Operasi Militer di Papua?

by - March 15, 2013

Oleh Budi Hatees

Terbit di Analisa edisi 16 Maret 2013

Operasi militer di Papua. Itulah gagasan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, dilontarkan menanggapi tewasnya delapan prajurit TNI di provinsi yang punya hak otonomi istimewa itu.

Jika mengandalkan emosi belaka, pemerintah perlu mendukung gagasan itu. Operasi militer adalah pilihan yang tak boleh ditawar. Pasalnya, di sebuah negeri yang tidak sedang perang, sangat aneh ada anggota militernya ditembaki dan mati. Seakan-akan militer itu tak punya kemampuan tempur.

Cuma, hidup berbangsa dan bernegara tidak boleh hanya mengandalkan emosi. Apalagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai lembaga negara bidang pertahanan, mestinya lebih menitikberatkan pada fungsi perlindungan kedaulatan wilayah nasional.  Bukankah amanat itu ada dijelaskan mendetail dalam Bagian Kedua UU TNI?

TNI harusnya berperan pada pertahanan negara. Jadi, dalam menjalankan fungsi dan peran pertahanan negara, pilihan TNI bukan dengan menggelar operasi militer. Tapi, TNI perlu mendorong lembaga negara di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat untuk lebih bertanggung jawab.

Dalam hal inilah, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menjadi kuncinya. Departemen pertahanan ini tidak boleh mendorong TNI untuk menggelar operasi militer, karena tanggung jawabnya adalah menata kembali tata kelola masalah keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga penembakan demi penembakan terhadap aparat maupun rakyat tidak terulang lagi.

Ingatan kita tentang operasi militer yang digelar TNI adalah ingatan tentang keperihan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sama sekali tak membawa kebahagiaan, terutama bagi masyarakat di daerah bersangkutan. Kesedihan karena kehilangan keluarga yang disayangi, kemiskinan yang berkepanjangan karena tak bisa berusaha, dan ketidakpercayaan kepada pemerintah pusat maupun daerah.

Dalam sekumpulan cerpennya, Saksi Mata, cerpenis Seno Gumira Ajidarma memotret dampak dari operasi militer yang digelar TNI di Provinsi Timor Timur. Operasi militer dengan kode “Seroja” itu, salah satunya menghasilkan ikon manusia klandestin sebagaimana dalam cerpen berjudul “Klandestin” yang ada dalam buku itu. Anggota masyarakat di suatu daerah terus menerus berkurang secara stratistik, karena mereka menjadi korban pembantaian yang tidak teridentifikasi.

Jadi, operasi militer punya sejarah panjang dan kelam di negeri ini sebagai momentum runtuhnya rasa nasionalisme, rapuhnya persatuan dan kesatuan. Bahkan, implikasi yang paling parah, operasi militer membuat Provinsi Timor Timur lepas dari genggaman dan menjadi negara yang berdaulat sendiri, Timor Leste.

Negeri kita tak perlu lagi kehilangan apapun dari wilayahnya. Upaya menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa tidak harus dibayar dengan kehilangan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab itu, gagasan operasi militer adalah pemikiran kolot dari keangkuhan watak militeristik yang seharusnya disimpan dalam lipatan sejarah usang atau dikubur sekalian dalam ingatan masa lalu.

***
Operasi militer tak layak dilakukan karena yang terjadi di Papua sebetulnya konflik sosial belaka seperti halnya konflik-konflik sosial yang akhir-akhir ini muncul di banyak daerah. Cuma, anatomi konflik sosial di Papua berbeda dengan di daerah lain, karena riwayat konflik itu kait berkait dengan tidak tuntasnya penyelesaian yang pernah dilakukan selama ini.

Artinya, ada persoalan yang “sengaja” disisakan pemerintah saat menawarkan solusi atas konflik sosial di Papua. Kita tak tahu persis kenapa, tapi kita menjadi sangat paham bahwa pemerintah memang tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan konflik sosial yang mendera negeri ini, sehingga konflik-konflik yang sama senantiasa berulang.

Di Papua, konflik sosial berbuntut pada munculnya gerombolan manusia yang mengangkat senjata karena ingin daerahnya lepas dari NKRI. Tentu, sangat aneh bila operasi militer di Irian Barat selama puluhan tahun sejak era Orde Lama sampai Orde Baru, masih menyisakan masyarakat yang bisa leluasa menenteng senjata organik kemana-mana. Senjata yang dipakai menembaki aparat, menciptakan teror, dan membangun iklim tak kondusif di daerah itu.

Mau tak mau publik mencurigai bahwa mereka, yang bergerombol dan menyebut dirinya sebagai pejuang kemerdekaan Papua, memang sengaja dibiarkan menjadi bagian dari provinsi itu. Atau, mereka adalah produk dari trauma masyarakat setempat pada kekuasaan negara yang terlalu eksploitatif terhadap sumber daya alam di daerahnya, sehingga kekayaan alamnya tidak bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut.

Jika hal itu benar, bahwa kasus-kasus penembakan itu wujud dari ketidaksenangan atas kooptasi pemerintah pusat terhadap potensi sumber daya alam Papua, maka jelas yang terjadi di Papua adalah konflik sosial. Konflik yang dipelihara segerombolan orang bersenjata organik dengan terus-menerus membangun teror, menembaki orang-orang sipil dan para ekspatriat yang bekerja di sektor-sektor pertambangan.

Gerombolan yang melakukan teror terus-menerus, menyebabkan kematian tanpa alasan bahkan dalam jumlah besar di pihak aparat keamanan, sebenarnya pantas disebut terorisme. Gerombolan ini jauh lebih pantas dijerat dengan UU Anti-Pendanaan Terorisme dibandingkan segerombolan orang yang hanya menembak satu sampai dua aparat keamanan.

Tentu, sangat mengherankan bagi publik kenapa bisa gerombolan ini memiliki senjata organik standar militer, dan pemerintah tidak pernah memasukkan mereka ke dalam kelompok terorisme? Jika tidak ada pihak yang mendanai kegiatan mereka, sehingga mereka bisa menyerang pos TNI, mustahil senjata-senjata itu sampai ke tangan gerombolan tersebut. Sebab itu, kerja aparat penegak hukum harus difokuskan pada penerapan UU Anti-Pendanaan Terorisme melalui kegiatan inteligen yang tekun dan serius, sehingga terbongkar siapa sebetulnya yang “memelihara” konflik sosial di Papua.

***

Sampai di sini muncul pertanyaan, apabila aksi-aksi penembakan di Papua itu ternyata lebih rutin menimbulkan teror dan meyebabkan korban jiwa, apakah berarti Densus 88 Antiteror sudah kehilangan kemampuannya? Ataukah, Polri tak menganggap aksi-aksi penembakan di Papua itu sebagai tindak terorisme, sehingga tidak perlu merasa harus menerjunkan pasukan antiteror yang gemar menembaki terduga teroris hingga tewas?

Jika benar seperti itu, berarti ada perlakuan berbeda dari Polri terhadap terorisme di Papua dengan terorisme di daerah Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, atau daerah-daerah lain. Perlakuan yang lebih tepat disebut ketimpangan dalam penegakan hukum terkait tindak pidana terorisme, sehingga memberi kesan bahwa aksi-aksi teror di Papua sebagai aksi yang “sengaja dipelihara”.

Semoga kesan seperti ini jauh dari realitas. Meskipun begitu, eksistensi Polri sebagai institusi penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, seharusnya berada di jalur yang semestinya. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan Polri sebagai motor utama dalam penanganan konflik sosial dengan keluarnya Inpres Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan dalam Negeri.

Maka, apabila yang terjadi di Papua diidentifikasi sebagai konflik sosial, Polri bertanggung jawab menyelesaikannya dan tak perlu mendorong TNI untuk melakukan operasi militer. Tapi, bila ternyata yang terjadi di Papua merupakan aksi terorisme, Polri harus menjalankan amanat peraturan perundang-undangan yang memberi keleluasaan kepada Polri untuk membasmi tindak pidana terorisme.

Tak seharusnya Polri bersikap dualisme dalam menilai tindak terorisme, dan tidak perlu menjadi hiruk-pikuk untuk melabeli gerakan-gerakan terorisme sebagai bagian dari kelompok terororisme global.

Orientasi Polri mestinya lebih pada urusan keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri, bukan mengharapkan puja-puji dan sanjungan dunia internasional seperti yang selama ini diperlihatkan Polri.
Polri merupakan institusi negara yang keberadaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan tugas dan tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebab itu, fokus segala bentuk kerja dari Polri haruslah berorientasi pada kepentingan masyarakat, sehingga Polri menjadi lebih dewasa dalam menyelesaikan konflik yang ada. Tentu, negara pun harus memainkan peran penting dalam urusan menangani konflik, dan tidak terlalu menyerahkan segala sesuatunya sebagai urusan Polri. Konflik sosial sesungguhnya implikasi dari penyimpangan kebijakan-kebijakan Negara, terutama yang dilakukan oleh para penegak hukum. ***

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda