Ilusi Warga Moro-moro
DUA akademisi Unila, Syarief Makhya dan Wahyu Sasongko, memberikan pembelaan atas kemungkinan hilangnya hak pilih warga Moro-moro dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) di Kabupaten Mesuji yang segera digelar. Keduanya mengharapkan agar pemerintah memberikan ketegasan atas situasi dilema yang dihadapi masyarakat yang illegal secara administrasi kepemerintahan daerah tetapi legal sebagai warga Negara Indonesia dan karenanya termasuk dalam entitas yang dilindungi UUD 1945
Keterangan PHOTO: KOMPAS/YULVIANUS HARJONO Ratusan petani di Pekat, Way Umpu, Kabupaten Mesuji, Lampung, memblokade jalan lintas timur Sumatera, Selasa (22/2/2011). Aksi yang memacetkan lalu lintas ini dipicu penertiban aparat atas pemukiman warga di kawasan Hutan Register 45 Mesuji ini.
Tentu saja tak sulit bagi pemerintah daerah untuk melakukan legalisasi dalam rangka memulihkan hak politik warga Moro-moro. Dengan mengeluarkan surat keterangan sebagai warga Kabupaten Mesuji, disahkan secara administrasi pemerintahan daerah, tidak ada masalah bagi warga itu untuk memberikan hak pilihnya. Resikonya bagi pemerintah daerah adalah surat keterangan itu akan dianggap sebagai pengakuan atas eksistensi warga Moro-moro di areal yang merupakan hutan register itu.
Memberikan hak pilih dalam politik adalah hak asasi manusia, melekat pada diri sejak lahir meskipun baru bisa dipergunakan setelah dewasa. Begitu juga dengan warga Moro-moro yang secara atropologi merupakan warga Indonesia yang bermigrasi dari berbagai daerah di Indonesia dan menjadi penghuni kawasan yang disebut register.
Keberadaan mereka di areal register sesuatu yang illegal. Sejak lama warga ini sudah berkonflik dengan pemerintah daerah (Kabupaten Tulangbawang sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Mesuji). Mereka senantiasa menuntut hak atas lahan-lahan di areal register tersebut dengan alasan sudah bertahun-tahun menetap di sana.
Ini pola yang sangat umum dilakukan masyarakat perambah di negeri ini. Dengan berbagai alasan terutama ekonomi, mereka memutuskan menetap di suatu kawasan register secara diam-diam. Sebagian besar datang ke lokasi karena tergiur iming-iming makelar yang menjual lahan dengan harga murah tanpa memperdulikan legalitas dari lahan yang ditawarkan. Modusnya senantiasa sama, yang penting menetap dan berusaha dulu, baru kemudian mempersoalkan legalitas.
Ketika pemerintah daerah mempersoalkan keberadaan mereka yang illegal, selalu saja punya alasan untuk mendebat bahwa mereka sudah menetap dan beranak-pinak di sana. Mereka kemudian menjadi entitas yang terintimidasi, tertekan, dan tak berdaya. Entitas seperti ini kemudian menjadi objek bagi kalangan tertentu untuk diberdayakan.
Sudah bisa dibayangkan, upaya pemberdayaan masyarakat tak berdaya senantiasa dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia (HAM). Banyak kalangan menyalahkan pemerintah daerah bila bertindak keras dan tegas. Karena selalu dikait-kaitkan dengan HAM dan diekspose secara besar-besaran sebagai contoh pelanggaran atas HAM, mau tak mau pemerintah akhirnya melemah.
Masyarakat yang secara hukum dan administrasi pemerintah tak punya legalitas, merupakan masyarakat yang sepanjang hidupnya akan selalu menjadi objek bagi masyarakat lain. Setelah warga Moro-moro menjadi objek bagi kalangan tertentu untuk diberdayakan dan dibangkitkan semangat perjuangan mempertahankan HAM, kini mereka kembali diaktifikan untuk memperjuangkan hak politiknya.
Bukan rahasia lagi, sejak rencana Pemilukada dikumandangkan di Kabupaten Mesuji, tidak sedikit para peminat kekuasaan pemerintah daerah yang memosikan warga Moro-moro sebagai potensi pasar politik. Mereka merupakan massa yang signifikan untuk menggenjot perolehan suara. Para calon kepala daerah beserta tim marketing politiknya, mendatangi warga Moro-moro dengan berbagai janji politik untuk melegalisasi mereka sebagai warga Kabupaten Mesuji.
Kebutuan yang dialami warga Moro-moro selama ini untuk mendapat pengakuan, mendadak punya harapan. Mereka pun memberikan dukungan yang sangat besar kepada calon kepala daerah tertentu dengan harapan jika menang akan dilegalisasi sebagai warga Kabupaten Mesuji. Melalui para opinion leader warga Moro-moro, muncul upaya-upaya pemberdayaan politik masyarakat sehingga membangkitkan kembali rasa perjuangan bersama. Padahal, sesungguhnya, keberadaan warga Moro-moro di lingkungan kawasan register tetap saja illegal. Dalam situasi apapun, menjadi perambah di lingkungan register akan sulit ditolerir secara hokum.
Mereka yang memandang wara Moro-moro sebagai potensi politik yang harus digarap secara maksimal untuk kepentingan Pemilukada di Kabupaten Mesuji, sesungguhnya entitas yang mengharapkan legalitas warga diakui pemerintah daerah sehingga mereka bisa mempergunakan hak pilihnya.
Seandainya pun kemudian warga Moro-moro bisa mempergunakan hak pilihnya dan memenangkan calon kepala daerah yang telah menjanjikan legalitas itu, sangat pasti bahwa mereka akan kecewa akhirnya. Janji politik menjelang Pemilukada adalah ilusi. Realitasnya tidak bisa diwujudkan, tetapi janji itu memberi harapan dan menyenangkan hati. Artinya, siapapun nanti kepala daerah yang terpilih, tidak akan mudah melegalisasi warga Moro-moro menjadi warga Kabupaten Mesuji. ****
Oleh A.A. Waliyah
Dipublikasikan di Lampung Post edisi 26 Maret 2011
Tentu saja tak sulit bagi pemerintah daerah untuk melakukan legalisasi dalam rangka memulihkan hak politik warga Moro-moro. Dengan mengeluarkan surat keterangan sebagai warga Kabupaten Mesuji, disahkan secara administrasi pemerintahan daerah, tidak ada masalah bagi warga itu untuk memberikan hak pilihnya. Resikonya bagi pemerintah daerah adalah surat keterangan itu akan dianggap sebagai pengakuan atas eksistensi warga Moro-moro di areal yang merupakan hutan register itu.
Memberikan hak pilih dalam politik adalah hak asasi manusia, melekat pada diri sejak lahir meskipun baru bisa dipergunakan setelah dewasa. Begitu juga dengan warga Moro-moro yang secara atropologi merupakan warga Indonesia yang bermigrasi dari berbagai daerah di Indonesia dan menjadi penghuni kawasan yang disebut register.
Keberadaan mereka di areal register sesuatu yang illegal. Sejak lama warga ini sudah berkonflik dengan pemerintah daerah (Kabupaten Tulangbawang sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Mesuji). Mereka senantiasa menuntut hak atas lahan-lahan di areal register tersebut dengan alasan sudah bertahun-tahun menetap di sana.
Ini pola yang sangat umum dilakukan masyarakat perambah di negeri ini. Dengan berbagai alasan terutama ekonomi, mereka memutuskan menetap di suatu kawasan register secara diam-diam. Sebagian besar datang ke lokasi karena tergiur iming-iming makelar yang menjual lahan dengan harga murah tanpa memperdulikan legalitas dari lahan yang ditawarkan. Modusnya senantiasa sama, yang penting menetap dan berusaha dulu, baru kemudian mempersoalkan legalitas.
Ketika pemerintah daerah mempersoalkan keberadaan mereka yang illegal, selalu saja punya alasan untuk mendebat bahwa mereka sudah menetap dan beranak-pinak di sana. Mereka kemudian menjadi entitas yang terintimidasi, tertekan, dan tak berdaya. Entitas seperti ini kemudian menjadi objek bagi kalangan tertentu untuk diberdayakan.
Sudah bisa dibayangkan, upaya pemberdayaan masyarakat tak berdaya senantiasa dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia (HAM). Banyak kalangan menyalahkan pemerintah daerah bila bertindak keras dan tegas. Karena selalu dikait-kaitkan dengan HAM dan diekspose secara besar-besaran sebagai contoh pelanggaran atas HAM, mau tak mau pemerintah akhirnya melemah.
Masyarakat yang secara hukum dan administrasi pemerintah tak punya legalitas, merupakan masyarakat yang sepanjang hidupnya akan selalu menjadi objek bagi masyarakat lain. Setelah warga Moro-moro menjadi objek bagi kalangan tertentu untuk diberdayakan dan dibangkitkan semangat perjuangan mempertahankan HAM, kini mereka kembali diaktifikan untuk memperjuangkan hak politiknya.
Bukan rahasia lagi, sejak rencana Pemilukada dikumandangkan di Kabupaten Mesuji, tidak sedikit para peminat kekuasaan pemerintah daerah yang memosikan warga Moro-moro sebagai potensi pasar politik. Mereka merupakan massa yang signifikan untuk menggenjot perolehan suara. Para calon kepala daerah beserta tim marketing politiknya, mendatangi warga Moro-moro dengan berbagai janji politik untuk melegalisasi mereka sebagai warga Kabupaten Mesuji.
Kebutuan yang dialami warga Moro-moro selama ini untuk mendapat pengakuan, mendadak punya harapan. Mereka pun memberikan dukungan yang sangat besar kepada calon kepala daerah tertentu dengan harapan jika menang akan dilegalisasi sebagai warga Kabupaten Mesuji. Melalui para opinion leader warga Moro-moro, muncul upaya-upaya pemberdayaan politik masyarakat sehingga membangkitkan kembali rasa perjuangan bersama. Padahal, sesungguhnya, keberadaan warga Moro-moro di lingkungan kawasan register tetap saja illegal. Dalam situasi apapun, menjadi perambah di lingkungan register akan sulit ditolerir secara hokum.
Mereka yang memandang wara Moro-moro sebagai potensi politik yang harus digarap secara maksimal untuk kepentingan Pemilukada di Kabupaten Mesuji, sesungguhnya entitas yang mengharapkan legalitas warga diakui pemerintah daerah sehingga mereka bisa mempergunakan hak pilihnya.
Seandainya pun kemudian warga Moro-moro bisa mempergunakan hak pilihnya dan memenangkan calon kepala daerah yang telah menjanjikan legalitas itu, sangat pasti bahwa mereka akan kecewa akhirnya. Janji politik menjelang Pemilukada adalah ilusi. Realitasnya tidak bisa diwujudkan, tetapi janji itu memberi harapan dan menyenangkan hati. Artinya, siapapun nanti kepala daerah yang terpilih, tidak akan mudah melegalisasi warga Moro-moro menjadi warga Kabupaten Mesuji. ****
Oleh A.A. Waliyah
Dipublikasikan di Lampung Post edisi 26 Maret 2011
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda