Kompolnas dan Polisi Korup
Dipublikasikan di Jurnal Nasional edisi 23 Februari 2012
Ejekan paling vulgar terhadap kinerja polisi muncul dalam film serial Police Academy dari Hollywood. Saat menontonnya di Indonesia, kita terpingkal-pingkal karena ulah konyol karakter polisi dalam film itu. Ejekan lain yang tak kalah vulgar muncul dalam sejumlah film produksi Boliwood. Di dalam semua genre film India, polisi selalu diposisikan sebagai entitas yang korup dan selalu dating terlambat.
Di Indonesia, polisi versi Hollywood dan Boliwood bisa dengan mudah ditemukan. Polisi Indonesia merepresentasikan versi Hollywood dan Boliwood itu. Polisi itu bias berwajah Komjen Susno Duaji, yang penuh lelucon karena “menertawakan” Kode Etik Profesi Polri. Komisaris jenderal ini tenar dengan istilah “Cicak versus Buaya”. Peluruh yang ditembakkannya untuk membongkar korupsi di tubuh institusi polisi, ternyata berbalik membongkar keterlibatannya dalam sejumlah kasus korupsi.
Bagi publik akhir-akhir ini, ia lebih tampak sebagai anggota Korp Polri yang melupakan Pembukaan Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. Sama persis seperti angggota Police Academy. Upaya Komjen Susno Duaji akhirnya membuka mata publik atas fakta yang sesungguhnya bahwa “korupsi identik dengan setiap anggota polisi”.
*
Fakta soal korupsi di tubuh Polri ini sangat merisaukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga meminta Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo agar merumuskan program Polisi Antikorupsi. Dalam blue print Divisi Propam Mabes Polri, program itu diejawantah dengan sepotong kalimat: “Polisi korup tidak boleh ada di lingkungan Polri.” Dalam sebuah kesempatan, Kepala Divisi Propam Polri, Irjend Pol Budi Gunawan, mengulangi kalimat itu. “Program Kapolri Jenderal Timor Pradopo untuk membersihkan institusi Korps Bhayangkara dari aparat korup,” katanya, “memosisikan Divisi Propam Polri sebagai ujung tombaknya.”
Tugas dan tanggung jawab membersihkan Korp Bhayangkara dari korupsi, tidak saja berat tapi juga menghadapi banyak tantangan. Korupsi dan aparat polisi sudah lumrah. Tiap hari public bisa melihat aparat polisi yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa kode etik profesi.
Di jalan raya, polisi lalu lintas sanggup meminta kepada pelanggar lalu lintas sejumlah uang (tidak jarang cuma Rp5.000) agar tidak ditilang. Konon lagi di lingkungan kerja reserse, dimana posisi tawar aparat polisi menjadi lebih tinggi dari tersangka. Bukan mustahil, ada aparat polisi yang menjanjikan akan meringankan tuntutan atau malah memperlambat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara para tersangka, asalkan diberi imbalan sejumlah uang.
Inilah yang mendera nasib Kompol Afarat Enanie. Ketika saya menghadiri Sidang Kode Etik dan Profesi yang mendudukan Kompol Arafat sebagai pelanggar kode etik profesi Polri, perwira menengah yang merupakan koordinator penyidikan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, disebut telah terbukti merekayasa dana dalam rekening Gayus Tambunan.
Kompol Arafat dan perwira-perwira di Mabes Polri dinyatakan bersalah karena tidak bekerja melakukan penegakan hukum sehingga melanggar azas keadilan hukum. Malah sebaliknya, aparat polisi ini melindungi pelaku tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya selaku penyidik kasus mafia pajak untuk kepentingan pribadi.
Kini karier Kompol Arafat yang sangat bagus dan cepat tenar, berakhir sudah di Mabes Polri. Setiap anggota Korps Bhayangkara mengenangnya sebagai barang contoh aparat penegak hukum yang tak profesional dalam bekerja. Aparat hukum yang membuat citra buruk institusi polisi semakin terpuruk.
Dan, tentu, kasus ini bukan kasus terakhir yang akan menimpa aparat polisi di lingkungan Polri. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 14 huruf g ditegaskan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Kewenangan polisi begitu besar dalam penyidikan untuk membuat BAP. Ini dapat memengaruhi aparat polisi untuk melanggar kode etik profesi. Sedangkan BAP merupakan dasar yang dipergunakan saat menyidang tersangka tindak pidana di pengadilan negeri.
Tapi, semoga hanya Kompol Arafat yang menjadi contoh buruk bagi segenap aparat polisi yang tidak profesional menjalankan tugas dan tanggung jawab. Jangan ada lagi aparat polisi yang harus mengikuti Sidang Etika dan Profesi, yang sering berakhir pada hilangnya karier di lingkungan Polri. Atau lebih parah lagi seperti Kompol Arafat, sudah kehilangan karier, masih harus mendekam di penjara karena perbuatannya melindungi koruptor dan menerima suap pantas diganjar sesuai KUHAP.
Sekalipun dalam blue print Divisi Propam Polri dijabarkan betapa besar tanggung jawab divisi ini dalam membersihkan institusi Polri dari keberadaan polisi korup, sulit mengharapkan para anggota Korp Bhayangkara akan bertindak tegas terhadap seluruh anggotanya. Kode Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan bahwa penegakan disiplin di lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi tumpul jika berhadapan dengan angogota Polri yang pangkatnya ada di level atas.
Stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak pertama kali masuk sebagai anggota Korp Bhayangkara, sudah menjatuhkan pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai level atas, harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu.
*
Sebab itu, institusi Polri tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri mengurusi institusinya. Polri membutuhkan campur tangan stakeholder lainnya, yang bertujuan untuk memperbaiki profesionalitas insan Bhayangkara. Belakangan, Presiden SBY mengharapkan agar Korp Bhayangkara bermitra dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Harapan ini disampaikan Presiden SBY berkaitan dengan penyerahan 12 nama calon anggota Kompolnas yang baru oleh Ketua Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Kusparmono Ikhsan.
Ini bukan hal baru mengingat tujuan utama pembentukan Kompolnas memang untuk bermitra dengan Polri. Persoalan yang muncul justru menunjukkan, peran yang dimainkan oleh Kompolnas selama ini belum mampu mengubah citra Polri menjadi lebih baik di mata publik. Sinergisitas antara Polri dan Kompolnas tidak kunjung membawa perubahan berarti, karena Kompolnas lebih banyak bekerja sebagai pengamat yang melapor langsung ke Presiden tidak tidak punya wewenang untuk memastikan ada tidak eksekusi atas laporan tersebut.
Selain itu, eksistensi Kompolnas sebagai lembaga yang berdiri sendiri masih berada di bawah baying-bayang Polri. Terutama berkaitan dengan anggaran untuk kinerja Kompolnas yang masih menginduk pada anggaran Polri dalam ABPN, sehingga tingkat ketergantungan Kompolnas dengan Polri sangat tinggi. Selama anggran Kompolnas masih menginduk pada anggaran untuk Polri, sulit mengharapkan Kompolnas akan mampu bekerja professional sebagaimana seharusnya.***
Dipublikasikan di Jurnal Nasional edisi 23 Februari 2012 link http://www.jurnas.com/halaman/10/2012-02-23/200002
Ejekan paling vulgar terhadap kinerja polisi muncul dalam film serial Police Academy dari Hollywood. Saat menontonnya di Indonesia, kita terpingkal-pingkal karena ulah konyol karakter polisi dalam film itu. Ejekan lain yang tak kalah vulgar muncul dalam sejumlah film produksi Boliwood. Di dalam semua genre film India, polisi selalu diposisikan sebagai entitas yang korup dan selalu dating terlambat.
Di Indonesia, polisi versi Hollywood dan Boliwood bisa dengan mudah ditemukan. Polisi Indonesia merepresentasikan versi Hollywood dan Boliwood itu. Polisi itu bias berwajah Komjen Susno Duaji, yang penuh lelucon karena “menertawakan” Kode Etik Profesi Polri. Komisaris jenderal ini tenar dengan istilah “Cicak versus Buaya”. Peluruh yang ditembakkannya untuk membongkar korupsi di tubuh institusi polisi, ternyata berbalik membongkar keterlibatannya dalam sejumlah kasus korupsi.
Bagi publik akhir-akhir ini, ia lebih tampak sebagai anggota Korp Polri yang melupakan Pembukaan Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. Sama persis seperti angggota Police Academy. Upaya Komjen Susno Duaji akhirnya membuka mata publik atas fakta yang sesungguhnya bahwa “korupsi identik dengan setiap anggota polisi”.
*
Fakta soal korupsi di tubuh Polri ini sangat merisaukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga meminta Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo agar merumuskan program Polisi Antikorupsi. Dalam blue print Divisi Propam Mabes Polri, program itu diejawantah dengan sepotong kalimat: “Polisi korup tidak boleh ada di lingkungan Polri.” Dalam sebuah kesempatan, Kepala Divisi Propam Polri, Irjend Pol Budi Gunawan, mengulangi kalimat itu. “Program Kapolri Jenderal Timor Pradopo untuk membersihkan institusi Korps Bhayangkara dari aparat korup,” katanya, “memosisikan Divisi Propam Polri sebagai ujung tombaknya.”
Tugas dan tanggung jawab membersihkan Korp Bhayangkara dari korupsi, tidak saja berat tapi juga menghadapi banyak tantangan. Korupsi dan aparat polisi sudah lumrah. Tiap hari public bisa melihat aparat polisi yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa kode etik profesi.
Di jalan raya, polisi lalu lintas sanggup meminta kepada pelanggar lalu lintas sejumlah uang (tidak jarang cuma Rp5.000) agar tidak ditilang. Konon lagi di lingkungan kerja reserse, dimana posisi tawar aparat polisi menjadi lebih tinggi dari tersangka. Bukan mustahil, ada aparat polisi yang menjanjikan akan meringankan tuntutan atau malah memperlambat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara para tersangka, asalkan diberi imbalan sejumlah uang.
Inilah yang mendera nasib Kompol Afarat Enanie. Ketika saya menghadiri Sidang Kode Etik dan Profesi yang mendudukan Kompol Arafat sebagai pelanggar kode etik profesi Polri, perwira menengah yang merupakan koordinator penyidikan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, disebut telah terbukti merekayasa dana dalam rekening Gayus Tambunan.
Kompol Arafat dan perwira-perwira di Mabes Polri dinyatakan bersalah karena tidak bekerja melakukan penegakan hukum sehingga melanggar azas keadilan hukum. Malah sebaliknya, aparat polisi ini melindungi pelaku tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya selaku penyidik kasus mafia pajak untuk kepentingan pribadi.
Kini karier Kompol Arafat yang sangat bagus dan cepat tenar, berakhir sudah di Mabes Polri. Setiap anggota Korps Bhayangkara mengenangnya sebagai barang contoh aparat penegak hukum yang tak profesional dalam bekerja. Aparat hukum yang membuat citra buruk institusi polisi semakin terpuruk.
Dan, tentu, kasus ini bukan kasus terakhir yang akan menimpa aparat polisi di lingkungan Polri. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 14 huruf g ditegaskan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Kewenangan polisi begitu besar dalam penyidikan untuk membuat BAP. Ini dapat memengaruhi aparat polisi untuk melanggar kode etik profesi. Sedangkan BAP merupakan dasar yang dipergunakan saat menyidang tersangka tindak pidana di pengadilan negeri.
Tapi, semoga hanya Kompol Arafat yang menjadi contoh buruk bagi segenap aparat polisi yang tidak profesional menjalankan tugas dan tanggung jawab. Jangan ada lagi aparat polisi yang harus mengikuti Sidang Etika dan Profesi, yang sering berakhir pada hilangnya karier di lingkungan Polri. Atau lebih parah lagi seperti Kompol Arafat, sudah kehilangan karier, masih harus mendekam di penjara karena perbuatannya melindungi koruptor dan menerima suap pantas diganjar sesuai KUHAP.
Sekalipun dalam blue print Divisi Propam Polri dijabarkan betapa besar tanggung jawab divisi ini dalam membersihkan institusi Polri dari keberadaan polisi korup, sulit mengharapkan para anggota Korp Bhayangkara akan bertindak tegas terhadap seluruh anggotanya. Kode Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan bahwa penegakan disiplin di lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi tumpul jika berhadapan dengan angogota Polri yang pangkatnya ada di level atas.
Stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak pertama kali masuk sebagai anggota Korp Bhayangkara, sudah menjatuhkan pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai level atas, harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu.
*
Sebab itu, institusi Polri tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri mengurusi institusinya. Polri membutuhkan campur tangan stakeholder lainnya, yang bertujuan untuk memperbaiki profesionalitas insan Bhayangkara. Belakangan, Presiden SBY mengharapkan agar Korp Bhayangkara bermitra dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Harapan ini disampaikan Presiden SBY berkaitan dengan penyerahan 12 nama calon anggota Kompolnas yang baru oleh Ketua Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Kusparmono Ikhsan.
Ini bukan hal baru mengingat tujuan utama pembentukan Kompolnas memang untuk bermitra dengan Polri. Persoalan yang muncul justru menunjukkan, peran yang dimainkan oleh Kompolnas selama ini belum mampu mengubah citra Polri menjadi lebih baik di mata publik. Sinergisitas antara Polri dan Kompolnas tidak kunjung membawa perubahan berarti, karena Kompolnas lebih banyak bekerja sebagai pengamat yang melapor langsung ke Presiden tidak tidak punya wewenang untuk memastikan ada tidak eksekusi atas laporan tersebut.
Selain itu, eksistensi Kompolnas sebagai lembaga yang berdiri sendiri masih berada di bawah baying-bayang Polri. Terutama berkaitan dengan anggaran untuk kinerja Kompolnas yang masih menginduk pada anggaran Polri dalam ABPN, sehingga tingkat ketergantungan Kompolnas dengan Polri sangat tinggi. Selama anggran Kompolnas masih menginduk pada anggaran untuk Polri, sulit mengharapkan Kompolnas akan mampu bekerja professional sebagaimana seharusnya.***
Dipublikasikan di Jurnal Nasional edisi 23 Februari 2012 link http://www.jurnas.com/halaman/10/2012-02-23/200002
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda