Pilkada dan Ancaman KPID Lampung
MESKIPUN Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Lampung hampir tidak ada kaitannya dengan peristiwa politik Pilkada 2010, tetapi di provinsi ini lembaga yang mengatur penggunaan frekuensi penyiaran media massa elektronik ini menjadi sangat berkaitan. Terkesan mengada-ada memang, terutama ketika Ketua KPID Lampung Ansyori Bangsaradin mengancam akan mencabut izin media elektronik (TV dan radio) yang tidak proporsional dalam pemberitaan tentang Pilkada 2010.
Oleh Budi Hutasuhut
Logika politik public segera mencium niatan KPID Lampung agar mendapat/diberi tempat dalam hiruk-pikuk Pilkada 2010. Sebab, pernyataan seperti ini secara tidak langsung membuat KPID Lampung menyerang Tegar TV, stasiun televisi swasta milik salah seorang kontenstan Pilkada Kota Bandar Lampung. Hampir 60 persen dari materi siaran Tegar TV , baik berita maupun iklan, berisi sosialisasi pemilik stasiun televise itu sebagai salah seorang kandidat Walikota Bandarlampung. Selain itu, secara langsung pernyataan tersebut juga menyerang semua institusi media elektronik, karena stasiun TV dan radio di provinsi ini menunjukkan keberpihakan yang tidak proporsional terhadap calon-calon kepala daerah tertentu, terutama stasiun radio milik pemerintah daerah dan stasiun TV yang telah menjalin kerjasama pemberitaan dengan pemerintah daerah.
Kultur TV di Lampung
SEBELUM membuat kebijakan yang akan merugikan industri media elektronik di provinsi ini, ada baiknya KPID Lampung memahami budaya media elektronik terutama TV. Jangan sampai keputusan KPID Lampung justru menjadi tangan tak terlihat (invisible hand) dari rezim otoriter pemerintah masa lalu yang hegemonik, yang dampaknya justru akan menghancurkan kebebasan ekspresi masyarakat.
Kehadiran TV sebagai media komunikasi massa di Lampung masih sangat muda. Diawali kemunculan Lampung TV, bertrut-turut lahir Siger TV, Tegar TV, dan Radar TV dalam rentang waktu sangat singkat. Empat stasiun televise itu merebut perhatian jutaan warga Provinsi Lampung, meskipun hanya mampu mencakup warga di beberapa kabupaten/kota karena kendala teknologi yang masih minim.
Hampir semua stasiun TV swasta di Lampung bertarung memperebutkan perhatian pemirsa di Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, sebagian Lampung Utara, Pesawaran, dan Pringsewu. Pada beberapa kabupaten kualitas siaran TV Lampung sangat buruk, kalah jauh dengan kualitas siaran TV swasta nasional.
Buruknya kualitas siaran TV Lampung yang ditangkap pemirsa diperparah dengan buruknya kualitas sajian acara. Satu-satunya mata acara TV Lampung yang akan ditonton dan ditunggu pemirsa hanya sajian berita, terutama berita yang aktualitas dan proximitasnya sangat tinggi. Namun, disayangkan karena sebagian besar kemasan berita di stasiun TV Lampung tidak digarap dengan serius, sehingga banyak dari berita-berita itu yang tidak memenuhi kadar aktualitas.
Hal ini disebabkan tingginya biaya produksi yang mesti dikeluarkan stasiun-stasiun TV Lampung, sehingga para produser mesti berpikir dua kali untuk menambah jam tayang. Itu sebabnya, jam tayang sebagian besar stasiun TV Lampung sangat minim. Dalam kondisi serbaminim itu, biaya produksi yang besar mesti tertutupi dari hasil belanja iklan yang hingga saat ini masih sangat minim. Akibatnya, stasiun-stasiun televise swata di Lampung seoalh tumbuh bagai kerakap di atas batu.
Industri televise di Lampung belum mampu tampil sebagaimana mestinya sebuah industri yang memberi profit bisnis. Industri media elektronika ini kalah jauh dibandingkan saudara tuanya, industri media cetak, juga dalam hal perebutan belanja iklan . Sebab itu, para pengelola stasiun-stasiun televise mesti memeiliki tenaga produser yang ahli dan mampu menyiasati minimnya sumber kemasukan dengan menciptakan kreativitas-kreativitas baru dalam hal penyajian mata acara.
Menyiasati Berita TV
Tidak terbantahkan, selain sajian berita, hamper tidak ada mata acara TV Lampung yang mampu mengambil hati public. Kondisi ini terjadi karena keterbatasan teknologi juga pembiayaan, sehingga pengelola stasiun TV kemudian mengemas mata acara dengan sistem advertorial. Maksudnya, mata acara yang ditayangkan di luar berita (news) merupakan liputan hasil kerja sama pemberitaan dengan pemasang iklan, yakni pihak yang bersedia menjadi sponsor tunggal dari acara tersebut.
Dalam kondisi yang serbakekurangan, stasiun-stasiun TV masih harus menghidupi operasionalnya dengan dana yang didapat dari iklan. Persoalan justru muncul ketika kepercayaan para pemasang iklan terhadap sebaran (caverage) stasiun-stasiun TV Lampung sangat rendah, sehingga sulit menarik pengiklan. Untuk mengantisipasinya buruknya dana yang masuk dari sector periklanan, produser-produser stasiun-stasiun TV Lampung melakukan kontrak-kontrak kerja pemberitaan dengan pemerintah daerah dan para pengusaha.
Dampak dari kontrak-kontrak kerja pemberitaan ini membuat berita yang disajikan kepada pemirsa merupakan berita bernuansa advertorial, yakni berita-berita yang didesain para produser stasiun TV untuk memuaskan pihak yang penandatangani kontrak. Pada tataran ini kebutuhan public pemirsa terabaikan, karena seluruh operasional stasiun TV Lampung senantiasa diarahkan untuk keberlangsungan hidup industri televise bersangkutan.
Sebab itu, sangat tidak adil jika mengharapkan karya-karya jurnalisme yang andal lahir dari industri pertelevisian Lampung. Budaya TV Lampung belum sampai pada budaya jurnalisme televise, masih sebatas penjajakan menuju era industri televise moderen. Untuk sampai pada tahap itu, TV Lampung masih membutuhkan banyak waktu mengingat persoalan-persoalan mendasar terkait teknologi pertelevisian saja masih menjadi kendala, dibuktikan dari buruknya kualitas acara yang dapat ditangkap pesawat-pesawat televise milik masyarakat.
Selain itu, acap kita temukan hal-hal yang kurang disukai para poemasang iklan seperti perebutan jam tayang, yang justru disikapi pengelola televise dengan memendekkan iklan yang berimplikasi terhadap dampak iklan tersebut. Artinya, karena pada jam tayang tertentu (terutama sore hari saat penyangan siaran berita) permintaan iklan dari pemasang melebihi slot yang disediakan, sehingga kualitas iklan dipertaruhkan yang akhirnya merugikan para pemasang iklan. Artinya, dampak hebat televise yang diharapkan para pemasang iklan karena mampu menyajikan pesan dalam bentuk audio visual secara bersamaan, ternyata tidak muncul seperti harapan.
Stasiun-stasiun TV Lampung harus bertarung dengan stasiun-stasiun televise swasta nasional yang sudah lebih dahulu berhasil mengambil hati public pemerisa dengan kemasan-kemasan acara yang mampu membentuk masyarakat pemirsa menjadi massa yang penuh ketergantungan. Dalam hal siaran berita, stasiun TV Lampung menjadi alternatif terakhir pemirsa setelah berita-berita di TV swasta nasional.
Momentum Pilkada
Dalam situasi memprihatinkan, stasiun-stasiun TV di Lampung kini sedang mendapat momentum berharga yaitu pesta demokrasi Pilkada 2010. Bagi para calon kepala daerah, harapan untuk dapat menjadi Bupati/Walikota saat Pilkada 2010 hanya mungkin terjadi apabila bisa tampil sebagai ikon media massa. Sebab, media massa di aras moderen saat ini telah masiuk ke dalam semua sendi kehidupan masyarakat, juga telah masuk ke dalam kamar-kamar tidur dan ruang keluarga para calon pemilih. Melalui media massa, seorang calon kepala daerah bisa menyapa calon pemilihnya dengan gaya persuasive dalam bentuk advertaising.
Tentu, pengelola stasiun TV Lampung menangkap momentum Pilkada 2010 ini sebagai peluang menambah pundit-pundi. Jika kemudian ada calon kepala daerah yang lebih dominant tampil di stasiun TV Lampung, tentu saja hal itu bukan karena pengelola TV bersangkutan tidak mau bertindak proporsional. Sebaliknya, ketidakproporsionalan pemberitaan terjadi karena pengelola TV tidak sedang menyajikan berita (news) melainkan sebuah iklan (advertising).
Persoalan sekarang, apakah KPID Lampung akan mencabut isi TV Lampung hanya karena mereka menanyangkan iklan para calon kepala daerah yang mampu membayar?
0 #type=(blogger)