Mengasah Rasa Malu
Setiap kali kita membicarakan tentang tradisi sepuku dan harakiri di Jepang, kita sering menyikapinya dengan logika orang Indonesia yang selalu ingin terlihat arif
dan logis dalam berperilaku dan bertindak. Kaca mata orang Indonesia melihat tradisi seperti itu sebagai sesuatu yang sesat dan tak layak dilestarikan.
Lantaran kita berpikir seperti orang Indonesia, kita sulit memahami sepukku maupun hara-kiri sebagai sebuah sikap budaya atau mentalitas cultural. Akibatnya, kita menjadi warga bangsa yang tidak akan pernah mampu menangkap nilai positif dari tradisi bunuh diri yang pernah dilakukan oleh orang-orang hebat dan sukses itu.
Tentu muncul pertanyaan: apa yang positif dari bunuh diri?
Cobalah kita lihat bunuh diri itu sebagai tindak pengakuan akan ketidaksanggupan seseorang menghadapi realitas yang ada di sekitarnya. Seorang sastrawan penerima Nobel asal Jepang—dan karenanya ia telah meraih sukses yang didambakan sastrawan di seluruh dunia—memiliki melakukan sepukku yang mengagetkan dunia. Kecuali menduga-duga setelah membaca karya-karyanya, tidak ada seorang pun yang tahu persis apa alasan bunuh diri sastrawan itu. Tapi kemudian dunia memahami, bunuh diri itu sebuah pilihan karena ketidakmampuannya mengubah realitas dunia di sekitarnya.
Manusia memang tidak bisa mengubah dunia. Tapi, pada tataran ini kita sampai pada penilaian, bahwa tradisi sepukku dan hara-kiri merupakan sebuah bentuk pengakuan manusia atas kelemahan (ketidakmampuannya). Hanya manusia yang mengenal dirinya sendiri yang mampu mengakui kelemahan dan ketidakmampuannya.
Sebelum sampai pada fase pengenalan diri ini, manusi akan mengalami krisis panjang atas konflik-konflik dalam dirinya. Berbagai sikap hidup, yang lurus dan mencerahkan serta yang tumpul dan gelap, bertempur dalam dirinya. Ketika manusia itu memilih bunuh diri, kita bisa mengatakan bahwa sikap hidup yang tumbuh dan gelap lebih menguasai dirinya.
Tradisi Mundur
Pada tataran yang agak mirip adalah tradisi mengundurkan diri. Seperti juga sepukku atau hara kiri, kita acap mendengar orang Jepang memiliki tradisi mengundurkan diri dari jabatan public yang diincar banyak orang. Seperti juga terhadap sepukku atau hara kiri, kita menilai tradisi mengundurkan diri itu dari kaca mata orang Indonesia, bahwa hal itu menunjukkan sikap tak bertanggung jawan dan lari dari kenyataan.
Padahal sebetulnya mengundurkan diri menunjukkan sikap sebaliknya. Ini sebuah pengakuan atas ketidakmampuan dan ketidaksanggupan diri seseorang, sebuah perasaan yang muncul dari nilai-nilai budaya malu (shame culture). Dengan mengundurkan diri, seseorang berarti memberi kesempatan kepada orang lain yang lebih mampu dan lebih sanggup untuk mengatasi persoalan yang ada.
Di Indonesia, meskipun semua suku bangsa di negara ini memiliki warisan nilai budaya malu (shame culture), hamper tidak pernah ada yang mengumumkan mengundurkan diri dari sebuah jabatan public karena merasa telah gagal. Itu sebabnya, seorang pejabat pemerintah yang sudah jelas melakukan kesalahan fatal yang menyengsarakan orang banyak seperti korupsi, tetap saja bertahan sebagai pejabat. Bahkan, malah ngotot membela diri, berkoar-koar mencari kambing hitam, lalu berperilaku seolah manusia setengah Dewa yang selalu luput dari kesalahan.
Kita seolah-olah tak punya budaya malu (shame culture), padahal sejatinya budaya ini merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk Indonesia. Setiap budaya di negeri yang kaya akan budaya ini memiliki akar budaya malu dan telah mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai sikap hidup atau falsafat hidup (way of life). Di lingkungan kebudayaan masyarakat Lampung, juga ditemukan nilai-nilai budaya serupa yang disebut piil pesenggiri.
Filsafat Lampung
Sebagai bagian dari kebudayaan Asia, masyarakat Lampung juga memiliki tradisi yang merupakan pandangan hidup yang disebut piil-pesenggiri. Konsep ini piil-pesenggiri memiliki kesamaan dengan kosep rinrin dalam tradisi Jepang yang diwariskan dari filsafat Konfusiasme. Bedanya, konsep piil-pesenggiri masyarakat Lampung berurat berakar pada filsafat agama Islam yang mengkristal dalam teks berbunyi “hablu menannas wa hablu minalloh”.
Sayangnya, konsep piil-pesenggiri dimaknai dengan sangat keliru oleh masyarakat Lampung sendiri dengan mencerai beraikan kata “piil” seolah-olah bisa dipisahkan dengan kata “pesenggiri”. Pemahaman dan penafsiran per suku kata itu menimbulkan kerancuan makna. Konsep piil-pesenggiri akhirnya dimaknai sebagai harga diri, sementara kita paham dalam konsep harga diri selalu diabaikan sistem sosial (kekerabatan dan kolektivitas).
Konsep piil-pesenggiri sebagai harga diri membuat seseorang tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, dan akhirnya orang lain akan diposisikan sebagai lian (orang asing). Sulaeman B. Taneko menekan pentingnya kepercayaan dalam sebuah masyarakat, sehingga kepercayaan yang ada mendukung terbentuknya sebuah system sosial dimana semua elemen sosial di dalamnya mendapat perlakuan yang sama.
Karena konsep piil-pesenggiri menegasikan kepercayaan, masyarakat Lampung selalu terlibat dalam krisis saling menyalahkan. Krisis Lampung adalah krisis konflik kebenaran antara Saibatin dengan Punyimbang, antara bukan Pepadun dengan Pepadun. Krisis ini bisa dihilangkan apabila setiap pihak meyakini bahwa pihak lain dapat dipercaya. Tentu, hal ini hanya mungkin dilakukan apabila konsep piil-pesenggiri sebagai pandangan hidup dipahami secara utuh dengan mengacu pada akar filsafat hidup masyarakat Lampung itu yakni ajaran-ajaran dalam filsafat agama Islam.
Pandangan Hidup
Kembali ke persoalan budaya malu (shame culture), bisa dibilang tradisi ini juga terkandung dalam filsafat hidup masyarakat Lampung. Konsep piil-pesenggiri adalah etos kelampungan (spirit of Lampung) yang mendorong setiap orang Lampung untuk
menyadari posisinya sebagai bagian dari sebuah masyarakat luas (marga). Dalam semangat ini, yang diutamakan adalah kepercayaan demi terwujudnya kebersamaan dan persatuan.
Kebersamaan hanya tercapai jika kepercayaan terjaga. Konsep kebersamaan dalam kebudayaan Lampung merupakan nilai yang universal bagi semua penganut kebudayaan, baik masyarakat Saibatin maupun Punyimbang. Kebersamaan inilah yang jika dipahami akan membuat seseorang memiliki budaya malu (shame culture).
Ketika seseorang merasa tidak mampu atau gagal melakukan sesuatu, seseorang itu harus mengakui kelemahannya sebagai bentuk pengenalan diri. Sebab itu, seseorang tidak boleh memaksakan diri untuk “pantang menyerah” meskipun tidak sanggup. Seseorang harus memberi kesempatan kepada orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda