Hidup Penuh Moral

by - July 19, 2008

Seorang rakyat kecewa kepada polisi, lalu menulis surat kepada komandan polisi itu. Di dalam suratnya yang dipublikasikan koran ini, rakyat menyarankan agar persentase pendidikan moral diperbanyak di sekolah kepolisian negeri agar polisi hidup penuh moral.

Perwira polisi yang membaca surat itu merasa terenyuh. Ia membalas surat rakyatnya dan dipublikasikan di Koran ini juga, bahwa polisi hanya dididik selama enam bulan—sama seperti kursus. Dengan santun, perwira polisi meminta agar rakyat turut mengawasi kinerja polisi, karena polisi milik rakyat.

Tentu jawaban perwira polisi itu sangat umum. Setiap kali rakyat mengeluhkan soal moral polisi—yang sering seperti rampok—jawaban standar selalu diberikan: polisi kita jumlahnya sedikit, gaji mereka minim, pendidikan tak lama, pekerjaan melimpah, tunjangan minim, dan klise-klise lainnya.

Semua menjurus meminta pengertian rakyat, bahwa polisi memang wajar melakukan hal-hal yang dikeluhkan rakyat. Polisi wajar…. Ah!

Betapa ironis, sungguh. Betapa paradok, tentu. Tetapi, adakah di sekitar kita yang tak berlangsung secara ironis dan secara paradoks? Tidak.

Semua berlangsung secara bertentangan. Juga diri manusia itu sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang suda tahu bahwa polisi mesti bertugas berdasarkan hukum yang berlaku, justru malah menjalankan tugas dengan mengabaikan hukum yang berlaku.

Setiap pilihan dalam hidup, senantiasa punya risiko. Setiap orang yang menjatuhkan pilihan, sudah pasti siap dengan risiko yang ada. Kalau ada polisi yang tidak siap dengan risiko hidup miskin, banyak kerja, dan terancam bahaya, janganlah jadi polisi. Tapi, jadilah seperti yang disarankan Socrates: “Kenalilah dirimu.”

Mungkin, mereka yang memilih menjadi polisi tak pernah mengenal dirinya sendiri. Terhadap orang seperti ini, sulit mengharapkannya bisa mengenali orang lain. Mungkin, ada dari polisi yang sudah mengenali dirinya sendiri. Tapi, ia lebih percaya pada pendapat orang lain (lingkungannya), sehingga lebih tertarik untuk mendengarkan orang lain ketimbang mendengarkan suara hatinya.

Polisi seperti itulah yang ditemui rakyat yang menulis surat itu. Karena telah membekali dirinya dengan peraturan, si rakyat jadi penasaran. Ia mengira dirinya tak mengerti hukum lalu-lintas ketika polisi menilangnya untuk sebuah pelanggaran yang ia tidakmengerti.

Saya jadi teringat sebuah survey di New York Time yang menyimpulkan polisi sebagai musuh nomor satu public. Mungkin, survey ini yang mendorong Holliwood membuat film Police Academy sampai tiga seri. Di Indonesia, kita menonton film ini sambil tertawa. Tetapi di negeri asalnya, film ini menampar institusi polisi dengan tuduhan sebagai kumpulan para badut.

Mungkin, Indonesia perlu meluncurkan sinetron tentang polisi. Misal, Akademi Polisi bercerita tentang polisi sekolah enam bulan, sehingga rakyat tidak perlu lagi menulis surat pembaca. Rakyat tinggal menonton sinetron itu, lalu tertawalah sepuasnya sebagai pengejekan atas institusi yang berisi para pelawak itu.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda