai dengan bangkitnya politik identitas (etnis), menyoloknya politik kekerabatan dalam birokrasi daerah dan bangkitnya orang-orang kuat yang mempunyai keleluasaan untuk mengendalikan sum¬berdaya ekonomi politik lokal. Pertalian darah antara gubernur, ketua DPRD, bupati/wa¬likota dan pejabat-pejabat daerah merupakan pertunjukan yang lumrah. Pemekaraan wilayah pun disiasati sebagai bagian dari politik bagi-bagi kekuasaan dalam lingkungan keluarga elite. Anak bupati di Kabupaten Tulangbawang kemudian dipersiapkan untuk menjadi bupati pada salah satu kabupaten hasil pemekaran, anak gubernur pun menjadi elite yang akan memperluas jaringan kekuasaan keluarga.
Kalangan elite lokal di Lampung meyakini bahwa politik kekerabatan merupa¬kan upaya membangun harmoni dan stabilitas. Pada tataran pemikiran demokrasi, di Lampung terjadi apa yang disebut “demokrasi konsensus”, model yang dipopulerkan Arend Lipjhart (1977). Inilah sebuah model demokrasi yang ditandai dengan pembagian dan perimbangan kekuasaan di kalangan elite untuk menjaga agar demokrasi berjalan secara stabil.
Padahal, perimbangan dan pembagian kekuasaan di antara keluarga-keluarga etnis tidak semata untuk menjaga harmoni (stabili¬tas), tetapi juga untuk menguasai sumberdaya politik dan ekonomi serta untuk memelihara kemapanan. Mereka adalah oligarki elite yang memben¬tuk negara bayangan (pseudo state) dan secara kelembagaan menciptakan hubungan yang timpang dan berjarak dengan rakyat. Hubungan mereka dengan rakyat tidak dibangun melalui komunikasi publik dan kebijakan yang impersonal, tetapi dirajut dengan cara-cara personal dan pemurah hati (benevolent) sehingga mampu membius rakyat untuk selalu bersikap mahfum. ***





You May Also Like

0 #type=(blogger)