Orang-Orang yang Merasa Paling Bersih
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah/ Dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar/ Sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah/ Mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka/ Yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah/ Mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru/Untuk menyerahkan amplop berisi perhatian/ Dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu/Dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru/ Dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu/ Untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan/Nilai-nilai palsu yang baru.
BEGITU bait pertama puisi berjudul "Sajak Palsu" yang ditulis Agus R. Sarjono, seorang penyair yang tak terkenal. Berada di tengah-tengah sebuah arena kampanye partai politik, saya teringat sajak itu. Di hadapanku seorang juru kampanye yang sedang mengunyah mikrofon. Ludahnya memuncrat, lebih deras dari tetes keringatnya, kemudian ditiup angin menjadi gelembung.
Mirip gelembung mainan anak saya, yang dibuatnya dari deterjen milik ibunya. Gelembung itu sepintas terlihat bagus, tetapi memecah-pecah ditiup angin. Gelembung itulah yang keluar dari mulut juru kampanye partai politik. Pada setiap gelembung itu aku lihat sepotong kalimat yang masing-masing berbeda, dari kalimat, "Saya akan menaikkan gaji PNS 100%", "Saya akan menghapus biaya pendidikan", "Saya akan...." Terlalu banyak kalimat bernada serupa, sebanyak jumlah gelembung, dan semuanya memecah-pecah di udara.
Barangkali saja "Sajak Palsu" itu ditulis penyair ketika berada di dalam lautan massa, di mana seseorang yang mengaku sebagai pemimpin berdiri di atas podium sambil menyampaikan janji-janji politiknya. Saat itu, dia mungkin berpikir seperti aku berpikir, si juru kampanye sebetulnya tahu dia cuma bisa berjanji. Tapi, dia juga menyadari dalam kondisi saat ini cuma janji yang bisa disebarluaskan karena janji akan cepat menguap dan tidak ada bekasnya.
"Nggak mungkinlah aku menyebarluaskan uang. Dituduh money politics, matilah aku," kata seorang juru kampanye, seseorang yang tiba-tiba saja menjadi pengurus partai politik di Provinsi Lampung. "Bisa celaka aku! Masih mending aku bisa mengumbar janji! Namanya juga rencana."
Rencana!? Ehem, tentu. Di negeri kita ini, rencana dimiliki semua elite partai politik. Rencana itu eufemisme dari gombal, omong kosong. Buktinya, tidak ada seorang pun yang merasa "termakan janji". Pada akhirnya, dengan santai, mereka akan berkata, "Itu kan dulu, waktu kampanye. Dalam kampanye, siapa saja boleh berjanji. Kampanye itu artinya strategi mengumbar janji, dan keberhasilannya diukur dari jumlah orang yang bisa dibodohi."
Lihat saja wakil rakyat produk Pemilu 1999. Tampang mereka, terutama saat kampanye beberapa tahun lalu, seolah mereka telah diturunkan Yang Mahakuasa sebagai pembawa berkah. Seolah, cuma tangan merekalah yang bisa membuat negara ini kembali gemah ripa loh jinawi. Nyatanya, boro-boro...."Tidak ada lagi Santa di sini/mereka telah tenggelam di rawa-rawa kehidupan," tulis penyair tak terkenal lainnya dalam sebuah puisi yang kulupakan judulnya.
Santa!? Ya, orang suci itu, sejak lama telah mati, di dalam diri kita. Lantas, bagaimana para juru kampanye, para calon anggota DPRD, DPR, dan DPD, itu masih sanggup bersikap seolah "mailakat"? Bukan cuma seperti "malaikat", mereka juga sudah bisa memastikan, bahwa negara tercinta ini cuma bisa aman dan berjaya jika masyarakat memilih partai politiknya. Di mana Yang Mahakuasa mereka letakkan? Apakah mereka telah membunuh-Nya?
"Aku muak dengan kampanye orang-orang yang merasa lebih paling bersih daripada air wudu," kataku.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda