Oleh Budi Hatees
Dipublikasi di Analisa Edisi 8 November 2012
Dipublikasi di Analisa Edisi 8 November 2012
Aksi Polri saat konflik di Batangtoru, Kabupateen Tapanuli
Selatan, jauh dari kesan sebagai polisi
sipil. Inilah sosok polisi yang merakyat,
yang digadang-gadang menjadi wajah polisi masa depan di negeri ini pasca
reformasi.
Polisi-polisi yang sedang bertugas itu, lebih tampak sebagai
militer. Seperti polisi di masa lalu ketika Polri masih dalam asupan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Sangat keras dan terkesan gemar akan kekerasaan, karena metoda yang
dipakai saat menghadapi rakyat sama persis seperti menghadapi musuh di medan
peperangan. Puluhan kali senjata api meledak. Entah diarahkan kemana. Ada jerit kesakitan saat laras sepatu petugas
menendangi rakyat. Ada teriakan memaki saat petugas menekan rakyat. Ada pengrusakan. Ada intimidasi. Ada rakyat
yang ditangkap, diperlakukan seperti tawanan perang.
Pasca kerusuhan itu, Polri masih menyibukkan diri mengejar
provokator. Konon, menurut Kabid Humas Polda Sumut Kombes Heru Prakoso, sosok
provokator itu sudah terindentifikasi.
Entah siapa. Entah ada atau tidak. Yang jelas, apa yang disampaikan Heru Prakoso itu semakin
menegaskan betapa Polri akan kesulitan untuk tampil sebagai polisi sipil.
*
Rakyat dari sejumlah kelurahan di sekitar daerah aliran
sungai (DAS) Batangtoru, memang sangat marah.
Kemarahan itu tak bisa dikendalikan, kemudian berwujud dalam bentuk
tindak kekerasan berupa pengrusakan dan pembakaran fasilitas dan investaris
pemerintah.
Dan, sungguh, kemarahan rakyat Batangtoru sudah bisa
diprediksi bakal meledak. Pasalnya, sebelum kemarahan itu dimanjakan, rakyat
Batangtoru sudah menyampaikan ketidaksenangan mereka, tapi tidak
diperdulikan. Mereka memprotes rencana
PT Agincourt Resources (PT AR), perusahaan pertambangan dan pengolahan hasil
tambang emas, mengalirkan limbahnya ke Sungai Batangtoru. Alasan protes jelas,
karena sungai itu merupakan sumber hajat orang banyak yang tinggal di sepanjang
DAS.
Tapi, PT AR bergeming dengan keputusannya membuang limbah ke
Sungai Batangtoru. Bermodalkan izin yang dikeluarkan pemerintah daerah,
perusahaan ini ngotot menanm pipa pembuangan dari lokasi IPAL (instalasi
pengolahan air limbah) menuju Sungai Batangtoru. Untuk mewujudkannya, PT AR yang menebak bakal ada penolakan dan
reaksi keras dari rakyat Batangtoru, meminta bantuan Polri untuk mengamankan
pekerjaan menanam pipa tersebut.
Maka, Polri, yang selalu beralasan akan mengamankan
objek-objek vital sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawabnya, tak akan
pernah mau tahu duduk persoalan yang sesungguhnya. Konon lagi mengharapkan Polri
ikut menganalisis persoalan yang sedang terjadi, atau sekedar mempertanyakan
kenapa rakyat Batangtoru masih menyimpan kemarahan.
Dengan logika berpikir seperti itu, Polri menerima untuk
mengawal pemasangan pipa pembuangan limbah milik PT AR. Penerimaan tanpa reserve ini justru semakin memicu kemarahan rakyat Batangtoru,
karena mereka merasa tidak ada yang mau memperjuangkan kepentingan mereka. Pemerintah daerah tak mendukung, Polri lebih
berpihak ke investor, dan wakil rakyat di DPRD Provinsi Sumatra Utara maupun
DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan lebih banyak goyang kaki di kursinya.
*
Sebab itu, wajar bila rakyat Batangtoru marah. Mereka merasa
disia-siakan. Perasaan seperti ini sudah
berlangsung lama, tapi didiamkan saja. Puncaknya terjadi setelah ada kejanggalan pada hasil rekomendasi warga
sebagai persyaratan izin pembuangan limbah tambang ke Sungai Batangtoru. Rekomendasi warga itu menyebut bahwa Sungai
Batangtoru tidak terkait langsung dengan
siklus hidup warga Batangtoru, dan Pemda Provinsi Sumatra Utara dan Pemda
Kabupaten Tapanuli Selatan mempercayai hal itu.
Betapa ganjilnya para elite pemerintah daerah sampai tak
tahu kalau Sungai Batangtoru tak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena
itu, sangat beralasan bila dipertanyakan logika apa yang ada dalam kepala para elite
pemerintah daerah dengan mengizinkan PT AR membuang air limbah tambangnya ke
Sungai Batangtoru.
Pemerintah daerah perlu lebih transparan soal logika
berpikirnya, apalagi bila alasan yang diungkap karena air limbah tambang emas
itu sudah jernih seusai diproses di IPAL . Teknologi pengolahan air limbah
seperti apa yang diaflikasi PT AR sehingga air limbah itu dijamin tidak akan
merusak ekosismtem yang ada di sepanjang
Sungai Batangtoru. Soal itu tidak pernah
disampaikan secara terang, dan pernyataan soal jernih itu setumpuk data yang disebut-sebut sebagai
hasil penelitian.
Ada baiknya para elite pemerintah daerah mencoba memasak air
limbah tambang emas itu, lalu meminumnya di depan orang banyak. Sebab, bila
pemertintah daerah mengizinkan pembuangan air limbah ke Sungai Batangtoru,
berarti pemerintah daerah menyuruh rakyat meminum air limbah itu. Selama
pemerintah daerah tidak melakukan hal itu, bisa dipastikan soal pembuangan air
limbah ini akan terus menjadi persoalan bagi rakyat Batangtoru.
Persoalan ini semakin krusial ketika rakyat Batangtoru mengetahui
bahwa kepemilikan saham atas PT AR ternyata
dikatongi pemerintah daerah sebanyak 5%.
Saham 5 itu dihibahkan PT AR kepada
perusahaan yang dibangun oleh Pemda Provinsi Sumut dan Pemda Kabupaten
Tapsel. Nilai 5% saham itu tidak sedikit,
dan devidennya mampu membuat siapa saja yang berorientasi pada kepentingan
individu akan tersenyum. Apalagi bila saham 5% itu dikelola oleh elite-elite
yang sanggup menjalankan fungsi eksekutorialnya untuk mengabaikan kepentingan
public dan melegalisasi kejahatan pencemaran lingkungan.
Elite semacam ini menumpuk di Pemda Provinsi Sumut dan Pemda
Kabupaten Tapanuli Selatan. Berdasarkan legalitas atas kejahatan pencemaran
itu, para elite pun bisa memanfaatkan Polri untuk tampil sebagai “anjing
penjaga” kepentingan mereka atas nama tugas dan tanggung jawab sesuai
konstitusi. Itu sebabnya, seluruh jajaran Polda Sumut dikirim ke lokasi tambang
PT AR untuk mengamankan asset yang 5% milik pemerintah daerah itu dari
kemarahan rakyat Batangtoru.
Malangnya, Polri masih sibuk mencari provokator padahal
kehadiran lembaga Negara ini di Kecamatan Batanghari justru karena diundang
oleh investor yang sesungguhnya telah memprovokasi kemarahan rakyat. *
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda