Krui

by - January 15, 2010

Sekitar tahun 1816, Letnan-Gubernur Inggris di Bengkulu, Thomas Standford Raffles, bertolak ke Kota Krui, sebuah kota pelabuhan bagi Bengkulu. Kota itu begitu riuh. Para pendatang dari berbagai pelosok dunia, terutama pedagang, datang ke kota untuk berdagang.

Dari kota itulah semua kebutuhan Bengkulu dipasok, sehingga pelabuhan itu menjadi sangat penting bagi Bengkulu.

Tapi, di kota itu, Raffles datang bukan untuk melihat-lihat kota yang menghadapi ke samudra itu. Ia tidak sedang menikmati debur ombak di pantai dengan pasir putih yang begitu luas dan lebar. Ia juga tidak sedang merencanakan vakansi akhir pekan untuk memancing blue marlin di perairan itu.

Raffles, seorang Inggris yang tertarik kepada apa saja yang “India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan Hindu-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam. Di Kota Krui, ia banyak mendengar tentang kerajaan Hindu-Melayu yang disebut Skala Bekhak, jauh di pedalaman Krui, di kaki Gunung Pesagih.

Ia pun mengumpulkan sebanyak mungkin data tentang kebenaran kerjaaan Hindu-Melayu itu. Saat itulah ia dengar tentang Kerajaan Pagaruyung, sebuah kerajaan di pedalaman Minangkabau. Syahdan, disebutkan bahwa empat orang syekh dari Kerajaan Pagaruyung memasuki wilayah Kerajaan Skala Bekhak untuk menyebarkan agama Islam. Rakyat di kerajaan Hindu-Melayu itu menolak, dan keempat syekh membumihanguskan kerajaan itu.

Tertarik dengan kisah itu, Raffles bertolak ke pedalaman Krui, ke kaki Gunung Pesagih. Tapi, Raffles praktis tidak menemukan petilasan apa pun di sana. Yang ditemukannya cuma sebuah suku yang hidup di pinggir sungai, suku yang memiliki sistem sosial berdasarkan marga, dan menjunjung tinggi para kepala sukunya yang diberiu gelar dari tradisi Islam yakni Suntan.

Tak puas dengan apa yang dilihat, Raffles makin penasaran. Cerita-cerita tentang kehebatan empat syekh asal Kerajaan Padaruyung membuat Raffles berniat untuk mengunjungi kerajaan itu.

Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Standford Raffles memasuki pedalaman Minangkabau.

Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi sejak orang Portugis mendatanginya di tahun 1648, kerajaan ini tak pernah lagi diketahui orang luar.

Tapi, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun di sana. Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon buah dan nyiur. Namun, Raffles kemudian merekonstruksi sebuah masa lalu berdasarkan foklor yang didengarnya menjadi sejarah. Maka, dari tangan Raffles lahirlah Kerajaan Pagaruyung yang megah, tetapi tak bersisa--baca Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009).

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda