Orang-Orang Letih di Atas Panggung
BAGAIMANA membayangkan orang letih dan kecapean menjadi pemimpin jutaan manusia?
Apakah mereka akan seperti Bob Dole, calon presiden dari Partai Demokrat, yang menantang Presiden Bill Clinton dari Partai Republik dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1996 lalu.
Dalam pidato politik saat kampanye, yang disusun penasihat kampanyenya, Mari Will, "Age Has Its Advantage", Dole berkata: "Perkenankan saya menjadi jembatan ke sebuah Amerika yang disebut mitos oleh orang-orang yang tidak tahu."
Sebuah pidato yang ingin menegaskan, Amerika Serikat membutuhkan orang yang berpengalaman menghadapi persoalan, matang dalam banyak sejarah, dan....
Banyak hal yang ingin disampaikan Bob Dole, yang intinya meminta masyarakat memilih tokoh tua. Dalam bukunya, The Choice How Clinton Won (1997), B. Woodward menyebut pidato Bob Dole itu muncul karena dia terlambat menyadari usianya sudah 73 tahun.
Pidato itu membuat Clinton dengan mudah mengalahkan Dole. Dalam pidato kampanyenya yang terkenal, "A Bridge to Future", Clinton mengatakan rakyat Amerika Serikat tidak butuh masa lalu melainkan harus melihat masa depan.
"Saya," kata Clinton, "orang yang tepat untuk membawa Amerika Serikat memasuki abad ke-21...."
Dan, kita tahu, Dole memang kalah. Laki-laki tua itu, yang tetap melihat kejayaan masa lalu Amerika Serikat itu, akhirnya tidak tercatat sebagai bagian dari sejarah besar Amerika Serikat.
Anehnya, laki-laki malang itu, menjelang Pemilu 2004 di Indonesia, hidup bersama semangat politiknya dalam diri calon presiden.
Inilah ironi paling menyakitkan. Bagaimana membayangkan calon presiden--orang-orang yang lelah--menawarkan gagasan kampanye mengembalikan kejayaan negara ini pada masa lalu.
Sebuah sikap yang kontraproduktif karena bangsa ini tidak membutuhkan Republik Indonesia pada masa lalu. Bangsa ini membutuhkan republik Indonesia pada masa yang akan datang.
Tapi, setelah mendengar pidato-pidato politik calon presiden Indonesia saat kampanye, keinginan itu mustahil. Masyarakat tidak pernah mendengar ada calon presiden yang, misalnya, ingin membangun sebuah bangsa di mana Amerika Serikat akan merasa kecil jika mendengar nama negara ini.
Sebaliknya, mereka masih mengusung semangat yang lama, yang sudah sering didengungkan founding father, "Berdiri sama tinggi duduk sama rendah".
Alangkah malang rakyat sebuah bangsa yang tidak memiliki pemimpin yang berpikir jauh ke depan? Alangkah naif pemimpin yang mencalonkan diri menjadi presiden tetapi lebih banyak bicara soal masa lalu?
Dengarlah isu kampanye calon presiden, rata-rata bicara soal memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Mereka, terkesan, tidak menyadari KKN itu justru dipelihara begitu mereka membicarakannya. Sebab, KKN itu berurat berakar dalam sistem birokrasi pemerintahan negara yang masih saja memelihara sumber daya manusia yang membanggakan sejarah.
Cuma manusia letih yang ingin mengembalikan kebanggaan sejarah tanpa berusaha memikirkan untuk menciptakan kebanggaan dan sejarah baru.
Meminjam ucapan Bill Clinton, bangsa ini tidak membutuhkan jembatan menuju masa silam Republik Indonesia yang pernah jaya, tetapi membutuhkan jembatan menuju masa depan yang lebih berjaya.
Sayang, kita cuma punya orang-orang letih, yang lelah, lesu, dan cuma bangga atas diri sendiri.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda