MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Sastra, Dunia Para Narsisme

BELAKANGAN, para sastrawan menulis di media ini tentang sastra sebagai dunia yang kurang mendapat penghargaan dari masyarakat. Saya setuju soal itu, karena persoalan sastra kita, konon sudah begitu dari dulu.
Rumah tangga sastra kita,Sastra, Dunia Para Narsisme tulis Goenawan Mohamad (GM) beberapa tahu lalu, "dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia."

Hari ini, jika dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia ini masih menjadi persoalan, ada yang keliru pada perkembangan sastra kita. Tidak bisa tidak, kesalahan mesti ditimpakan kepada para sastrawan, mereka yang memiliki dunia sastra ini.

Mereka, sejak GM menulis esainya tentang "dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia itu" sampai hari ini, tidak bisa menemukan siasat atau semacam metoda untuk membuat sastra tidak menjadi "dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia".

Ketidakmampuan itu disebabkan para sastrawan merasa, memasyarakatkan karya sastra bukan tanggung jawabnya. Tanggung jawab seorang sastrawan hanya satu, seperti pernah disampaikan Iwan Simatupang, memikirkan apa karya selanjutnya. Artinya, sastrawan hanya berkarya, menghasilkan karya sastra yang bagus dan tidak perlu mengerutkan kening untuk menjawab pertanyaan, apakah ada yang membaca karya itu atau tidak.

Ada semacam asumsi di kalangan sastrawan, karya sastra selalu akan ada pembacanya. Memang, asumsi itu sangat beralasan. Pembaca karya sastra, sangat pasti, adalah kalangan sastrawan sendiri. Mereka, seperti disebut GM, "sebagian kecil dari masyarakat Indonesia". Karena itu, bisa disebut, sastra adalah dunia yang sangat demokratis karena mengamini pemahaman konsep berdemokrasi tentang "dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat".

Dunia sastra adalah dunia "dari sastrawan oleh sastrawan dan untuk sastrawan". Karena mengamini nilai-nilai demokrasi itu, dunia sastra bisa juga disebut sebagai dunia narsisme. Simpul ini jelas akan mengundang reaksi keras dari para sastrawan. Bukan tanpa alasan bila saya sampaikan di sini.

II

Dalam waktu dekat, para sastrawan se-Sumatra Utara akan berkumpul. Sejumlah nama sudah didaftar oleh panitia. Banyak yang tak terundang. Kalau ada yang belum diundang, kita terima hal itu sebagai kelemahan manusia. Sekalipun soal tidak diundang ini, sangat mungkin, bisa disebabkan faktor-faktor non-sastra. Misalnya, objektivitas penilaian menjadi off contect karena pertemuan sastrawan yang mengatasnamakan wilayah geografis, acap dijalankan sebagai bagian dari strategi politik penandaan eksistensialisme.

Rumah tangga kesusastraan di Jambi, ini hanya contoh. Belakangan semakin diperhitungkan dalam kancah nasional. Penyebabnya, bukan lantaran karya sastra dari daerah itu, tapi karena para sastrawannya mampu menggelar pertemuan-pertemuan yang melibtakan sastrawan dari seluruh Nusantara. Sudah pasti, tidak ada yang salah dengan pilihan strategi ini, meskipun tetap kurang mampu mengangkat derajat karya sastra.

Sastrawan di daerah, sebagaimana kecenderungan sebagian besar masyarakat di Negara ini, selalu menjadi pengekor apa yang dilakukan para pelopor. Sebagai pengekor, mereka tak menjadi lebih kreatif. Sebaliknya, melakukan kemunduran dari apa yang pernah dilakukan para pelopor. Sebab, menjadi pengekor acap tidak diikuti dengan adanya gagasan dan pemikiran yang hendak dipertaruhkan dan dipelihara secara berdarah-darah.

Terhadap peretemuan se-Sumatra Utara, kita pun bisa menebak apa yang akan mereka lakukan: menerbitkan buku berisi karya para sastrawan, pembacaan puisi oleh para sastrawan dan berdiskusi. Semua kegiatan itu dikerjakan dalam rangka kangen-kangenan antara para sastrawan. Inilah hal yang galib dilakukan sastrawan. Mereka membuat acara itu begitu akbar. Padahal hanya seakan-akan akbar. Karena acara, yang bila kita lihat dari perspektif kekinian, akan seperti ini: "dari sastrawan, untuk sastrawan, dan oleh sastrawan". Sangat demokratis. Juga, ini yang penting, sangat kuat ditandai narsisme.

Jangan pernah bertanya hal intelektual apa yang berhasil dirumuskan? Pertanyaan seperti itu out off contect, karena pemikiran tak akan dihasilkan dari kegiatan yang melibatkan banyak orang, tetapi tidak disemangati oleh kepentingan yang seragam. Tiap orang yang diundang pasti memiliki perspektif berbeda dalam memandang pertemuan sastrawan, meskipun semuanya bisa disatukan oleh orientasi yang sama terkait pengakuan eksistensi sebagai sastrawan di Sumatra Utara.

Setiap orang butuh pengakuan. Setiap sastrawan butuh tempat. Tidak perduli jika tempat itu didapat bukan lantaran karya yang dihasilkannya. Tidak perduli jika untuk mendapat tempat itu seseorang tinggal menjalin komunikasi dengan panitia penyelenggara atau meminta rekomendasi dari pihak yang punya kedekatan dengan panitia penentu siapa yang harus diundang.

III

Belakangan para sastrawan Sumut gemar menggelar acara lomba pembacaan sajak yang ditaja dengan semangat mensosialisikan karya sastra kepada masyarakat. Semangat itu menjadi luntur ketika setiap peserta lomba pembacaan sajak diberi sajak yang wajib dibacakan. Sajak-sajak itu, ternyata, karya para sastrawan yang terlibat dalam kepanitian. Artinya, kegiatan lomba baca sajak itu menjadi semacam ajang narsisme bagi sebagain penyair untuk mengagumi karyanya sendiri ketika dibacakan orang lain.

Kita tak tahu alasan intelektual apa yang membuat penyelenggara mewajibkan peserta membaca sajak-sajak tertentu. Kita bisa mengasumsikan, panitia memang menggelar acara pembacaan sajak sebagai ajang untuk mempromosikan karya-karyanya sekaligus menguatkan posisinya sebagai sastrawan di mata para peserta lomba baca sajak. Ini semacam narsisme gaya sastrawan Sumatera Utara, karena kecenderungan menggelar lomba pembacaan sajak seperti ini hampir tidak ditemukan di daerah lain di Nusantara. Kalau pun ada lomba baca sajak di daerah lain, sajak-sajak yang harus dibacakan disesuaikan dengan tema lomba, sehingga sajak-sajak itu tidak mesti karya panitia penyelenggara. Apalagi pemenangnya adalah komunitas dimana panitia berada di dalamnya.

Dengan begitu, semangat menyosialisasikan karya sastra kepada masyarakat akan terealisasi. Masyarakat akan paham, karya sastra memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Hubungan yang dibangun oleh sastrawan lewat otentisitas pesan yang disampaikan dengan tema kegiatan, sehingga masyarakat bisa memahami penghayatan pribadi seorang sastrwan terhadap suatu persoalan.

IV

Dalam penerbitan buku sastra, narsisme di kalangan sastrawan Sumatra Utara untuk menerbitkan karya yang sudah pernah dibaca masyarakat menjadi buku. Para penyair misalnya, sering menerbitkan buku kumpulan sajak yang sudah lebih dahulu dipublikasikan di media massa. Bagi para sastrawan, karya yang muncul di media massa merupakan jaminan karya yang sangat baik, sehingga tak pernah memikirkan, media masa cuma salah satu medium sosialisasi karya.

Memahami media massa sebagai medium sosialisasi karya, seharusnya membuat para sastrawan menyadari, karya yang dipublikasikan lewat media massa bukan satu-satunya karya sastrawan. Di luar karya itu masih ada lagi karya sastrawan bersangkutan, sehingga masyarakat pembaca akan tertarik untuk membaca karya tersebut. Sastrawan harus mengandaikan, karya yang dia publikasikan di media massa merupakan salah satu contoh dari karya-karyanya dan ia masih memiliki karya lain yang kualitasnya mendekati karya yang sudah dipublikasikan itu.

Ternyata tidak seperti itu, karena ketika sastrawan bersangkutan mensosialisasikan karyanya dalam bentuk buku, bukan karya baru yang muncul dalam buku itu. Buku kumpulan sajak maupun cerita pendek yang diterbitkan para sastrawan, sebagian besar berisi karya-karya yang sudah pernah dipublikasikan di media massa. Padahal, sebagaian besar pembaca karya sastra di media massa, sudah mengumpulkan karya itu dalam bentuk kliping koran dan sudah pernah menikmatinya. Ketika karya yang sama diterbitkan menjadi buku, penerbitan buku ini bisa diartikan sebagai "upaya sengaja untuk tak menghargai hak pembaca".

Kondisi semacam ini telah berlangsung lama di negeri ini. Penerbitan buku sastra banyak didorong oleh keinginan para sastrawan untuk memiliki buku sendiri. Bukan lantaran para pengelola bisnis penerbitan buku melihat peluang bisnis dari buku-buku sastra, sehingga mereka punya inisiatif untuk meminta sastrawan menulis guna diterbitkan menjadi buku. Kecuali Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, bisa dikatakan hampir tidak ada buku kumpulan puisi yang berisi karya baru. Baru dalam pengertian, masyarakat pembaca belum pernah menikmati puisi-puisi itu sebelumnya.

Resiko dari tradisi semacam ini, publik menjadi kurang menyukai buku sajak. Publik paham betul, buku sajak yang muncul di negeri ini merupakan "penerbitan ulang puisi-puisi lama". Tidak ada yang baru. Lantas, untuk apa membelinya karena sudah pernah dibaca sebelumnya. Dampaknya, buku sajak tak pernah membawa keuntungan bisnis.

Bandingkan dengan buku sajak terjemahan, yang ditulis para penyairnya untuk khazanah sastra buku. Karya-karya Khalil Gibran bisa kita kedepankan. Sebelum menjadi buku, masyarakat pembaca tidak pernah menemukan sajak-sajak Gibran. Ketika menjadi buku, barulah masyarakat bisa membacanya.

Sebab itu, para sastrawan mestinya bisa menjawab sendiri kenapa minat para pelaku penerbitan buku sangat rendah untuk menerbitkan buku kumpulan sajak. Sebab, para penyair tidak pernah berusaha menulis sajak yang dipersiapkan khusus untuk khazanah sastra buku. Para penyair kita adalah individu yang menganggap publik akan menunggu bentuk buku dari karya-karyanya. Anggapan yang keliru ini semestinya ditinggalkan. Di era komputerisasi saat ini, dimana zaman telah memuncul dalam bentuk jejaring, sajak bisa ditemukan dengan mudah lewat teknologi internet. Seluruh sajak dalam buku-buku sajak bisa diunduh di internet. Para penggemar sajak, bisa mengoleksinya sesuka hati tanpa harus membeli buku sajak ini.

Para sastrawan menganggap karya-karya mereka terlalu bagus dan sayang jika tidak dijadikan buku. Anggapan ini berlebihan dan lebih banyak membawa mudarat terhadap dunia kreativitas berkarya. Para sastrawan akan pusing mencari penerbit buku sastra, lalu mengabaikan kreativitas penciptaan. Kenapa tidak berpikir sejak awal untuk menulis buku sastra, sehingga tidak terlalu pusing memikirkan masalah sosialisasi karya dalam khazanah sastra koran.

Bila seorang sastrawan merencanakan membuat karya yang dipersiapkan untuk menjadi buku, upaya itu sekaligus sebagai sebuah penghargaan atas posisi pembaca. Bagaimana pun pembaca dalam dunia buku memiliki posisi yang sama dengan pembaca dalam dunia koran. Mereka sama-sama menginginkan informasi terbaru dari bahan bacaannya. Keputusan pembaca untuk membeli buku, pertama-tama didasari oleh keinginan mendapatkan informasi terbaru dari buku yang dibelinya.

Dalam perkembangan belakangan, didukung oleh kemajuan teknologi informatika yang begitu pesat, masyarakat pembaca bisa mengetahui buku terbaru dari serial Harry Potter dalam waktu hampir bersamaan dengan apa yang diketahui oleh masyarakat di Inggris. Penyebabnya, masyarakat pembaca di Indonesia tidak ingin ketinggalan informasi tentang tokoh dalam serial Harry Potter, lalu berupaya untuk mencari informasi terbaru dari serial itu.

Kadar kebaruan dalam dunia perbukuan bergeser dan sejajar dengan kebaruan dalam dunia penerbitan media (pers). Buku-buku Harry Potter edisi lama, tidak akan diminati lagi oleh pembaca. Minat mereka akan lebih ditujukan terhadap buku terbaru dan tidak mau kalah dengan penggemar Harry Potter lainnya di negeri lain.

V

Inilah wajah sastra dan sastrawan kita akhir-akhir ini. Selalu ditandai dengan narsisme. Kita tahu, narsisme merupakan sifat dari Narsisius, seseorang dalam mitologi Yunani, yang mengagumi dirinya sendiri. Riwayat Narsisius tak sedap. Dia terbelenggung dalam penjara pikirannya sendiri. Menyangka hanya dirinya yang hebat. Mengira orang lain tidak akan pernah menjadi hebat. Kita tahu, perasaan semacam itu tak elok, karena dapat membawa seseorang pada kematian.

Dalam dunia kreatif berkesusastraan, kematian juga acap tercipta. Seorang sastrawan yang sering ikut pertemuan sastrawan, mendadak tidak berkarya lagi. Kita tak tahu kenapa, tapi kita sering mendengar sastrawan seperti itu acap bernostalgia dengan sesuatu yang dinilainya sebagai sejarah. Memuji-puji dirinya ada dalam perjalanan sejarah itu, tetapi sukar menemukan jejak-jejaknya.


 Minggu, 18 Nov 2012 

No comments

Terima kasih atas pesan Anda