Provokator untuk Batangtoru

by - November 06, 2012

Oleh Budi Hatees

Dipublikasi di Analisa Edisi 8 November 2012

Aksi Polri saat konflik di Batangtoru, Kabupateen Tapanuli Selatan,  jauh dari kesan sebagai polisi sipil. Inilah sosok polisi yang merakyat,  yang digadang-gadang menjadi wajah polisi masa depan di negeri ini pasca reformasi.
           
Polisi-polisi yang sedang bertugas itu, lebih tampak sebagai militer. Seperti polisi di masa lalu ketika Polri masih dalam asupan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).  Sangat keras dan terkesan gemar akan kekerasaan, karena metoda yang dipakai saat menghadapi rakyat sama persis seperti menghadapi musuh di medan peperangan. Puluhan kali senjata api meledak.  Entah diarahkan kemana.  Ada jerit kesakitan saat laras sepatu petugas menendangi rakyat. Ada teriakan memaki saat petugas menekan rakyat.  Ada pengrusakan. Ada intimidasi. Ada rakyat yang ditangkap, diperlakukan seperti tawanan perang.

Pasca kerusuhan itu, Polri masih menyibukkan diri mengejar provokator. Konon, menurut Kabid Humas Polda Sumut Kombes Heru Prakoso, sosok provokator itu sudah terindentifikasi.  Entah siapa. Entah ada atau tidak. Yang jelas,  apa yang disampaikan Heru Prakoso itu semakin menegaskan betapa Polri akan kesulitan untuk tampil sebagai polisi sipil.

*

Rakyat dari sejumlah kelurahan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batangtoru, memang sangat marah.  Kemarahan itu tak bisa dikendalikan, kemudian berwujud dalam bentuk tindak kekerasan berupa pengrusakan dan pembakaran fasilitas dan investaris pemerintah.

Dan, sungguh, kemarahan rakyat Batangtoru sudah bisa diprediksi bakal meledak. Pasalnya, sebelum kemarahan itu dimanjakan, rakyat Batangtoru sudah menyampaikan ketidaksenangan mereka, tapi tidak diperdulikan.  Mereka memprotes rencana PT Agincourt Resources (PT AR), perusahaan pertambangan dan pengolahan hasil tambang emas, mengalirkan limbahnya ke Sungai Batangtoru. Alasan protes jelas, karena sungai itu merupakan sumber hajat orang banyak yang tinggal di sepanjang DAS.

Tapi, PT AR bergeming dengan keputusannya membuang limbah ke Sungai Batangtoru. Bermodalkan izin yang dikeluarkan pemerintah daerah, perusahaan ini ngotot menanm pipa pembuangan dari lokasi IPAL (instalasi pengolahan air limbah) menuju Sungai Batangtoru. Untuk mewujudkannya,  PT AR yang menebak bakal ada penolakan dan reaksi keras dari rakyat Batangtoru, meminta bantuan Polri untuk mengamankan pekerjaan menanam pipa tersebut.

Maka, Polri, yang selalu beralasan akan mengamankan objek-objek vital sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawabnya, tak akan pernah mau tahu duduk persoalan yang sesungguhnya. Konon lagi mengharapkan Polri ikut menganalisis persoalan yang sedang terjadi, atau sekedar mempertanyakan kenapa rakyat Batangtoru masih menyimpan kemarahan.


Polri tidak akan pernah memahami bahwa siapa pun pasti akan marah ketika sumber kehidupan mereka, Sungai Batangtoru, dicemari dengan air sisa limbah tambang emas milik PT AR.  Juga, Polri tak akan mau tahu apakah kemarahan rakyat Batangtoru itu disebabkan rencana pencemaran itu disetujui oleh pemerintah daerah. Bagi Polri, PT AR tidak akan pernah salah karena didukung oleh pemerintah daerah. 

Dengan logika berpikir seperti itu, Polri menerima untuk mengawal pemasangan pipa pembuangan limbah milik PT AR.  Penerimaan tanpa reserve ini justru semakin memicu kemarahan rakyat Batangtoru, karena mereka merasa tidak ada yang mau memperjuangkan kepentingan mereka.  Pemerintah daerah tak mendukung, Polri lebih berpihak ke investor, dan wakil rakyat di DPRD Provinsi Sumatra Utara maupun DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan lebih banyak goyang kaki di kursinya.

*

Sebab itu, wajar bila rakyat Batangtoru marah. Mereka merasa disia-siakan.  Perasaan seperti ini sudah berlangsung lama, tapi didiamkan saja. Puncaknya terjadi setelah  ada kejanggalan pada hasil rekomendasi warga sebagai persyaratan izin pembuangan limbah tambang ke Sungai Batangtoru.  Rekomendasi warga itu menyebut bahwa Sungai Batangtoru  tidak terkait langsung dengan siklus hidup warga Batangtoru, dan Pemda Provinsi Sumatra Utara dan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mempercayai hal itu.

Betapa ganjilnya para elite pemerintah daerah sampai tak tahu kalau Sungai Batangtoru tak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena itu, sangat beralasan bila dipertanyakan logika apa yang ada dalam kepala para elite pemerintah daerah dengan mengizinkan PT AR membuang air limbah tambangnya ke Sungai Batangtoru.

Pemerintah daerah perlu lebih transparan soal logika berpikirnya, apalagi bila alasan yang diungkap karena air limbah tambang emas itu sudah jernih seusai diproses di IPAL . Teknologi pengolahan air limbah seperti apa yang diaflikasi PT AR sehingga air limbah itu dijamin tidak akan merusak ekosismtem  yang ada di sepanjang Sungai Batangtoru.  Soal itu tidak pernah disampaikan secara terang, dan pernyataan soal  jernih itu setumpuk data yang disebut-sebut sebagai hasil penelitian.

Ada baiknya para elite pemerintah daerah mencoba memasak air limbah tambang emas itu, lalu meminumnya di depan orang banyak. Sebab, bila pemertintah daerah mengizinkan pembuangan air limbah ke Sungai Batangtoru, berarti pemerintah daerah menyuruh rakyat meminum air limbah itu. Selama pemerintah daerah tidak melakukan hal itu, bisa dipastikan soal pembuangan air limbah ini akan terus menjadi persoalan bagi rakyat Batangtoru.

Persoalan ini semakin krusial ketika rakyat Batangtoru mengetahui bahwa kepemilikan saham atas PT AR  ternyata dikatongi pemerintah daerah sebanyak 5%.  Saham 5 itu  dihibahkan PT AR kepada perusahaan yang dibangun oleh Pemda Provinsi Sumut dan Pemda Kabupaten Tapsel.  Nilai 5% saham itu tidak sedikit, dan devidennya mampu membuat siapa saja yang berorientasi pada kepentingan individu akan tersenyum. Apalagi bila saham 5% itu dikelola oleh elite-elite yang sanggup menjalankan fungsi eksekutorialnya untuk mengabaikan kepentingan public dan melegalisasi kejahatan pencemaran lingkungan.

Elite semacam ini menumpuk di Pemda Provinsi Sumut dan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan. Berdasarkan legalitas atas kejahatan pencemaran itu, para elite pun bisa memanfaatkan Polri untuk tampil sebagai “anjing penjaga” kepentingan mereka atas nama tugas dan tanggung jawab sesuai konstitusi. Itu sebabnya, seluruh jajaran Polda Sumut dikirim ke lokasi tambang PT AR untuk mengamankan asset yang 5% milik pemerintah daerah itu dari kemarahan rakyat Batangtoru.

Malangnya, Polri masih sibuk mencari provokator padahal kehadiran lembaga Negara ini di Kecamatan Batanghari justru karena diundang oleh investor yang sesungguhnya telah memprovokasi kemarahan rakyat. *

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda