Sejarah Masyarakat Jawa di Lampung

by - February 14, 2010

Penanggalan hari itu menunjukkan angka 1 Agustus 1901. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia memerintahkan penghapus Karesidenan Bagelen, lalu digabungkan dengan Keresidenan Kedu. Kawasan itu mesti dilemahkan, karena warganya yang merupakan anak keturunan dari Kerajaan Mataram Islam, berbakat besar menjadi ekstrimis.

Masa lalu Belanda di kawasan itu sangat pahit. Para Kenthol Bagelen, pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senopati, senantiasa menjadi penghalang. Pasukan itu, juga anak keturunan mereka di kemudian hari yang bernama Pangeran Diponegoro, telah membuat Pemerintah Hindia Belanda mengalami kerugian sangat besar.

Puncaknya saat pembangunan jalan raya dari Anyer ke Panarukan. Perlawanan sengit yang dilakukan pasukan Pangeran Diponegoro merusak semua rencana Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, sehingga Pangeran Diponegoro dijadikan musuh utama yang harus dihabisi.

Dengan strategis politik adu domba, sejarah mencatat perjuangan Pangeran Diponegoro akhirnya dapat diatasi. Tertawannya Pangeran Diponegoro menjadi sejarah awal melemahnya perlawanan di kawasan tersebut sekaligus sebagai puncak kemenangan kekuasaan Hindia Belanda.

Kerugian besar yang dialami Hindia Belanda akibat perang Diponegoro melahirkan trauma besar. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya melakukan segala hal untuk melemahkan masyarakat Keresidenan Begelen. Selain menghapus Keresidenan Begelen dari peta administrasi pemerintahan, kesatuan dan persatuan warga juga dicerai beraikan.

Semangat hidup yang dibakar api perlawanan para leluhurnya, mulai dari Panembahan Senopati sampai Pangeran Diponegoro, dihancurleburkan. Mereka yang dianggap memiliki pengaruh besar, diasingkan dari komunitasnya. Para tokoh itu, dikirim ke berbagai wilayah jajahan Hindia Belanda, dilemahkan dengan menjadikan mereka sebagai buruh di kawasan Pulau Andalas (Sumatera).

Sebagian dari mereka, kemudian dikenal sebagai kuli kontrak di wilayah Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara), Sebagian lainnya mengikuti kerja paksa untuk membuka perkampungan-perkampungan baru di wilayah Sumatra Selatan (Sumatra Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung).

Tahun 1905, sebanyak 43 orang (40 orang laki-laki dan 3 perempuan), dikirim ke Lampung. Di bawah pimpinan Tuan Eteeng, mereka dikapalkan sampai Teluk Lampung, sekarang menjadi Pelabuhan Panjang. Kartoredjo, salah seorang diantara 43 orang itu, menceritakan kepada anaknya, Sudarmo , betapa perjalanan dalam kapal merupakan penderitaan yang luar biasa. Bahkan, setelah tiba di Teluk Lampung, mereka dipaksa berjalan kaki selama tiga hari menuju kawasan Gedong Tataan.

Tiba di Gedong Tataan, ke-43 orang dari Begelen itu dipaksa membuka hutan lebat untuk mempersiapkan sebuah perkampungan. Tiga perempuan di antara mereka harus memasak kebutuhan makanan, sedangkan 40 laki-laki merambah hutan lebat setiap hari. Semua terjadi di bawah pengawasan tentara Belanda, waktu istirahat hanya malam hari.

You May Also Like

5 #type=(blogger)

  1. Di balik itu, ada nggak cerita tentang 40 orang lelaki itu memperebutkan ke 3 orang perempuan itu? Hehehe ....

    ReplyDelete
  2. Bayangkanlah 3 perempuan hidup di tengah-tengah 40 orang laki-laki selama bertahun-tahun

    ReplyDelete
    Replies
    1. pak sumbernya apa pak? ada bukunya ndak? makasih

      Delete
  3. maaf pak, klo blh tau sumbernya apa ya? ada bukunya gak, makasih

    ReplyDelete
  4. Sumbernya, bisa baca Lampung Post.

    ReplyDelete

Terima kasih atas pesan Anda