Buku "Tulisan Yang Tak Enak Dibaca"
Sebuah pesan masuk ke email saya dari seseorang yang pernah saya kenal, seseorang yang pernah menjadi rekan kerja di sebuah institusi pers. Isinya menanyakan tentang buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA, yang saya tulis dan sekarang sedang dalam tahap pematangan di percetakan. Ia menanyakan banyak hal sekaitan isi buku yang sesungguhnya tak pernah dibacanya. "Tulisan itu kan untuk internal koran, kenapa diterbitkan jadi buku?" Itu salah satu pertanyaan sambil menambahkan bahwa saya bisa digugat di hadapan hukum karena tulisan itu.
Tentu saja saya tertawa sambil memikirkan motivasi apa yang mendorongnya untuk bertanya. Apakah seseorang tidak boleh lagi menyampaikan gagasan dan pikirannya lewat buku? Apakah buku itu nanti akan dilarangnya setelah saya "entah dengan alasan apa" dilarang menulis di Lampung Post? Kekuatan apa yang dimilikinya untuk melakukan pelarangan semacam itu di era kebebasan berpikir dan berpendapat saat ini?
Saya hanya tertawa. Terpingkal-pingkal. Betapa bodohnya kawan saya itu, seorang wartawan senior yang bekerja pada sebuah institusi pers "yang konon besar" di Provinsi Lampung. Saya teringat satu tulisan saya dari 20 tulisan dalam buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA. Tulisan itu berjudul "Berangkat dari Tesis, Berakhir jadi Berita" yang mengungkap tentang watak para wartawan yang cenderung "merasa mapan" secara intelektual sehingga anti terhadap peningkatan kualitas diri. Dalam tulisan "Berangkat dari Tesis, Berakhir jadi Berita", saya menulis apa yang saya lihat selama ini terkait bagaimana seorang wartawan menghasilkan berita.
Kesimpulan dari tulisan itu, sebagian besar wartawan telah mengubah kegiatan kewartawanan menjadi bukan lagi kegiatan keintelektualan. Kegiatan kewartawan sudah menjadi rutinitas "memproduksi berita" sama seperti pabrik kecap memproduksi kecap. Dalam proses produksi itu, yang tertinggal pada diri wartawan hanya bekas berita yang menjelma menjadi sampah dan menyebabkan pengaratan pada sistem produksinya. Sebagian besar wartawan menulis tanpa tesis dan karenanya tanpa intelektualitas. Mereka merupakan penghasil berita, yang malangnya tidak memperoleh intelektual apapun dari hasil kerjanya itu.
Sebagaimana sebagian besar dari 20 tulisan itu, kesimpulan-kesimpulan saya buat setelah melakukan analisis isi kualitatif atas berita-berita yang dihasilkan wartawan selama kurun 2006 sampai 2010 dengan objek koran-koran yang terbit di Provinsi Lampung. Berita yang bertema sama yang terbit di Lampung Post, Radar Lampung, Tribun Lampung, Lampung Ekspress Plus, Bandar Lampung News, dll, saya analisis satu per satu dari perspektif analisis wacana kritis (critical discourse analysis), sehingga akan jelas koran mana yang tidak berpihak kepada kepentingan publik dan koran mana yang berpihak. Pada tataran ini saya lebih melihat berita dan segala sesuatu yang dipublikasikan media massa merupakan wacana yang di dalamnya mengandung idiologi tertentu.
Analisis Wacana Kritis sebuah metoda untuk pengungkapan maksud tersembunyi dari penulis/wartawan/institusi pers yang mengemukakan atau mempublikasikan suatu pernyataan/berita. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi penulis/wartawan/institusi pers dengan mengikuti struktur makna dari penulis/wartawan/institusi pers sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi.
Pemahaman dasar tentang analisis wacana kritis adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi. Analisis ini melihat pemakaian bahasa tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dipandang menyebabkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, istitusi, dan struktur sosial.
Kembali ke email yang dikirim kawan saya yang wartawan senior itu, mau tak mau saya terpingkal-pingkal. Betapa kocaknya jika wartawan, yang konon masuk dalam kelompok intelektual, gemar melarang orang lain berpikiran terbuka dalam menyampaikan gagasan dan ide. Hal ini mengingatkan saya pada satu dari 20 tulisan dalam TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA, yang berjudul "Eufemisne Fakta: Ketika Redaktur jadi Diktator". Tulisan itu merangkum keluhan sejumlah wartawan--dari berbagai media di Provinsi Lampung-- terhadap kebiasaan buruk para redaktur di institusi tempat mereka bekerja. Para redaktur, mereka yang diberi tanggung jawab besar oleh institusinya untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam setiap halaman media cetak, sesungguhnya telah menjadi diktator dan tiran yang suka memenggal isi berita dengan sangat subyektif. Subyektivitas yang muncul karena si redaktur acap mendapat telepon dari narasumber berita agar tidak menerbitkan berita yang ditulis wartawan. Sebagian redaktur kemudian melakukan eufemisme fakta atas berita yang ditulis wartawan, sebagian lainnya betul-betul membuang berita yang ditulis wartawannya.
Kondisi ini terjadi karena faktor tingkat intelektualitas redaktur tidak cukup memahami dampak yang dapat terjadi bila sebuah informasi dikebiri. Faktor lain yang sangat besar pengaruhnya pada kinerja redaktur adalah orientasi personal dalam sistem manajemen institusi pers, dimana ada anggapan bahwa berita kiriman wartawan merupakan alat negosiaasi yang paling efektif untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Apa dampak dari berita yang dikebiri? Salah satu isi buku membahasa soal ini. Dengan judul "Berita-Berita Yang Dibuang dan yang Dihempaskan", dibahas tentang berita-berita yang dibuang redaktur, yang masih disimpan oleh wartawan dalam file-file mereka. Tak semua berita itu buruk sebagai karya jurnalistik, tetapi karena berita itu menyinggung hal-hal yang sesungguhnya terkait pada kepentingan personal tertentu dalam manajemen redaksional institusi pers tempat mereka bekerja.
Saya kembali tertawa, menertawan realitas bisnis pers di Provinsi Lampung yang tak menguntungkan para pemodal karena sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki mengalihkan keuntungan perusahaan menjadi keuntungan pribadi. Persoalan inilah yang saya bicarakan pada satu dari 20 tulisan dalam buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA . Tulisan berjudul berjudul "Institusi Pers untuk Personal SDM".
Keseluruhan isi buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA ini memang "tak enak dibaca" oleh pengelola institusi pers tetapi akan menjadi bacaan menarik bagi para pengambil kebijakan, elite, calon wartawan, akademisi, dan masyarakat. Buku ini ingin memberitahu bahwa banyak wartawan yang sesungguhnya tidak bekerja untuk rakyat atau institusi pers, melainkan untuk dirinya sendiri.
Semula judul buku ini MATINYA PERS DI LAMPUNG, judul yang saya ambil dari sebuah tulisan saya tentang kedekatan wartawan dengan pemerintah daerah, yang pernah dipublikasikan di Radar Lampung. Tapi, beberapa teman yang pernah membaca naskah buku ini menolak judul itu dan menawarkan judul TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA. Judul ini diambil dari kalimat penutup dalam analisis atas isi sebuah penerbitan di Lampung dalam berkala Salam Kreatif yang saya tulis setiap hari selama bekerja di Bagian Penelitian dan pengembangan sebuah institusi pers di Lampung. Pada kalimat akhir dari analisis saya selalu ditulis seperti ini:
Karena analisis ini masih panjang dan saya takut semakin panjang, baiknya disudahi saja. Sekali lagi, ini bukan tulisan yang enak dibaca.
Karena itu, buku ini lebih memilih judul TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA. Meskipun demikian, pada setiap uraian tentang persoalan, saya selalu menampilkan alternatif sebagai solusi dengan mengacu pada metoda-metoda yang ideal dalam pengemasan berita untuk media massa. Saya niatkan buku ini juga untuk bacaan mahasiswa saya dalam matakuliah Komunikasi Massa.
Semoga tulisan ini dibaca oleh kawan saya yang wartawan senior itu. Tidak ada niat untuk hal-hal negatif. Buku ini diterbitkan karena melihat betapa analisis berita menjadi sangat penting bagi banyak lembaga. Saya menemukansejumlah fraksi di DPRD Lampung menugaskan orang tertentu untuk menganalisis berita tertentu agar bisa dikomentari oleh para anggota Fraksi dalam rangka promosi politik di media massa. Pemda juga melakukan analisis berita untuk melihat kebutuhan masyarakat, begitu juga lembaga-lembaga swasta dan lain-lain. Partai-partai politik juga melakukan analisis berita yang terbit di media.
Dari sekian banyak hasil analisis yang saya baca, saya berharap buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA ini bisa menjadi pemandu agar hasil analisis mereka tidak merugikan orang banyak.
Terima kasih kepada rekan-rekan yang telah support dan beberapa lembaga yang telah memesan. Semoga pers di Lampung tak salah jalan, tak hanya menghidupkan personal-personal tertentu di tubuh institusi pers, tapi juga masyarakat luas.
Saya hanya tertawa. Terpingkal-pingkal. Betapa bodohnya kawan saya itu, seorang wartawan senior yang bekerja pada sebuah institusi pers "yang konon besar" di Provinsi Lampung. Saya teringat satu tulisan saya dari 20 tulisan dalam buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA. Tulisan itu berjudul "Berangkat dari Tesis, Berakhir jadi Berita" yang mengungkap tentang watak para wartawan yang cenderung "merasa mapan" secara intelektual sehingga anti terhadap peningkatan kualitas diri. Dalam tulisan "Berangkat dari Tesis, Berakhir jadi Berita", saya menulis apa yang saya lihat selama ini terkait bagaimana seorang wartawan menghasilkan berita.
Kesimpulan dari tulisan itu, sebagian besar wartawan telah mengubah kegiatan kewartawanan menjadi bukan lagi kegiatan keintelektualan. Kegiatan kewartawan sudah menjadi rutinitas "memproduksi berita" sama seperti pabrik kecap memproduksi kecap. Dalam proses produksi itu, yang tertinggal pada diri wartawan hanya bekas berita yang menjelma menjadi sampah dan menyebabkan pengaratan pada sistem produksinya. Sebagian besar wartawan menulis tanpa tesis dan karenanya tanpa intelektualitas. Mereka merupakan penghasil berita, yang malangnya tidak memperoleh intelektual apapun dari hasil kerjanya itu.
Sebagaimana sebagian besar dari 20 tulisan itu, kesimpulan-kesimpulan saya buat setelah melakukan analisis isi kualitatif atas berita-berita yang dihasilkan wartawan selama kurun 2006 sampai 2010 dengan objek koran-koran yang terbit di Provinsi Lampung. Berita yang bertema sama yang terbit di Lampung Post, Radar Lampung, Tribun Lampung, Lampung Ekspress Plus, Bandar Lampung News, dll, saya analisis satu per satu dari perspektif analisis wacana kritis (critical discourse analysis), sehingga akan jelas koran mana yang tidak berpihak kepada kepentingan publik dan koran mana yang berpihak. Pada tataran ini saya lebih melihat berita dan segala sesuatu yang dipublikasikan media massa merupakan wacana yang di dalamnya mengandung idiologi tertentu.
Analisis Wacana Kritis sebuah metoda untuk pengungkapan maksud tersembunyi dari penulis/wartawan/institusi pers yang mengemukakan atau mempublikasikan suatu pernyataan/berita. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi penulis/wartawan/institusi pers dengan mengikuti struktur makna dari penulis/wartawan/institusi pers sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi.
Pemahaman dasar tentang analisis wacana kritis adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi. Analisis ini melihat pemakaian bahasa tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dipandang menyebabkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, istitusi, dan struktur sosial.
Kembali ke email yang dikirim kawan saya yang wartawan senior itu, mau tak mau saya terpingkal-pingkal. Betapa kocaknya jika wartawan, yang konon masuk dalam kelompok intelektual, gemar melarang orang lain berpikiran terbuka dalam menyampaikan gagasan dan ide. Hal ini mengingatkan saya pada satu dari 20 tulisan dalam TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA, yang berjudul "Eufemisne Fakta: Ketika Redaktur jadi Diktator". Tulisan itu merangkum keluhan sejumlah wartawan--dari berbagai media di Provinsi Lampung-- terhadap kebiasaan buruk para redaktur di institusi tempat mereka bekerja. Para redaktur, mereka yang diberi tanggung jawab besar oleh institusinya untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam setiap halaman media cetak, sesungguhnya telah menjadi diktator dan tiran yang suka memenggal isi berita dengan sangat subyektif. Subyektivitas yang muncul karena si redaktur acap mendapat telepon dari narasumber berita agar tidak menerbitkan berita yang ditulis wartawan. Sebagian redaktur kemudian melakukan eufemisme fakta atas berita yang ditulis wartawan, sebagian lainnya betul-betul membuang berita yang ditulis wartawannya.
Kondisi ini terjadi karena faktor tingkat intelektualitas redaktur tidak cukup memahami dampak yang dapat terjadi bila sebuah informasi dikebiri. Faktor lain yang sangat besar pengaruhnya pada kinerja redaktur adalah orientasi personal dalam sistem manajemen institusi pers, dimana ada anggapan bahwa berita kiriman wartawan merupakan alat negosiaasi yang paling efektif untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Apa dampak dari berita yang dikebiri? Salah satu isi buku membahasa soal ini. Dengan judul "Berita-Berita Yang Dibuang dan yang Dihempaskan", dibahas tentang berita-berita yang dibuang redaktur, yang masih disimpan oleh wartawan dalam file-file mereka. Tak semua berita itu buruk sebagai karya jurnalistik, tetapi karena berita itu menyinggung hal-hal yang sesungguhnya terkait pada kepentingan personal tertentu dalam manajemen redaksional institusi pers tempat mereka bekerja.
Saya kembali tertawa, menertawan realitas bisnis pers di Provinsi Lampung yang tak menguntungkan para pemodal karena sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki mengalihkan keuntungan perusahaan menjadi keuntungan pribadi. Persoalan inilah yang saya bicarakan pada satu dari 20 tulisan dalam buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA . Tulisan berjudul berjudul "Institusi Pers untuk Personal SDM".
Keseluruhan isi buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA ini memang "tak enak dibaca" oleh pengelola institusi pers tetapi akan menjadi bacaan menarik bagi para pengambil kebijakan, elite, calon wartawan, akademisi, dan masyarakat. Buku ini ingin memberitahu bahwa banyak wartawan yang sesungguhnya tidak bekerja untuk rakyat atau institusi pers, melainkan untuk dirinya sendiri.
Semula judul buku ini MATINYA PERS DI LAMPUNG, judul yang saya ambil dari sebuah tulisan saya tentang kedekatan wartawan dengan pemerintah daerah, yang pernah dipublikasikan di Radar Lampung. Tapi, beberapa teman yang pernah membaca naskah buku ini menolak judul itu dan menawarkan judul TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA. Judul ini diambil dari kalimat penutup dalam analisis atas isi sebuah penerbitan di Lampung dalam berkala Salam Kreatif yang saya tulis setiap hari selama bekerja di Bagian Penelitian dan pengembangan sebuah institusi pers di Lampung. Pada kalimat akhir dari analisis saya selalu ditulis seperti ini:
Karena analisis ini masih panjang dan saya takut semakin panjang, baiknya disudahi saja. Sekali lagi, ini bukan tulisan yang enak dibaca.
Karena itu, buku ini lebih memilih judul TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA. Meskipun demikian, pada setiap uraian tentang persoalan, saya selalu menampilkan alternatif sebagai solusi dengan mengacu pada metoda-metoda yang ideal dalam pengemasan berita untuk media massa. Saya niatkan buku ini juga untuk bacaan mahasiswa saya dalam matakuliah Komunikasi Massa.
Semoga tulisan ini dibaca oleh kawan saya yang wartawan senior itu. Tidak ada niat untuk hal-hal negatif. Buku ini diterbitkan karena melihat betapa analisis berita menjadi sangat penting bagi banyak lembaga. Saya menemukansejumlah fraksi di DPRD Lampung menugaskan orang tertentu untuk menganalisis berita tertentu agar bisa dikomentari oleh para anggota Fraksi dalam rangka promosi politik di media massa. Pemda juga melakukan analisis berita untuk melihat kebutuhan masyarakat, begitu juga lembaga-lembaga swasta dan lain-lain. Partai-partai politik juga melakukan analisis berita yang terbit di media.
Dari sekian banyak hasil analisis yang saya baca, saya berharap buku TULISAN YANG TAK ENAK DIBACA ini bisa menjadi pemandu agar hasil analisis mereka tidak merugikan orang banyak.
Terima kasih kepada rekan-rekan yang telah support dan beberapa lembaga yang telah memesan. Semoga pers di Lampung tak salah jalan, tak hanya menghidupkan personal-personal tertentu di tubuh institusi pers, tapi juga masyarakat luas.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda