Belajar Hidup di Tanah Tinggi
Saya sedang mengendarai mobil di tengah-tengah keramaian Tanah Tinggi. Siapa pun yang mengenal daerah yang ada di Jakarta ini, pasti akan paham bagaimana saya menjadi sangat khawatir mengendarai kendaraan.
Jalan-jalan sempit di antara rumah-rumah penduduk yang padat dan sesak. Anak-anak tak punya rasa takut, mengubah badan jalan menjadi halaman rumah mereka, dimana mereka bisa menendang bola sesuka hati. Para orang tua lebih diam dari tembok-tembok rumah, lebih dingin dari air yang menggenangi comberan di sepanjang jalan. Mereka baru perduli ketika mobil atau sepeda motor menyerempet salah seorang anak. Keperdulian mereka tidak ditujukan pada keselamatan anak yang diserempet, tetapi bagaimana memeras si pengemudi kendaraan.
Saya yang datang dari sebuah daerah tak begitu padat dengan penduduk yang masih memiliki sedikit kesantunan sebagai pengguna jalan raya, sempat tegang membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Saya khawatir anak-anak yang sedang bermain bola, tiba-tiba berlari ke hadapan saya, sementara konsentrasi saya pecah untuk menghindari para pejalan kaki yang tidak mau menepi meski diklakson.
"Hati-hati," kata kawan saya. "Di daerah ini, kau bisa dengan mudah menjadi bukan apa-apa."
Kawan itu, yang telah begitu mengenali Tanah Tinggi, sengaja mengajak saya ke Tanah Tingi. Ia bilang, saya perlu datang ke daerah itu agar saya lebih bersyukur dalam hidup.
Semula saya pikir, ia mengada-ada. Terutama perihal bersyukur itu. Sebab, kata bersyukur hampir tidak pernah lepas dari pikiran saya, seolah saya dan kata itu sudah lama berkasih-kasihan dan kami saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tapi, karena saya cuma seseorang yang selalu berusaha menyenangkan hati orang lain, saya mengikuti ajakan itu.
Barulah saya paham, betapa kawan itu telah mengajarkan satu hal yang sesungguh sering saya pikirkan dan kini semakin kuat pengaruhnya. Di Tanah Tinggi, setelah saya mencoba mengenali daerah itu, saya menjadi paham betapa semua orang hidup dalam situasi ekonomi yang serbamengkhawatirkan. Mereka hidup dalam ruang-ruang kubus yang mereka sebut rumah. Tidur di dalamnya, berdempetan dengan anggota keluarga lainnya, dan kemudian keluar saat pagi buta tanpa sempat menyapu atau mengepel lantai.
Mereka sangat sibuk sebagai warga DKI Jakarta. Kesibukan yang selalu memaksa mereka untuk hidup bergegas. Bangun pagi sekali, langsung berlari ke luar rumah, mencegat angkutan kota yang membawa mereka ke Pasar Senen. Mereka tidak boleh terlambat sampai di sana. Karena terlambat bagi mereka berarti menghilangkan setumpuk rezeki.
Mereka senantiasa bergegas untuk merebut sedikit rezeki. Dari subuh sampai malam mengental. Mereka pulang ketika jalan-jalan menjadi sunyi. Tiba di rumah, langsung tertidur karena letih yang luar biasa. Subuh hari, bangun dengan tulang yang linu, lalu bergegas pergi.
Anak-anak mereka tumbuh dalam asuhan waktu. Jika waktu selalu menghardik, maka anak-anak itu tumbuh dengan emosi sangat tinggi. Dan waktu selalu menghardik Tanah Tinggi. Waktu selalu melecut. Setiap saat, selalu terdengar orang-orang berteriak, selalu terlihat orang-orang yang gelisah.
Remaja-remaja tanggung keluyuran ketika jarum jam menunjukkan angka 00 Wib. Remaja putri mendandan diri dengan tubuh dipenuhi aroma cologne yang menyengat. Aroma yang dibawa oleh angin malam, menyusup jauh ke lubang hidung siapa saja.
"Mereka juga mencari rezeki," kata kawanku. "Mau bukti, kita coba mendekati salah seorang."
Tapi malam itu, tidak seorang pun yang kami dekati. Karena saya menggigil membayangkan bagaimana mungkin orang-orang di Tanah Tinggi (di pusat kekuasaan pemerintahan negara dan karenanya pusat segala dinamika ekonomi menggeliat) justru hidup seperti berdiri di atas jurang-jurang terjal yang menunggu kakinya selip melangkah.
"Kau sudah paham apa maksud saya dengan bersyukur," kata kawan itu.
Saya menatapnya sangat lama. Saya tak memberi jawaban. Saya hanya menatapnya. Sementara pikiran saya tidak bisa membuang jauh-jauh wajah anak-anak yang bermain bola di jalan raya. Wajah-wajah itu terlihat sangat keras dengan emosi yang gampang meledak. "Hoi!" Tiba-tiba seorang anak berteriak. "Hati-hati kalau jalan. Lu kira ini jalan nenek moyang lu!"
Saya menggigil. Kepada kawan itu saya bilang: "Kita pergi saja. Saya sudah belajar banyak hal."
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda