Munafik Seniman

by - February 28, 2010

Oleh Budi P. Hatees, munafik seniman
Jika dunia seni bisa disebut sebagai buah karya kreatif kebudayaan dan karenanya menjadi bukti

MAMAK LAWOK (Gambar). betapa kebudayaan itu dinamis, maka segala pembicaraan tentang karya seni dan segala ahwal yang mengait-kaitkannya dengan geliat pasar menjadi sebuah ironi.


Penyair sastra lisan Lampung, warga Pesisir Selatan, Lampung Barat, tetap berkesenian dan menghasilkan hahiwang sambil memenuhi pesanan rumput  untuk makanan hewan ternak.

Sebab pembicaraan itu, sekali lagi dan senantiasa selalu begitu, akan menyinggung-nyinggung posisi pemerintah sebagai entitas yang mesti serbamampu mengayomi (dalam pengertian memberi fasilitas) para creator karya seni karena para creator butuh pasar sebagai penopang kreatif agar tetap bisa berkreasi.

Dengan kata lain, pemerintah harus juga memikirkan bagaimana caranya agar karya seni juga dicarikan pemodal, pembeli, dan dibangunkan pasar sebagaimana pemerintah memberikan perhatian besar kepada produk-produk industri rumah tangga seperti kripik pisang.

Inilah kesan yang saya tangkap dari berbgai diskusi tentang seni, karya seni, dan kesenian yang diselenggarakan di Provinsi Lampung akhir-akhir ini. Diskusi yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, 20 Feberuari 2010, kesan yang sama tetap kuat. Diskusi dengan tema besar Merangkul Penikmat dan Peminat Karya Seni di Lampung tersebut, menampilkan pembicara: Imas Sobariah (teater), Asaroedin Malik Zulqornain Ch (sastrawan, dan Joko Irianta (perupa). Ketiga seniman yang malang melintang di dunia kreatif itu, pada akhir diskusi sebagaimana disimpulkan Lampung Post (edisi 28 Feberuari 2010), kembali menuntut andil pemerintah dalam dunia kesenian.
“Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan pengayom masyarakat,” tulis Lampung Post dalam berita berjudul “Pemerintah, Seniman, dan Kesenian”, “harus ikut andil dalam upaya pelestarian dan keberlangsungan proses kesenian.”

Beberapa bulan sebelumnya, diskusi yang digelar UKMBS pun menghasilkan kesimpulan serupa, yakni para seniman meminta pemerintah mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk kegiatan kesenian.
Segala sesuatu berkaitan tentang kesenian harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Para seniman menganggap pemerintah itu serbatahu tentang kesenian; serba mengerti tentang karya seni; serbapaham cara mengembangkan kesenian.

Padahal, hampir tidak ada elite pemerintah di Provinsi Lampung yang pernah dekat dengan dunia kesenian dan kesenimanan, apalagi yang memiliki latar belakang kesenian. Para elite hanya sekedar tahu tentang kesenian, dan pengetahuan yang sekedar itu didapat dari para seniman, creator karya seni yang acap datang ke kantor-kantor pemerintah daerah membawa proposal permintaan dana bantuan.

***

Hampir tidak ada kegiatan kesenian di Provinsi Lampung yang tidak mengandalkan dana APBD, kemurahan hati elite pemegang kekuasaan pemerintah daerah. Bahkan, untuk menerbitkan buku para seniman seperti karya sastra, tidak sedikit dana dikeruk dari APBD. Diskusi-diskusi kesenian, baik yang ditaja sejumlah komunitas kesenian maupun lembaga-lembaga resmi seperti dewan kesenian, serta perhelatan akbar semacam Lampung Art Festival, Krakatau Award, sejumlah lomba penulisan karya seni, pelatihan-pelatihan karya seni, pementasan karya seni, kampanye baca puisi keliling sekolah-sekolah juga didanai dari APBD, sampai keberangkatan para senimana ke berbagai daerah dan luar negeri untuk mengikuti festival kesenian saja dibiayai dari APBD.

Sebagian besar seniman di Lampung adalah entitas yang hanya bisa hidup jika dibiayai APBD. Mereka yang kemudian berkeluh kesah bahwa pemerintah menutup mata dan tidak mau menjadi pengayom dan pembimbing masyarakat dalam berkesenian. 

Para seniman APBD ini, setidaknya, tanpa sadar telah membuat cap negative tentang seniman dan kesenimanan. Cap itulah yang dipahami para elite pemerintah daerah, bahwa senimana identik sebagai entitas yang baru bisa menggeliat dan berkarya setelah mendapat dana APBD. 

Sebab itu, terhadap para seniman di Lampung yang selalu berteriak bahwa pemerintah tidak mengayomi seniman dan dunia kesenian, bisa dibilang hanya muncul dari entitas yang tidak tahu diri. Entitas seperti inilah yang membuat kehidupan kesenian di Lampung menjadi tidak begitu berharga; menjadi dunianya para narsisme, karena dibuat oleh seniman dan hanya ditonton oleh seniman. 

***

Semua pembicaraan tentang seni, yang melibatkan para seniman itu sendiri, senantiasa memosisikan para seniman dalam kedudukan sangat tinggi. Mereka, seniman-seniman yang bersaing diantara mereka untuk urusan menemui pemerintah daerah guna mendapatkan gelontoran dana APBD seperti kasus keberangkatan para penyair Lampung ke Malaysia beberapa waktu lalu yang menyisahkan konflik hingga kini, merasa dirinya dan kesenimannya sangat penting dan jauh lebih penting dibandingkan kedudukan masyarakat lain. Inilah manusia yang merasa paripurna, sudah berbuat banyak, dan harus selalu diperhatikan kebutuhan hidupnya.

Padahal, seorang petani yang selalu berlumpur dan kotor, jauh lebih paripurna. Bau keringat mereka tercium harum pada aroma nasi yang dinikmati warga Provinsi Lampung setiap hari, jauh lebih banyak ketimbang orang yang menikmati puisi, karya lukis, atau pertunjukan teater. Dan petani itu, meskipun paripurna sebagai manusia yang bekerja dan menghasilkan, tetap saja hidup dalam keterpurukan ekonomi dan senantiasa kesulitan mendapatkan benih dan pupuk. Akses mereka terhadap dana APBD tidak ada, karena mereka tidak pernah memikirkan mendapatkan dana APBD, meskipun mereka selalu berusaha mendapatkan dana untuk modal usaha yang akhirnya terjerat rentenir.

Sedangkan para seniman, yang setelah menghasilkan karya, merasa bahwa urusannya sudah selesai. Mengutif teori-teori berkesenian yang diserap mentah-mentah dari luar, para seniman pun berteriak congkak: “Tanggung jawab seniman hanya satu: menghasilkan karya.”

Di dalam tanggung jawab seperti itu, hampir tidak pernah disinggung soal kualitas karya. Sebab masalah kualitas karya seni adalah masalah subversive, yang sangat personal. Segala pembicaraan tentang kualitas seni (termasuk kritik karya seni) hanya akan memicu konflik personal.

Karya para seniman Lampung, kalau sudah jadi, harus diterima apa adanya. Karya seni itu sudah menjadi seperti kitab suci, dan setiap orang harus beriman kepada karya seni yang ada. Dan memang, akhirnya, setiap karya seni yang muncul ke hadapan public, tak satu pun yang sudah melalui analisis tajam kritikus karya seni. Karya-karya seni itu, lahir seperti anak haram jadah yang hanya disukai oleh ibunya, tetapi dibenci oleh lingkungan meskipun kebencian itu tidak pernah ditunjukkan.

Karya seni itu, yang menghadapi public, kemudian tidak begitu dilirik public. Bukan saja karena tidak bersentuhan dengan kepentingan public, tetapi riwayat kemunafikan yang menyertai proses penciptaannya, dikhawatirkan justru menjadi epidemic yang merusak system social yang ada. Mereka yang melirik karya seni, yang membicarakannya sambil tertawa dan penuh puja-puji, adalah para seniman yang selalu berteriak tentang pluralisme tetapi menghasilkan karya yang sebangun, sebentuk, seragam, setipologi, semetafora, seikon, sewarna, dan….

Karya seni di Lampung, meskipun dihasilkan oleh seniman yang beragama latar-belakangnya, adalah karya yang tak merayakan pluralisme. Karya sastra yang sangat tergantung kepada siapa yang mentor. Puisi di Lampung merayakan lirik naratif yang prosais, yang berkisah tentang daun, yang membuat para penyair lebih beriman kepada anggur dan pohon mapel ketimbang nira (tuak) dan pohon bungur. Teater Lampung hanya merayakan keseragaman realisme dengan dialog-dialog puitis yang melankolis.

***

SEKALI waktu, para seniman Lampung mesti berdiskusi tentang kualitas karya. Supaya dunia seni dan kesenimanannya di jalur hakikatnya yang sebanrnya. Dan seniman, tidak perlu terus-menerus mengkritik pemerintah, tetapi terus-menerus mengeruk dana APBD untuk kegiatan kesenian dan kesenimanan.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda