Dusta Putih Para Jurnalis
Jurnalis itu tahu persis bagaimana polisi membekuk seorang pelaku begal di dalam rumahnya, di hadapan anak dan istrinya, pada suatu malam yang ditaburi gerimis. Ia ada di sana, karena sekitar sejam sebelum polisi berangkat ke rumah pelaku begal itu, komandan pasukan menghubunginya lewat telepon genggam.Ia ragu apakah akan ikut atau tidak. Jika ia ikut, ia tahu akan mendapat berita baik, tapi ia akan melihat bagaimana polisi memperlakukan pelaku begal itu. Ia sudah sering menjadi saksi ketika polisi menembak kaki pelaku begal--sebuah vonis yang mendahului proses pengadilan--justru saat pelaku tidak berdaya. Dan ia harus menulis "karena berusaha kabur, polisi terpaksa menembak...."
Tidak sedikit berita yang muncul, baik di media massa cetak maupun elektronik, yang mengisahkan penaklukkan polisi terhadap pelaku kejahatan. Semua berita itu digarap dengan teknik jurnalisme yang penuh eufemisme, dimana setiap diksi yang menggambarkan kekerasan polisi diubah sedemikian rupa, hanya untuk membuat polisi begitu heroik.
Kita pun menemukan kata atau frasa seperti "timah panas", "terpaksa", "dilumpuhkan", "melawan", "berusaha lari", "pestol", "didor", "tersungkur", dan lain sebagainya. Diksi-diksi itu dipilih untuk mengubah perilaku buruk para polisi dalam menangani pelaku tindak kejahatan menjadi sangat heroik.
Sebagian jurnalis akan membenarkan pilihan diksi itu dengan sepotong gombal yang memuakkan: "Toh ia penjahat. Ia juga membunuh korbannya."
Untuk sebuah negara hukum, supremasi hukum memang sangat anjlok di negeri ini. Pelakunya adalah polisi, salah satu pihak yang paling bertanggung jawab menegakkan keadilan hukum. Tapi, cara yang mereka pilih justru tidak adil bagi banyak orang.
Para jurnalis kita membungkus perilaku buruk penegak hukum dalam kemasan karya jurnalistik yang amboi. Padahal kita terlanjur berharap jurnalis menjadi mata, telinga, dan otak kita di lapangan. Dengan semua pancaindra dan segenap kecerdasan mereka, jurnalis diangankan sebagai juru bicara peristiwa, baik dari sisi subtansial maupun fungsional informasi.
Ketika menulis informasi tentang penangkapan begal oleh polisi dengan pembelaan yang luar
Secara teknis, JK tidak berbohong. Namun, kalau ditilik dari intensinya, ia mengecoh wartawan itu. JK tahu maksud pertanyaan wartawan itu, tetapi ia tak mau menimbulkan kehebohan. Maka, ia memberikan kesaksian dusta putih (white lie). Dapat juga dikatakan bahwa JK melakukan dosa omisi. He committed the sin of omission. Tidak semua yang diketahuinya tentang pertemuan itu diungkapkan kepada si penanya. Ketika ditanya oleh Rossy bagaimana ia bisa dengan cepat memberi jawaban seperti itu, jawabnya: ”Cuma akal sehat. Logika.”
Rupanya akal sehat atau logika pula yang membuat JK langsung menyimpulkan bahwa skandal Century adalah perampokan. Karena BI ragu-ragu, ia lalu memerintahkan kepada kepolisian untuk menangkap Tantular. JK berpikir cepat dan bertindak cepat. Belakangan memang ada politikus pemula yang juga ”pokrol” mencela tindakan JK itu. Kata politikus itu, akibat campur tangan JK dalam penegakan hukum, biang kerok skandal itu
Kita pun menemukan kata atau frasa seperti "timah panas", "terpaksa", "dilumpuhkan", "melawan", "berusaha lari", "pestol", "didor", "tersungkur", dan lain sebagainya. Diksi-diksi itu dipilih untuk mengubah perilaku buruk para polisi dalam menangani pelaku tindak kejahatan menjadi sangat heroik.
Sebagian jurnalis akan membenarkan pilihan diksi itu dengan sepotong gombal yang memuakkan: "Toh ia penjahat. Ia juga membunuh korbannya."
Untuk sebuah negara hukum, supremasi hukum memang sangat anjlok di negeri ini. Pelakunya adalah polisi, salah satu pihak yang paling bertanggung jawab menegakkan keadilan hukum. Tapi, cara yang mereka pilih justru tidak adil bagi banyak orang.
Para jurnalis kita membungkus perilaku buruk penegak hukum dalam kemasan karya jurnalistik yang amboi. Padahal kita terlanjur berharap jurnalis menjadi mata, telinga, dan otak kita di lapangan. Dengan semua pancaindra dan segenap kecerdasan mereka, jurnalis diangankan sebagai juru bicara peristiwa, baik dari sisi subtansial maupun fungsional informasi.
Ketika menulis informasi tentang penangkapan begal oleh polisi dengan pembelaan yang luar
Secara teknis, JK tidak berbohong. Namun, kalau ditilik dari intensinya, ia mengecoh wartawan itu. JK tahu maksud pertanyaan wartawan itu, tetapi ia tak mau menimbulkan kehebohan. Maka, ia memberikan kesaksian dusta putih (white lie). Dapat juga dikatakan bahwa JK melakukan dosa omisi. He committed the sin of omission. Tidak semua yang diketahuinya tentang pertemuan itu diungkapkan kepada si penanya. Ketika ditanya oleh Rossy bagaimana ia bisa dengan cepat memberi jawaban seperti itu, jawabnya: ”Cuma akal sehat. Logika.”
Rupanya akal sehat atau logika pula yang membuat JK langsung menyimpulkan bahwa skandal Century adalah perampokan. Karena BI ragu-ragu, ia lalu memerintahkan kepada kepolisian untuk menangkap Tantular. JK berpikir cepat dan bertindak cepat. Belakangan memang ada politikus pemula yang juga ”pokrol” mencela tindakan JK itu. Kata politikus itu, akibat campur tangan JK dalam penegakan hukum, biang kerok skandal itu
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda