Oleh Budi Hatees
SAAT perayaan HUT Divisi Propam Polri di Mabes Polri beberapa hari lalu, yang ditandai dengan peresmian Sentral Pelayanan Propam, saya ada di sana sebagai mitra yang mempersiapkan segala sesuatu untuk kelancaran acara itu. Dalam kesibukan mempersiapkan acara tersebut, mendadak seorang kawan dari Lampung memberi kabar bahwa Pos Polantas Menggala dibakar masyarakat. Kawan itu mengatakan, masyarakat gerah, kecewa, dan marah karena salah satu tersangka kasus criminal yang ditangani Polres Tulangbawang tewas ditembak polisi. “Kematian itu terjadi bukan lantaran si tersangka melawan, “ kata kawan itu.
Saya tak langsung percaya, lalu mencoba menghubungi beberapa rekan. Saya juga mencoba menghubungi anggota Polres Tulangbawang untuk mengkonfirmasi. Karena kasus ini sedang ditangani Polda Lampung, saya tidak mendapat informasi dari pihak polisi. Dari sejumlah kawan, saya dapat keterangan seperti ini: “Dia ditangkap dalam keadaan sehat, lalu besoknya sudah tewas.”
Jika itu benar, berarti tidak berbeda dengan zaman lalu. Ketika seseorang ditangkap atau dibawa oleh petugas, maka tak ada jaminan orang itu akan sehat wal afiat. Di tahun 1991, saya punya seorang kawan mahasiswa (teman berdiskusi tentang rezim Orde Baru), ditangkap petugas saat sedang diskusi. Besoknya, saya dan beberapa kawan harus membezuk kawan itu di rumah sakit. Besoknya lagi, setelah sembuh, kawan itu ternyata tidak mau lagi berdiskusi.
Saya berpikir hal serupalah yang menimpa orang itu. Dia ditangkap, lalu (mungkin) dihajar untukmendaptkan BAP.
Dugaan saza semakin jelas, setelah membaca berita yang diturunkan media di Lampung pada 29 Juli 2010. Ada keterangan dari Kapolres Tulangbawang AKBP Benny Ali, S.I.K. bahwa penembakan dilakukan karena tersangka melawan dan mencoba kabur. Polisi kemudian mengarahkan senjatanya ke bagian kaki hingga mengenai betis.
Tersangka tewas karena sebuah lubang peluruh bundar di betisnya. Pada beberapa bagian tubuhnya penuh luka lebam. ”Kematiannya tidak wajar. Karenanya, perlu penyelidikan oleh aparat kepolisian,” beber Rian (26), sepupu almarhum seperti diberitakan media di Lampung pada edisi 2 Agustus 2010.
Rian menuturkan, keluarganya tidak mempermasalahkan penangkapan Arifin. Namun, kematian korban perlu diselidiki agar benar-tidaknya dugaan kekerasan dapat di-clear-kan. ’’Sepupu saya itu diambil dari rumah belum ada luka tembak. Paginya, kami dapat kabar dia ditembak. Siang harinya, dia dikabarkan telah meninggal dunia,” paparnya.
***
“TERULANG LAGI,” pikir saya begitu mendengar kabar kematian tersangka di Polres Tulangbawang. Seingat saya, kasus serupa juga pernah terjadi di wilayah Polres Tulangbawang. Sekitar lima tahun lalu, ada seorang tersangka di Kecamatan Menggala yang juga tewas setelah dibawa anggota Polres Tulangbawang. Saat diciduk dari rumahnya pada dini hari, tukang bengkel sepeda yang disangka sebagai pelaku pembegalan itu, masih segar bugar. Tapi, siang harinya keluarga mendengar kabar bahwa si tersangka sudah tewas dengan tubuh penuh lebam.
Saat itu saya bersama Lampung Police Watch– saya sendiri dalam rangka tugas jurnalistik– mencoba mencari data perihal kematian tersangka tersebut. Dari keterangan pihak keluarga, akhirnya terungkap bahwa polisi sering memberi vonis lebih dahulu sebelum tersangka dibawa ke pengadilan. Vonis itu sangat telak, tegas, dan tidak bisa diganggu gugat yang biasa dikenal kalangan tersangka dengan istilah“dilobangi”.
Saya cuma bisa menggeleng kepala mendengar persoalan itu. Sebab, pada saat kabar itu saya dengar, saya sedang menulis buku Jurnal Sentra Pelayanan Divisi Propam Polri yang salah satu itemnya menyinggung Keputusan Kapolri No. Pol.:Kep/97/XII/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Irwasum Polri, Divisi Propam Polri, dan Bintelkam Polri. Khusus Divisi Propam Polri, salah satu tugasnya disebutkan: “melakukan pembinaaan dan menyelenggarakan fungsi pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal termasuk penegakan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri.”
Tentu, bukan itu saja, Disivi Propam Polri juga melayani pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggota/PNS Polri. Sebab itu, saya berpikir alangkah tepatnya jika pihak keluarga tersangka memanfaatkan momentum HUT Divisi Propam Polri dengan mengadukan persoalan mereka langsung ke Sentra Pelayanan Propam Polri.
Bagaimana pun akan sangat bias apabila kasus yang terkait anggota Polda Lampung ini ditangani oleh Polda Lampung. Logika umum akan bekerja dan mempertanyakan, bagaimana mungkin Polda Lampung akan menindak personilnya yang justru menunjukkan betapa “pekerjaan melakukan pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pertanggungjawaban profesi” tidak berhasil seperti diharapkan?
Karenanya, masyarakat dari Kabupaten Tulangbawang yang merasa ada kejanggalan dalam penanganan tersangka oleh anggota Polres Tulangbawang, boleh langsung ke Devisi Propam Polri untuk mengeluhkan atau menyampaikan persoalan yang dihadapinya. Di lingkungan Devisi Propam Polri, ada Sentra Pelayanan Propam yang dapat menampung semua jenis keluhan dari seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Petugas di Sentra Pelayanan Propam akan membantu dan menyelesaikan semua keluhan masyarakat secara transparan, karena masyarakat akan dilayani via telepon, facebook, twitter, dan bahkan bisa mengecek hasil kerja itu lewat website www. propam.polri.go.id. Petugas Divisi Propam Polri akan sangat membantu dengan menemani masyarakat pengadu ke bagian-bagian yang berkaitan dengan persoalan yang diadukan, baik ke Provos, Paminal, dan lain sebagainya. Setiap masyarakat pengadu akan dilindungi sesuai hokum berlaku dan dijaga kerahasiaannya.
Sentra Pelayanan Propam diluncurkan sebagai pilot projek polisi untuk melayani masyarakat. Citra Polri yang begitu buruk di mata masyarakat, di lingkungan Sentra Pelayanan Propam mengalami perubahan drastic. Di tempat ini, sistem pelayanan yang diberikan membuat masyarakat merasa memeiliki institusi Polri, karena tempat itu menjadi ruang public yang paling tepat bagi masyarakat untuk meminta penyelesaian atas kasus yang dialaminya. Ada transparansi penyelesaian kasus yang dilaporkan, karena setiap pelapor akan mendapat SP2HP2-4 (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil pemeriksaan Propam) yang dikirim ke alamat pelapor. Masyarakat pelapor bisa juga menelepon petugas dan menanyakan hasilnya selam 24 jam.
Masyarakat harus melaporkan petugas Polri yang arogan, karena Polri adalah sipil dan bukan militer. Polri merupakan bagian dari masyarakat yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri bekerja dibiayai oleh anggaran negara, dan mesti menyampaikan kepada masyarakat setiap item dari pengelolaan keuangan negara itu. Artinya, sebagai institusi yang mengelola dan mempergunakan keuangan negara, Polri juga harus berorientasi kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik negara. Sebab itu, sosok polisi yang arogan, suka memvonis tersangka, main ancam masyarakat di jalan raya, seharusnya disingkirkan dari instritusi Polri. Anggota polisi seperti ini merusak kerja keras orang banyak untuk memperbaiki citra Polri.
Masyarakat Lampung berharap agar Kapolda Lampung Brigjen Sulistyo Ishak benar-benar menjalankan semangat reformasi Polri sesuai grand startegis yang kini memasuki tahap ke-2. Pada tahap ke-2 ini, Polri berupaya keras mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusinya. Salah satu caranya, tumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan “membuang” para anggota Polri yang arogan dan melanggar Kode Etik Profesi. Polisi tanpa kepatuhan terhadap Kode Etik Profesi polri adalah polisi yang akan menghambat pencapaian grand strategi Polri tahap ke-2 yakni membangun kepercayaan masyarakat.
***
TENTU, ini pun bukan jaminan bahwa masyarakat akan diperhatikan kepentingannya. Sebab, negeara kita ini sudah banyak menghasilkan peraturan dan kebijakan terkait masalah hak asasi manusia, tetapi realitas yang kita lihat justru sebaliknya. Kita hidup dalam negara yang sangat merdeka, tetapi kemerdekaan yang ada hanya sebatas peraturan-peraturan, bukan pada perilaku para elite.
Jajaran Polri, melalui Kapolri, mengeluarkan Peraturan Nomor 8 Tahun 2009 tentang IMPLEMENTASI PRINSIP DAN STANDAR HAK ASASI MANUSIA DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Pada Pasal 2 (a) disebutkan maksud dari Peraturan ini adalah “sebagai pedoman dasar implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas Polri”.
Kenyataannya, justru setelah Peraturan Kapolri ini dikeluarkan, polisi semakin tidak genah dalam hal HAM. Masih suka mengimitasi diri sebagai tokoh film, yang memaksa para tersangka mengaku untuk kepentingan BAP, dan hal itu berarti mengambil alih tugas hakim. Polisi kita, pelayan masayarkat, ternyata penekan rakyat.
Kita belum merdeka sepenuhnya, meskipun dari peraturan perundang-undangan kita sudah sangat merdeka.
1 #type=(blogger)
saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia
ReplyDeleteNice article,thanks for share :)
Terima kasih atas pesan Anda