Oleh: Budi P Hatees.
Terbit di Analisa edisi Minggu, 02 September 2012
Dalam tradisi masyarakat Timur, anak lahir cacat acap dihukum secara sosial sebagai kutukan atas perbuatan buruk orang tuanya di masa lalu. Misalkan anak tak sempurna secara mental, orang tua yang tak berpendidikan soal keterbelakangan mental anak akan menganggap dan memposisikan anaknya sebagai aib keluarga. Setiap kali melihat anaknya, orang tua seperti itu akan merasa bahwa anaknya hanya sebuah beban, sedang sebuah beban dianggap harus dilepaskan agar tak mengkrangkeng diri.
Tulisan ini tak dimaksudkan bicara soal psikologi anak yang mengalami keterbelakangan mental. Juga, bukan berhasrat untuk mengingatkan para orang tua yang memiliki anak penderita keterbelakangan mental agar tak mendeskriditkan, mengejek dan menganggap anaknya sebagai sebuah kutukan.
Tulisan ini cuma sebuah pintu untuk memasuki cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al Banna, yang mengisahkan Zulaiha, anak perempuan yang terlahir tidak sempurna di tengah-tengah lingkungan tradisional masyarakat pesisir.
Cerpen ini terbit pertama kali di Kompas edisi 5 April 2009, kemudian menjadi judul buku kumpulan cerpen Hasan Al Banna. Bagi para pembaca karya sastra, buku ini menjadi tonggak kepengarangan sorang Hasan Al Banna. Dia diposisikan sebagai sastrawan yang memiliki kepekaan tajam terhadap ragam realitas di sekitarnya - ekonomi, politik, budaya, sosial dan sebagainya. Dia dibanggakan karena kuat menjaga lokalitas dalam karyanya.
Soal lokalitas ini belakangan menimbulkan polemic di Sumatra Utara. Ragam defenisi diuarkan, meskipun pada akhirnya justru memperkuat kesan lama tentang sastra Nusantara yang tak pernah jauh dari realitas penamaan demi penamaan.
Sastra Nusantara, sastra dengan banyak istilah, julukan dan nama alias. Ada sastra konstekstual, sastra pop, sastra serius, sastra politik, sastra berpihak, sastra Islam, sastra religious, sastra pedalaman, sastra wangi, sastra lokal, dan sastra ini-itu.
Sastra lokal atau lokalitas dalam sastra, barangkali, sama seperti defenisi lokalisasi. Sekumpulan para penjaja daging dikasih tempat untuk berjualan dan para konsumen datang ke sana untuk menikmati "kehangatan" daging itu.
Bukan soal lokalisasi itu yang hendak dibicarakan dalam tulisan ini. Adalah tulisan Damiri Mahmud, Nihilisme sampai Sampan Zulaiha (Analisa edisi 12 Agustus 2012), yang berisi teknik membaca karya sastra - dalam hal ini buku kumpulan cerpen Sampan Zulaiha.
Saya beri tanda kutif pada kata membaca, karena Damiri Mahmud tidak semata membaca teks karya-karya Hasan Al Banna itu. Pengamat sastra yang pernah mendapat pujian dari HB Jassin ini, melakukan penafsiran, semacam kerja kritik sastra yang sesungguhnya lebih mirip pada kerja apresiator karya sastra sebagai karya seni.
Saya kutif satu alinea yang menjadi urat nadi tulisan Damiri Mahmud: "Melihat alur, gerak dan terutama narasi dengan gaya berlebih-lebihan dapat kita simpulkan, buku ini berisi cerpen-cerpen melodrama. Demikianlah kita lihat semua kisah berakhir dengan kesialan, kesedihan dan kematian. Kisah-kisah melodrama yang dengan begitu pengarang selalu berusaha mengharu-birukan pembaca terasa berlebih-lebihan dan tidak wajar".
Jadi, nasib Zulaiha dalam cerpen Sampan Zulaiha bagi Damiri Mahmud -setelah membaca teks- adalah melodrama. Terlalu dibesar-besarkan. Dicanggih-canggihkan. Diluarbiasakan. Begitu juga nasib para tokoh dalam cerpen-cerpen lainnya, bagi Damiri Mahmud, terlalu dibesarbesarkan. Apakah ada dalam sastra yang tak dibesarbesarkan. Segala sesuatu dalam kehidupan memang hasil pembesaran, dibesarbesarkan, dicanggihcanggihkan.
Sigit Susanto, seorang kawan penggila sastra, menulis tentang kesibukannya membaca Ulysses, novel James Joyce.
"Sampai sekarang Ulysses kubaca yang ketiga kali dengan durasi waktu selama 5 tahun 7 bulan. Pembacaanku yang pertama tepat selama tiga tahun (28 Maret 2006 - 3 Maret 2009). Pembacaanku kedua selama 2 tahun 7 bulan (24 Maret 2009 - 14 Oktober 2011)."
Dia bercerita tentang membaca karya sastra dilakukan dalam sebuah grup membaca (reading group) yang digagasa Yayasan James Joyce di Kota Zürich, Switzerland. Bukan soal grup membaca karya sastra itu yang menarik, melainkan tentang betapa banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk memahami Ulysses itu. Ini masuk akal apabila kita melihat teks Ulysses yang multitafsir, juga intertektualitas dengan ragam teks yang ada.
Sastra memang dan harus begitu, intertekstualisme. Teks sastra tidak berdiri sendiri. Tak ada nilai constant di dalamnya. Pun teks cerpen-cerpen dalam Sampan Zulaiha tidak berdiri sendiri. Setiap kali habis membacanya, selalu saja ada hal baru.
Saat membaca karya-karya Hasan Al Banna, sebetulnya Damiri Mahmud tidak sedang membaca sehimpun teks sastra yang disuguhkan pengarangnya kepada pembaca. Damiri Mahmud justru mengintervensi pengarang, memasuki wilayah privasinya, dan menilai Hasan Al Banna telah melebihlebihkan. Damiri Mahmud tak menilai karya, tapi menilai Hasan Al Banna.
T. Agus Khaidir dalam tulisannya, Menyemai Bunga Cerpen Hasan Al Banna terbit di Analisa edisi 26 Agustus 2012, secara arif menyebut kritik Damiri Mahmud terhadap karya-karya Hasan Al Banna hampir tak berkaitan lewat sepotong pertanyaan: "Lantas, apa hubungan Nihilisme dengan Sampan Zulaiha?". Memang, Damiri Mahmud condong menyoroti pribadi Hasan Al Banna, bukan karya-karya Hasan Al Banna. Jika dikaitkan dengan kerja kritikus sastra, maka Damiri Mahmud lebih tampak sebagai kritikus sastrawan.
Tak salah pilihan seperti itu. Cuma, pilihan itu punya kelemahan subtansial dalam melihat karya sastra. Pilihan itu milik penganut Plato yang mengakui sastra sebagai realitas, tapi realitas yang tak bisa dipercaya. Karya sastra cenderung dianggap sebagai dunia yang dilebihlebihan, realitas yang dibesarbesarkan. Berbeda dengan pandangan Aristoteles, yang menganggap karya sastra memiliki dunia otonom dan terbebas dari hal-hal ektrinsik.
Artinya, setiap sudut pandang dalam membaca karya sastra memiliki signifikansi masing-masing. Penganut Plato dan Aristoteles senatiasa berseberangan, terutama dalam melihat karya sastra sebagai sebuah wilayah otonom. Yang satu senantiasa mengait-kaitkan karya sastra dengan perihal ekstrinsik, yang lain tidak. Lantas, bagaimana melihat karya-karya Hasan Al Banna?
Kedua pendekataan itu, Plato maupun Aristoteles, tidak bisa dipisahkan. Tergantung apa kepentingan yang diinginkan. Jika kepentingan kritikus untuk melihat sisi buruk (kelemahan) dari pengarang, pandangan Plato sangat tepat. Jika sebaliknya, pandangan Aristoteles sangat cocok. Untuk karya-karya Hasan Al Banna, yang konon lokalitas itu, ada baiknya pandangan Plato dan Aristoteles digabung. Bukankah kita menghasratkan karya sastra bisa bicara banyak, seperti halnya Oliver Twist karya Charles Dickens membuka mata Inggris tentang anak-anak panti asuhan yang dimanfaatkan.
Terpenting adalah kita berusaha agar nasib manusia dalam cerpen-cerpen Hasan Al Banna jangan menjadi nasib kita, keluarga kita atau orang-orang di sekitar kita. Jangan sampai anak yang menderita keterbelakangan mental bernasib seburuk nasib Zulaiha. Hasan Al Banna telah membeberkan realitas, kita tidak bisa menyebutnya melebihlebihkan. Hidup terdiri dari hal-hal tragic, selekta ironi, dan penderitaan yang memaksa manusia untuk tertawa saat menerimanya.
Tulisan ini cuma sebuah pintu untuk memasuki cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al Banna, yang mengisahkan Zulaiha, anak perempuan yang terlahir tidak sempurna di tengah-tengah lingkungan tradisional masyarakat pesisir.
Cerpen ini terbit pertama kali di Kompas edisi 5 April 2009, kemudian menjadi judul buku kumpulan cerpen Hasan Al Banna. Bagi para pembaca karya sastra, buku ini menjadi tonggak kepengarangan sorang Hasan Al Banna. Dia diposisikan sebagai sastrawan yang memiliki kepekaan tajam terhadap ragam realitas di sekitarnya - ekonomi, politik, budaya, sosial dan sebagainya. Dia dibanggakan karena kuat menjaga lokalitas dalam karyanya.
Soal lokalitas ini belakangan menimbulkan polemic di Sumatra Utara. Ragam defenisi diuarkan, meskipun pada akhirnya justru memperkuat kesan lama tentang sastra Nusantara yang tak pernah jauh dari realitas penamaan demi penamaan.
Sastra Nusantara, sastra dengan banyak istilah, julukan dan nama alias. Ada sastra konstekstual, sastra pop, sastra serius, sastra politik, sastra berpihak, sastra Islam, sastra religious, sastra pedalaman, sastra wangi, sastra lokal, dan sastra ini-itu.
Sastra lokal atau lokalitas dalam sastra, barangkali, sama seperti defenisi lokalisasi. Sekumpulan para penjaja daging dikasih tempat untuk berjualan dan para konsumen datang ke sana untuk menikmati "kehangatan" daging itu.
Bukan soal lokalisasi itu yang hendak dibicarakan dalam tulisan ini. Adalah tulisan Damiri Mahmud, Nihilisme sampai Sampan Zulaiha (Analisa edisi 12 Agustus 2012), yang berisi teknik membaca karya sastra - dalam hal ini buku kumpulan cerpen Sampan Zulaiha.
Saya beri tanda kutif pada kata membaca, karena Damiri Mahmud tidak semata membaca teks karya-karya Hasan Al Banna itu. Pengamat sastra yang pernah mendapat pujian dari HB Jassin ini, melakukan penafsiran, semacam kerja kritik sastra yang sesungguhnya lebih mirip pada kerja apresiator karya sastra sebagai karya seni.
Saya kutif satu alinea yang menjadi urat nadi tulisan Damiri Mahmud: "Melihat alur, gerak dan terutama narasi dengan gaya berlebih-lebihan dapat kita simpulkan, buku ini berisi cerpen-cerpen melodrama. Demikianlah kita lihat semua kisah berakhir dengan kesialan, kesedihan dan kematian. Kisah-kisah melodrama yang dengan begitu pengarang selalu berusaha mengharu-birukan pembaca terasa berlebih-lebihan dan tidak wajar".
Jadi, nasib Zulaiha dalam cerpen Sampan Zulaiha bagi Damiri Mahmud -setelah membaca teks- adalah melodrama. Terlalu dibesar-besarkan. Dicanggih-canggihkan. Diluarbiasakan. Begitu juga nasib para tokoh dalam cerpen-cerpen lainnya, bagi Damiri Mahmud, terlalu dibesarbesarkan. Apakah ada dalam sastra yang tak dibesarbesarkan. Segala sesuatu dalam kehidupan memang hasil pembesaran, dibesarbesarkan, dicanggihcanggihkan.
Sigit Susanto, seorang kawan penggila sastra, menulis tentang kesibukannya membaca Ulysses, novel James Joyce.
"Sampai sekarang Ulysses kubaca yang ketiga kali dengan durasi waktu selama 5 tahun 7 bulan. Pembacaanku yang pertama tepat selama tiga tahun (28 Maret 2006 - 3 Maret 2009). Pembacaanku kedua selama 2 tahun 7 bulan (24 Maret 2009 - 14 Oktober 2011)."
Dia bercerita tentang membaca karya sastra dilakukan dalam sebuah grup membaca (reading group) yang digagasa Yayasan James Joyce di Kota Zürich, Switzerland. Bukan soal grup membaca karya sastra itu yang menarik, melainkan tentang betapa banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk memahami Ulysses itu. Ini masuk akal apabila kita melihat teks Ulysses yang multitafsir, juga intertektualitas dengan ragam teks yang ada.
Sastra memang dan harus begitu, intertekstualisme. Teks sastra tidak berdiri sendiri. Tak ada nilai constant di dalamnya. Pun teks cerpen-cerpen dalam Sampan Zulaiha tidak berdiri sendiri. Setiap kali habis membacanya, selalu saja ada hal baru.
Saat membaca karya-karya Hasan Al Banna, sebetulnya Damiri Mahmud tidak sedang membaca sehimpun teks sastra yang disuguhkan pengarangnya kepada pembaca. Damiri Mahmud justru mengintervensi pengarang, memasuki wilayah privasinya, dan menilai Hasan Al Banna telah melebihlebihkan. Damiri Mahmud tak menilai karya, tapi menilai Hasan Al Banna.
T. Agus Khaidir dalam tulisannya, Menyemai Bunga Cerpen Hasan Al Banna terbit di Analisa edisi 26 Agustus 2012, secara arif menyebut kritik Damiri Mahmud terhadap karya-karya Hasan Al Banna hampir tak berkaitan lewat sepotong pertanyaan: "Lantas, apa hubungan Nihilisme dengan Sampan Zulaiha?". Memang, Damiri Mahmud condong menyoroti pribadi Hasan Al Banna, bukan karya-karya Hasan Al Banna. Jika dikaitkan dengan kerja kritikus sastra, maka Damiri Mahmud lebih tampak sebagai kritikus sastrawan.
Tak salah pilihan seperti itu. Cuma, pilihan itu punya kelemahan subtansial dalam melihat karya sastra. Pilihan itu milik penganut Plato yang mengakui sastra sebagai realitas, tapi realitas yang tak bisa dipercaya. Karya sastra cenderung dianggap sebagai dunia yang dilebihlebihan, realitas yang dibesarbesarkan. Berbeda dengan pandangan Aristoteles, yang menganggap karya sastra memiliki dunia otonom dan terbebas dari hal-hal ektrinsik.
Artinya, setiap sudut pandang dalam membaca karya sastra memiliki signifikansi masing-masing. Penganut Plato dan Aristoteles senatiasa berseberangan, terutama dalam melihat karya sastra sebagai sebuah wilayah otonom. Yang satu senantiasa mengait-kaitkan karya sastra dengan perihal ekstrinsik, yang lain tidak. Lantas, bagaimana melihat karya-karya Hasan Al Banna?
Kedua pendekataan itu, Plato maupun Aristoteles, tidak bisa dipisahkan. Tergantung apa kepentingan yang diinginkan. Jika kepentingan kritikus untuk melihat sisi buruk (kelemahan) dari pengarang, pandangan Plato sangat tepat. Jika sebaliknya, pandangan Aristoteles sangat cocok. Untuk karya-karya Hasan Al Banna, yang konon lokalitas itu, ada baiknya pandangan Plato dan Aristoteles digabung. Bukankah kita menghasratkan karya sastra bisa bicara banyak, seperti halnya Oliver Twist karya Charles Dickens membuka mata Inggris tentang anak-anak panti asuhan yang dimanfaatkan.
Terpenting adalah kita berusaha agar nasib manusia dalam cerpen-cerpen Hasan Al Banna jangan menjadi nasib kita, keluarga kita atau orang-orang di sekitar kita. Jangan sampai anak yang menderita keterbelakangan mental bernasib seburuk nasib Zulaiha. Hasan Al Banna telah membeberkan realitas, kita tidak bisa menyebutnya melebihlebihkan. Hidup terdiri dari hal-hal tragic, selekta ironi, dan penderitaan yang memaksa manusia untuk tertawa saat menerimanya.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda