Realistislah
REALISTIS, barangkali, hal paling sulit dilakukan dalam hidup. Tapi di Auschwitz, sebuah kamp pengungsi Nazi di Hongaria, laki-laki itu menegaskan kepada dirinya untuk realistis.
Bahwa jalan hidupnya berat dan masa lalu yang membebani pundaknya kelam, itu fakta yang tidak bisa dimungkiri. Fakta lain yang harus disadari, dia selamat dari kematian yang mengerikan seperti dialami tawanan lain di kamp itu, maka dia harus berpikir menjalani kehidupannya meskipun dia tidak yakin dapat hidup sebagai orang biasa.
Itulah yang disampaikan Imre Kertesz, sastrawan asal Hongaria, dalam sekian banyak karyanya, baik cerita pendek maupun novel. Realistis adalah kunci dalam menjalani hidup. Apa pun akhirnya, realistis harus ditempatkan pada posisi awal. Itu pula yang ditangkap para juri Hadiah Nobel, sehingga sastrawan yang tak pernah terkenal itu mendadak terkenal karena dianugerahi Hadiah Nobel Bidang Kesusastraan.
Tapi bukan soal hadiah itu yang pantas diingat. Melainkan soal realistis tadi, satu perkara yang paling sulit dilakukan dalam hidup. Kita, tetangga, kawan dekat, saudara, orang yang lewat, dan siapa saja, bukan orang-orang yang realistis.
Akhir-akhir ini soal ketidakrealistisan kita, terbukti sudah. Hasil pemilihan umum yang baru berlangsung, ternyata disambut sikap tidak realistik dari politisi.
Munculnya Partai Demokrat sebagai "warga baru" dalam rumah tangga politik kepartaian di negeri ini sulit diterima siapa saja. Seolah-olah rumah tangga politik itu cuma milik partai-partai politik yang memeperoleh suara dalam Pemilu 1999 lalu.
Barangkali, bangsa ini telanjur terlalu suka dengan kemapanan. Maka, begitu ada perubahan drastis, tidak bisa menerimanya begitu saja. Tidak ada penjelasan logis soal mengapa tidak bisa diterima. Semua penjelasan justru tidak logis, "pokoknya tidak mungkin". Penjelasan yang muncul dari sikap tidak bisa menerima kenyataan, tidak realistis, dan sangat tak berpikir ke depan.
Seharusnya fenomena kenaikan Partai Demokrat bisa menghasilkan analisis-analisis yang dapat memperkaya pemahaman politik nasional. Siapa tahu fenomena itu menjadi bahan pembelajaran, lalu semua partai politik meniru polanya pada pemilihan umum lima tahun ke depan.
Yang paling tidak realistis, tidak ada seorang pun merasa ikhlas atas "berkibarnya" Partai Golkar di sejumlah daerah. Banyak yang mencurigai hal itu sebagai upaya bangkitnya Orde Baru, meskipun tidak ada alasan logis yang diberikan untuk mengaitkan partai ini dengan kebangkitan Orde Baru.
Semua partai politik sama saja. Sama-sama mendapat pengakuan sebagai peserta Pemilu 2004. Tapi, mengapa kebencian selalu diberikan secara tidak adil? Mengapa partai politik baru tidak bisa diterima dengan lapang dada?
Semua itu karena tidak ada yang mau bersikap realistis. Semua pendapat disampaikan bukan berdasarkan fakta melainkan prediksi-prediski yang kuat kandungan subjektifnya.
Saya teringat pada laki-laki bekas tawanan di Auschwitz, sebuah kamp pengungsi Nazi di Hongaria, dalam sebuah cerpen yang ditulis Imre Kertesz. Dia seorang pemuda yang diragukan orang-orang dekatnya bakal mampu bertahan hidup sampai lama mengingat riwayat hidup yang pahit selama dalam kamp. Dia sadar apa yang diragukan orang-orang itu adalah benar, tetapi dia berpikir hal itu tidak akan menjadi kebenaran. Sebab, dia tidak pernah berpikir hidup yang dia jalani dalam kamp pengungsian itu sebuah penderitaan panjang karena penderitaan bertahun-tahun itu mendarah daging dalam tubuhnya.
"Setiap orang akan bertanya padaku tentang penderitaan, teror dari kam-kam konsentrasi, tapi bagiku, kebahagiaan justru selalu jadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Barangkali. Ya, itu yang akan kuceritakan pada mereka, nanti kalau mereka bertanya padaku: kebahagiaan di kamp-kamp pembantaian itu. Jika memang mereka sampai hati bertanya. Dan jika aku belum lupa."
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda