MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Secawan dan Air dalam Sastra

Bukan cawannya, tapi airnya. Tentu, isi yang penting. Kalau kita bicara soal cawan, sebentuk benda seni, isi bukan hal yang penting. Cawan sudah bicara sendiri sebagai sebuah benda dan tidak akan memengaruhi subtansinya sebagai sebentuk cawan saat berisi air. Orang, yang memeperhatikan cawan sebagai karya seni. akan bilang: "cawan berisi air". Jadi, cawannya yang penting. Bagi orang lain yang lebih memerhatikan air -barangkali karena rasa haus yang tak tertahankan-akan mengatakan: "air di dalam cawan".
Cerita tentang cawan dan air di atas aku apresiasi dari judul tulisan "Bukan Cawannya, tapi Airnya", ditulis Damiri Mahmud. Tulisan itu diniatkan menanggapi tuduhanku atas intervensinya terhadap wilayah privasi Hasan Al Banna sebagai penulis cerpen.

Intervensi yang aku maksudkan dari pernyataan awalnya saat membandingkan Hasan dengan Bokor Hutasuhut. Hasan Al Banna disebut sebagai "pelancong" di ranah kultur Sumatra Utara yang heterogen, lalu Bokor Hutasuhut yang asli Angkola itu disebut bukan sebagai pelancong di ranah kultur Toba yang homogen.

Pelancong mengandung makna sebagai "pendatang yang hanya melihat, lalu meresapi apa yang dilihatnya" dan semua serbaselintasan. Semacam turis dalam bahasa bisnis tour and travel. Manusia yang datang ke sebuah objek pariwisata untuk memenuhi kebutuhan hidupterkait hal-hal yang bersifat menyenangkan hati.

Apakah Hasan Al Banna seorang pelancong dan karenanya nilai-nilai lokal dalam cerpen-cerpennya merupakan pengamatan seorang pelancong terhadap realitas sosial kultural masyarakat di Sumatra Utara? Berasal dari Padangsidempuan, lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat rural di Kota Padangsidempuan yang heterogen secara antropologi, Hasan Al Banna adalah keturunan Minangkabau yang oleh masyarakat sekitar disebut kelompok budaya Daret/darek (merupakan perantau dari Minagkabau).

Komunitas masyarakat Daret di Kota Padangsidempuan sangat massif. Mereka punya andil besar untuk ikut membangun daerah tersebut, memainkan peran penting di bidang perekonomian daerah sebagai keturunan pedagang. Dari lingkungan masyarakat itulah Hasan Al Banna tumbuh, hidup dengan nilai-nilai budaya yang dominan di Kota Padangsidempuan, yakni kebudayaan Angkola dan Mandailing. Asimilasi kedua budaya dominan ini menghasilkan masyarakat Kota Padangsidempuan, masyarakat kota yang pertumbuhan ekonomi daerahnya ditopang oleh sector jasa dan keuangan.

Aku memang harus menyinggung soal Kota Padangsidempuan untuk menegaskan, pembicaraan tentang wilayah privat Hasan Al Banna sebagai sastrawan, sedikit banyak memberi pengaruh terhadap nilai-nilai lokal yang ada dalam karya-karyanya. Nilai-nilai lokal itu memiliki jejak yang kuat pada nilai-nilai budaya Mandailing, Angkola dan Daret. Bahkan, di dalam cerpen-cerpennya, keanekaragam kultur yang menghidupinya, berasimilasi satu sama lain dan membias untuk memperkuat diaspora Minangkabau di Provinsi Sumatra Utara

Dengan kata lain, istilah "pelancong" tidak tepat untuk Hasan Al Banna. Lantaran itulah, segala simpul yang dibuat Damiri Mahmud tentang kandungan nilai-nilai lokal di dalam karya-karya Hasan Al Banna, sama sekali tidak mempertimbangkan frasa yang menyebut "bahasa menyatakan bangsa". Artinya, Hasan Al Banna hidup dengan tuturan Bahasa Batak (bahasa dari logat campuran Mandailing dan Angkola, yaitu bahasa Batak yang berkembang di Kota Padangsidempuan) dan itu lebih dari cukup untuk menyebut ia seorang Batak.

Sudahlah soal Hasan Al Banna, apakah ia pelancong atau bukan di Sumatra Utara ini. Baiknya aku ladeni tema pembicaraan apa yang digambarkan Damiri Mahmud dengan judul "Bukan Cawannya, Tapi Airnya". Dengan kata lain, dia ingin menyimpulkan: "yang terpenting dari karya sastra itu adalah isinya, bukan cara mengemas isi".

Sampai di sini, aku ingat pada perdebatan antara Iwan Simatupang dengan Boen S. Oemarjati tentang logika dalam sebuah cerpen Iwan Simatupang. Boen mengapresiasi cerpen Iwan Simatupang, "Tegak Lurus dengan Langit", sebagai cerpen yang tak logis. Iwan Simatupang, yang memang seorang surealis, bagi para penganut realis, jelas tidak logis. Bukan berarti tidak logis, karena pijakan logika Iwan berbeda dengan pijak logika Boen, sehingga kedua orang ini sesungguhnya sama-sama bisa dijelaskan secara logika.

Membicarakan sebuah karya sastra berdasarkan logika-logika formal sepert dilakukan Boen, hanya akan membuat karya sastra itu tampak bodoh dan buruk. Logika-logika formal seperti itulah yang jadi pijakan Damiri Mahmud sehingga ia sampai pada kesimpulan betapa tokoh dalam cerpen Hasan Al Banna itu terlalu dramatis. Kata "terlalu" mengandung makna berlebih-lebihan atau dibesar-besarkan atau tidak seuai dengan realitas yang ada.

Boen S. Oemarjati juga mempersoalkan tokoh dalam cerpen Iwan Simatupang yang menunggu seseorang di perampatan jalan dalam kurun bertahun-tahun. Jelas, tak akan ada manusia yang sanggup seperti itu. Tokoh Iwan Simatupang sanggup dan dia tetap menunggu seperti janjinya dengan orang yang ditunggunya itu. Ada nilai di sana yang hendak diperjuangkan Iwan Simatupang, yakni nilai antara lain: "manusia harus menepati janjinya".

Artinya, bukan tanpa alasan jika seorang pengarang menampilkan karakteristik tertentu dari tokohnya. Begitu juga dengan anak perempuan yang mengalami keterbelakangan mental dalam cerpen Sampah Zulaiha, tentu ada alasan Hasan menampilkan tokoh semacam itu. Tentu, tugas seorang kritikuslah untuk mengungkapkan alasan itu dan bukan malah meragukan serta mempertanyakan mana ada orang tua di lingkungan masyarakat Melayu yang berlaku kasar seperti itu kepada anak kandungnya.

Sastra adalah "cawan", dan apa yang hendak disampaikan (dikomunikasikan) Hasan Al Banna, bisa disebut sebagai "air". Bukan berarti yang paling penting adalah "air" itu, karena cawan (sastra) itu sendiri juga sangat penting. Artinya, keberadaan cawan (sastra) sangat erat kaitannya dengan air. Begitu sebaliknya, keberadaan air sangat tergantung pada cawan (sastra) itu. Keduanya tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Keduanya tidak bisa dibicarakan sendiri-sendiri.

Membicarakan sastra dengan isinya secara berbeda, itu sama persis seperti kegiatan apresiasi sastra di sekolah. Sastra akan sangat baku, dan nilai yang dikandungnya akan sangat kering. Maknanya akan konstan, jauh dari Pandangan umum yang menganggap sastra penuh ragam makna.

Aku teringat pada sebuah metoda pengajaran sastra yang pernah kami gelar di Lampung, dalam sebuah event Kemah Sastra yang ditaja Sekolah Kebudayaan Lampung bekerja sama dengan dinas/instansi pendidikan. Metoda pengajaran yang dipinjam dari Dead Poet Society, sebuah film yang bercerita tentang komunitas pelajar pencinta sastra itu, menyuruh siswa memahami konteks dari setiap karya sastra yang dibacanya, tidak melulu membaca teks. Hasilnya, sebuah sajak yang bercerita tentang wayang, sesungguhnya bicara tentang realitas hidup kita yang selalu dikendalikan.

Dalam sedikit cerpen Hasan Al Banna, aku menemukan orang Batak dari lingkungan Angkola-Mandailing dan orang Melayu - dua dari sekian banyak kultur yang berkembang di Sumatra Utara. Di dalam cerpen-cerpen itu, dia bicara tentang nilai yang membentuk dunia orang Batak Angkola-Mandailing, baik dunia ide maupun dunia nyata. Laku manusia Batak Angkola-Mandailing dibentangkanya, baik interior, psike maupun personalitasnya.
Rebana - Minggu, 16 Sep 2012 01:20 WIB

No comments

Terima kasih atas pesan Anda