Belum lama aku mengenalnya. Perkenalan itu pun terjadi tanpa bertatapan, lewat sambungan handphone--aku mengutuk benda ini karena memaksaku harus mengganti metoda pendekatan komunikasi klasik yang kadung aku nikmati. Aku tak tahu bagaimana perubahan mimiknya, gesturnya, kinemenya, dan segala ahwal pada penampilan fisiknya ketika kami bercakap-cakap. Aku hanya menduga-duga, tentu dari diksi yang ia pakai, dan kesimpulanku seperti ini: "Aku akan ke Jakarta menemuimu. Ya, secepatnya," kataku.
Aku menyukainya. Aku yakin ia akan menjadi rekan bisnisku yang baru. Aku berpikir ia punya sesuatu yang aku tak punya. Aku berharap secepatnya bisa bertemu muka dengan dirinya, lalu ia akan aku ibaratkan sebuah buku tebal yang belum pernah aku temukan, dan di dalamnya terkandung sekian banyak pengetahuan yang mampu menginspirasi.
Aku pun bertolak ke Jakarta untuk menemuinya. Ia tinggal di salah satu sudut Kota Jakarta, di dekat sebuah masjid di bilangan Jalan M.T. Haryono. "Tepat Magrib aku tiba. Aku menumpang kendaraan umum," kataku. (Aku berkeyakinan, jika ia pun memiliki keinginan yang sama untuk bertemu dengan aku, pasti ia akan menawarkan diri untuk menjemputku).
"Oke. Turunlah di Pancoran, aku jemput di sana," katanya.
Aku terlonjak karena dugaanku tidak keliru. Manusia yang seperti sebuah buku tebal pastilah akan dengan mudah menduga jalan pikiran orang lain, karena pola pikir manusia selalu sama meskipun manusia itu berasal dari startifikasi sosial paling rendah atau paling tinggi.
Lalu kami bertemu tepat ketika adzan Magrib berkumandang. Di pinggir jalan di kawasan Pancoran yang macet dan penuh bising klakson, kami tidak banyak bercakap. Hanya salaman. Kemudian ia mengajakku perg dengan sepeda motornya.
***
Semua kesanku tentang dirinya tidak bergeser jauh. Di rumahnya, katanya sebuah istana yang belum sepenuhnya usai, istri dan anaknya menyambut kami. Seperti telah beratus kali bertemu, kami kemudian terlibat percakapan terkait pembocoran biografi meskipun tidak secara langsung.
Dia, seperti juga aku, telah bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis dan bertahun-tahun pula memutuskan berhenti. Jika pada dekade 1990-an dia bekerja untuk sebuah koran di Sumatra, maka pada dekade itu saya bekerja untuk sebuah koran di Jakarta. Jika pada dekade 2000-an ia bekerja di sebuah media di Jakarta, maka pada dekade itu aku bekerja di sebuah media di Sumatra.
Begitulah, ia paham Pulau Sumatra dan Pulau Jawa,
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda