Binatangnya Manusia
Ini bukan Animal Farm, sebuah fabel yang mengesankan, tapi Human Farm (ini istilah yang tak terlalu tepat).
Rumah Keluarga Tuan Buaya. Sebuah rumah mentereng di kawasan Griya Rawa Buaya. Sebuah kawasan yang tenang. Senyap. Hanya ada suara semilir angin di daun-daun pandan. Di dalam rumah itu, Tuan Buaya tinggal bersama Nyonya Buaya. Anak mereka ada 12 ekor, belum beberapa bulan menetas.
Suatu malam, saat Keluarga Tuan Buaya sedang menikmati santap malam yang sederhana, ada yang mengetuk pintu. Tuan Buaya agak tergangu, dia memberi isyarat agar Nyonya Buaya membukakan pintu. “Nggak tahu diri banget. Tamu macam apa yang datang saat jam makan malam,” gerutunya.
Dua anak Tuan Buaya menjawab. “Tamu kelaparan, Ayahanda.”
Nyonya Buaya bangkit dari kursi dengan wajah cemberut. “Jangan dihabiskan jatah ibu,” harapnya. Dia khawatir jatah makannya tuntas melihat cara makan dua belas anak-anaknya.
“Ada Paman Biawak!” teriak Nyonya Buaya dari ruang tamu. “Siapkan piring. Paman Biawak mau bergabung makan malam.”
Anak-anak buaya saling pandang. “Tahu betul Paman Biawak kalau kita sedang makan.”
“Huuuus!” Gusar Tuan Buaya. “Jangan nggak sopan begitu.”
Paman Biawak muncul bersama Nyonya Buaya. Dia kerabat jauh Keluarga Tuan Buaya. Begitu melihat seluruh anggota keluarga sedang menikmati makan malam, Paman Biawak langsung berseru: “Kalau rezeki memang nggak kemana!”
Anak sulung Tuan Buaya melirik adiknya sembari memainkan alis mata. Sudah satu pekan terakhir, Paman Biawak selalu datang bertamu selalu pada saat makan.
“Mau ikut makan juga, Pan?” tanya si bungsu.
“Wah! Kemenakanku. Kalian memang kemenakan yang baik. Masih ada sisa untuk Paman?” Paman Biawak menarik kursi dan langsung mencaplop sepotong daging.
Sambil makan, Tuan Buaya bertanya: “Ada cerita apa hari ini? Aku dengar kau ke kota.”
“Ya, ya. Aku mau protes sama orang-orang kota.”
“Protes.”
“Ya, iyalah.”
“Kenapa?”
“Mereka mengadu domba buaya dengan cicak. Coba bayangkan, mana mungkin cicak melawan buaya. Sebagai sesama reptil, dilarang saling berkelahi. Mereka kira keluarga reptil itu sama seperti manusia yang suka berkelahi, berperang, saling mengkhianati justru sesama manusia.”
“Ya, ya, betul. Saya sering kecewa dengan pengandaian mereka. Tapi, ya, namanya juga manusia, sejak mereka lahir otaknya sudah digadaikan kepada bangsa kita.”
“Maksud kamu?”
“Belum apa-apa orangtua mereka sudah mencekoki susu sapi. Manusia itu sebagian besar tumbuh karena susu sapi. Kau tahu kan sapi, cuma bisa makan dan tidur.”
“Itu maksud saya. Saya mau protes kepada mereka.”
“Apa gunanya? Biarkan saja. Manusia kan suka mencontoh perilaku bangsa kita, padahal kita sendiri sudah melampaui peradaban seperti itu. Mereka merasa sangat hebat kalau membanding-bandingkan manusia lain dengan bangsa kita.”
“Saya kasihan saja. Saya cuma mau memberitahu kalau watak-watak bangsa kita yang mereka kutif itu sudah lama kita tinggalkan. Kita juga punya peradaban dan berkembang pesat, tapi kenapa manusia selalu mengutif dan mencontoh peradaban lama kita.”
“Mereka sulit berkembang.”
“Kalau saja mereka tahu perkembangan peradaban kita.”
“Tidak mungkin. Manusia hanya memikirkan peradabannya sendiri, lalu bersaing antara mereka. Kalau kepepet, mereka lantas menyalahkan bangsa kita. Seperti…siapa itu anggota DPR RI yang suka menyebut-nyebut bangsat. Cobalah pikir, apa hubungannya Bank Century dengan bangsat. Sama sekali tak ada kaitannya.”
“Mereka tidak bisa memikirkan itu. Otak mereka saja dibesarkan dengan susu sapi. Akibat susu sapi itu, mereka jadi lebih akrab dengan binatang. Kalau saya data, mereka sering menyebut kadal, kutu loncat, biawak, lintah, bunglon, kura-kura, siput, kecebong, macan, anjing, babi, kecoa, tikus, monyet, beruk. Banyak bangsa kita yang disebut-sebut. Saya curiga mereka justru tidak kenal bangsa sendiri, jauh lebih kenal bangsa kita.”
“Kau jangan lupa, buaya juga sering disebut. Itu justru paling pavorit. Kau tahu kenapa? Mereka ingin mencontoh peradaban buaya. manalah mungkin.”
Mereka tertawa. Anak-anak buaya tertawa. Nyonya Buaya nyaris tersedak.
“Itulah hebatnya keluarga saya. Kami sering menjadi contoh bagi manusia, padahal saya tidak pernah memikirkan mereka.”
“Tapi lebih hebat keluarga Tuan Tikus. Semua manusia ingin seperti Tuan Tikus, suka mengerat. Tentu saja mereka gagal. Tuan Tikus itu jagoannya soal kerat-mengerat.”
“Ya, betul. Keluarga Tuan Tikus yang paling populer.” Tuan Buaya tersenyum. “Ada keluarga yang tidak pernah disebut. Mau tahu?”
“Keluarga siapa?”
“Tuan biawak.” Mereka kembali tergelak.
“Betul juga ya, Pa?” kata Nyonya Buaya.
“Apanya?” tanya Tuan Buaya.
“Banyak manusia yang seperti keluarga biawak, tapi kenapa nama biawak tidak pernah disebut-sebut.”
“Apanya yang sama?” tanya Paman Biawak.
“Kebiasaannya yang selalu datang setiap kali orang sedang makan.”
Gelak tawa di dalam rumah Tuan Buaya kembali terdengar.***
Suatu malam, saat Keluarga Tuan Buaya sedang menikmati santap malam yang sederhana, ada yang mengetuk pintu. Tuan Buaya agak tergangu, dia memberi isyarat agar Nyonya Buaya membukakan pintu. “Nggak tahu diri banget. Tamu macam apa yang datang saat jam makan malam,” gerutunya.
Dua anak Tuan Buaya menjawab. “Tamu kelaparan, Ayahanda.”
Nyonya Buaya bangkit dari kursi dengan wajah cemberut. “Jangan dihabiskan jatah ibu,” harapnya. Dia khawatir jatah makannya tuntas melihat cara makan dua belas anak-anaknya.
“Ada Paman Biawak!” teriak Nyonya Buaya dari ruang tamu. “Siapkan piring. Paman Biawak mau bergabung makan malam.”
Anak-anak buaya saling pandang. “Tahu betul Paman Biawak kalau kita sedang makan.”
“Huuuus!” Gusar Tuan Buaya. “Jangan nggak sopan begitu.”
Paman Biawak muncul bersama Nyonya Buaya. Dia kerabat jauh Keluarga Tuan Buaya. Begitu melihat seluruh anggota keluarga sedang menikmati makan malam, Paman Biawak langsung berseru: “Kalau rezeki memang nggak kemana!”
Anak sulung Tuan Buaya melirik adiknya sembari memainkan alis mata. Sudah satu pekan terakhir, Paman Biawak selalu datang bertamu selalu pada saat makan.
“Mau ikut makan juga, Pan?” tanya si bungsu.
“Wah! Kemenakanku. Kalian memang kemenakan yang baik. Masih ada sisa untuk Paman?” Paman Biawak menarik kursi dan langsung mencaplop sepotong daging.
Sambil makan, Tuan Buaya bertanya: “Ada cerita apa hari ini? Aku dengar kau ke kota.”
“Ya, ya. Aku mau protes sama orang-orang kota.”
“Protes.”
“Ya, iyalah.”
“Kenapa?”
“Mereka mengadu domba buaya dengan cicak. Coba bayangkan, mana mungkin cicak melawan buaya. Sebagai sesama reptil, dilarang saling berkelahi. Mereka kira keluarga reptil itu sama seperti manusia yang suka berkelahi, berperang, saling mengkhianati justru sesama manusia.”
“Ya, ya, betul. Saya sering kecewa dengan pengandaian mereka. Tapi, ya, namanya juga manusia, sejak mereka lahir otaknya sudah digadaikan kepada bangsa kita.”
“Maksud kamu?”
“Belum apa-apa orangtua mereka sudah mencekoki susu sapi. Manusia itu sebagian besar tumbuh karena susu sapi. Kau tahu kan sapi, cuma bisa makan dan tidur.”
“Itu maksud saya. Saya mau protes kepada mereka.”
“Apa gunanya? Biarkan saja. Manusia kan suka mencontoh perilaku bangsa kita, padahal kita sendiri sudah melampaui peradaban seperti itu. Mereka merasa sangat hebat kalau membanding-bandingkan manusia lain dengan bangsa kita.”
“Saya kasihan saja. Saya cuma mau memberitahu kalau watak-watak bangsa kita yang mereka kutif itu sudah lama kita tinggalkan. Kita juga punya peradaban dan berkembang pesat, tapi kenapa manusia selalu mengutif dan mencontoh peradaban lama kita.”
“Mereka sulit berkembang.”
“Kalau saja mereka tahu perkembangan peradaban kita.”
“Tidak mungkin. Manusia hanya memikirkan peradabannya sendiri, lalu bersaing antara mereka. Kalau kepepet, mereka lantas menyalahkan bangsa kita. Seperti…siapa itu anggota DPR RI yang suka menyebut-nyebut bangsat. Cobalah pikir, apa hubungannya Bank Century dengan bangsat. Sama sekali tak ada kaitannya.”
“Mereka tidak bisa memikirkan itu. Otak mereka saja dibesarkan dengan susu sapi. Akibat susu sapi itu, mereka jadi lebih akrab dengan binatang. Kalau saya data, mereka sering menyebut kadal, kutu loncat, biawak, lintah, bunglon, kura-kura, siput, kecebong, macan, anjing, babi, kecoa, tikus, monyet, beruk. Banyak bangsa kita yang disebut-sebut. Saya curiga mereka justru tidak kenal bangsa sendiri, jauh lebih kenal bangsa kita.”
“Kau jangan lupa, buaya juga sering disebut. Itu justru paling pavorit. Kau tahu kenapa? Mereka ingin mencontoh peradaban buaya. manalah mungkin.”
Mereka tertawa. Anak-anak buaya tertawa. Nyonya Buaya nyaris tersedak.
“Itulah hebatnya keluarga saya. Kami sering menjadi contoh bagi manusia, padahal saya tidak pernah memikirkan mereka.”
“Tapi lebih hebat keluarga Tuan Tikus. Semua manusia ingin seperti Tuan Tikus, suka mengerat. Tentu saja mereka gagal. Tuan Tikus itu jagoannya soal kerat-mengerat.”
“Ya, betul. Keluarga Tuan Tikus yang paling populer.” Tuan Buaya tersenyum. “Ada keluarga yang tidak pernah disebut. Mau tahu?”
“Keluarga siapa?”
“Tuan biawak.” Mereka kembali tergelak.
“Betul juga ya, Pa?” kata Nyonya Buaya.
“Apanya?” tanya Tuan Buaya.
“Banyak manusia yang seperti keluarga biawak, tapi kenapa nama biawak tidak pernah disebut-sebut.”
“Apanya yang sama?” tanya Paman Biawak.
“Kebiasaannya yang selalu datang setiap kali orang sedang makan.”
Gelak tawa di dalam rumah Tuan Buaya kembali terdengar.***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda