Ruang Publik Baru, Ancaman Pers

by - May 16, 2010

Dipublikasikan di Radar Lampung edisi 11 Februari 2010

Oleh Budi P. Hatees | Hantu Tukang Tulis

Belakangan, saya memiliki kesibukan baru mengamati status para Facebooker di dunia jejaring sosial. Status-status itu merekam peristiwa sehari-hari yang dialami para Facebooker maupun orang-orang di sekitarnya.



Sepintas terkesan remeh-temeh karena isinya cuma ’’keluhan”, ’’keresahan”, ’’kebanggaan”, ’’narsisme”, dan hal-hal yang terlalu biasa dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang, saya membaca status hanya terdiri atas satu kata seperti ’’oh”, ’’uh”, ’’ah”, ’’capek”, ’’sakit”, ’’senang”, ’’lapar”, ’’malas”, dan lain sebagainya.

Semula, saya mengira status-status yang remeh-temeh itu sangat keterlaluan dan tidak layak jadi status. Ketika itu saya memosisikan jejaring sosial ini sebagai ruang resmi yang memiliki aturan konvensional ketat. Sudah dengan sendirinya saya memosisikan diri sebagai seseorang yang senantiasa berada dalam bayang-bayang konvensi social yang mesti mengutamakan etika dalam menjalin hubungan sosial.

Namun, situasi itu justru membuat saya merasa tidak bebas sehingga saya lekas menjadi bosan karena menilai jejaring sosial itu dari perspektif yang keliru. Saya pun menjadi agak jarang membaca status yang muncul di layar jejaring sosial.

Tapi, kemudian saya menyadari bahwa mereka yang membuat status yang remeh-temeh itu ternyata dibaca banyak orang. Saya juga melihat setiap status yang remeh-temeh justru mendapat banyak komentar, lebih banyak ketimbang status yang bernuansa serius.

Setiap komentar itu ternyata pula tidak melulu perkara remeh-temeh. Sering status yang remeh-temeh malah menghasilkan diskusi yang ketat dan mencerdaskan.

Khusus untuk komentar terhadap status-status yang remeh-temeh, saya malah menemukan realitas yang lebih kaya. Saya pun menyimpulkan, sesungguhnya status dan komentar itu merupakan satu kesatuan. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena saling mendukung dan saling beririsan.

Karena itu, saya menyimpulkan bahwa status dan komentar itu mengandung kekuatan simbolis, semiotik, dan semantik. Publik dalam jejaring sosial yang berasal dari ragam latar belakang akan memberikan sikap terhadap status itu berdasarkan ranah latar belakang yang dimilikinya. Dia akan melakukan penafsiran yang mewujud berupa komentar. Tidak jarang subjektivitas sangat mewarnai sehingga mengundang komentar balik dan akhirnya tercipta sebuah diskusi.

Diskusi terkait status seorang Facebooker sesungguhnya sebuah loncatan yang menarik. Diskusi yang tercipta tanpa disadari oleh para Facebooker telah mempercepat terjadinya migrasi realitas keseharian manusia ke dalam dunia jejaring sosial. Di dunia yang biasa disebut jagat virtual ini, setiap komentar terhadap status atau status itu sendiri dapat memengaruhi kehidupan manusia.

Aneka aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan para Facebooker masuk ke dalam ruang-ruang jejaring sosial sehingga jejaring sosial menjelma menjadi ruang publik baru. Ruang-ruang publik konvensional berubah menjadi ruang publik jejaring sosial. Di dalamnya realitas-realitas kehidupan manusia terbingkai, meski senantiasa diawali dari kebiasaan yang tak serius.

Dari hal yang tak serius itu, realitas politik terbingkai dan pandangan moral dibangun. Ada pertukaran nilai, moral, dan etika yang terjadi antara penulis status dengan penulis komentar. Aneka pertukaran dan transaksi di bidang ekonomi pun terjalin. Forum-forum diskusi dengan berbagai latar belakang dari keilmuwan, profesi, sampai bisnis muncul di dunia jejaring sosial.

Mereka yang memiliki kegemaran membaca buku bisa melakukan transaksi membeli buku. Mereka yang gemar jejaring permainan seperti Farmville bisa melakukan transaksi antara satu dengan lainnya, saling bahu-membahu untuk meningkatkan kualitas permainan. Mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam kehidupan nyata bisa mengampanyekan diri di dunia jejaring sosial tanpa dipungut biaya.

Jejaring sosial telah menjelma menjadi jagat baru dalam realitas kehidupan manusia. Di dalamnya ada mesin yang mampu menghimpun, menghubungkan, menggerakkan, memotivasi, dan menginformasikan segala hal dalam kehidupan sosial para Facebooker. Elemen-elemen sosial dibuat menjadi padu dalam semangat yang dinamis, nyaris tidak ada benturan antarelemen yang satu dengan lainnya. Tidak ada pengekangan dan kemerdekaan yang sesungguhnya menemukan habitusnya di dunia jejaring sosial.

Yasraf Amir Piliang pernah memuji jejaring sosial sebagai masa depan demokrasi di negeri ini. ’’Demokrasi di masa depan,” tulisnya, ’’digerogoti oleh aneka mesin jejaring, yang tak lagi bertumpu pada ’’kekuasaan orang” –baik kekuasaan seorang (otokrasi), beberapa orang (aristokrasi), maupun ’’rakyat” (demokrasi)– melainkan pada ’’daulat jaringan” itu sendiri.”

Onno W. Purbo dalam sebuah tulisannya di Kompas menilai kebiasaan para Facebooker sebagai wujud bahwa pengguna di Indonesia memiliki kecenderungan suka pada berita/content dari pengguna lain, bukan content yang ’’resmi” dan profesional. Hal ini secara tidak langsung menjadi ’’ancaman” bagi situs berita, content provider.

Abad virtual dengan kehadiran mesin jejaring sosial sesungguhnya menjadi ancaman terbesar bagi industri pers. Dari perspektif teori komunikasi massa, kehadiran jejaring sosial telah membuat posisi media sebagai medium yang sangat menentukan kualitas informasi (pesan), kini nyaris tidak punya peran sama sekali dalam menentukan konten informasi.

Penentu kualitas pesan adalah komunikator dan juga komunikan, di mana kedua entitas ini akan silih berganti menempati posisi sebagai komunikator maupun komunikan. Pada tataran ini sudah diandaikan telah terjadi sebuah proses komunikasi, di mana setiap elemen komunikasi melakukan transaksi informasi (pesan) sehingga kedudukan komunikator dan komunikan tidak stabil.

Jika lebih dipahami, jejaring sosial ini merupakan masa depan yang sudah dibayangkan ketika citizen journalism diperkenalkan kali pertama. Citizen journalism merupakan sebuah strategi jurnalistik yang memberi peluang kepada publik untuk menjadi reporter yang akan melaporkan situasi yang terjadi di lingkungannya maupun di lingkungan orang lain.

Namun, laporan-laporan jurnalistik yang ditulis para pelaku citizen journalism acap masih harus melewati kuasa editing (sensor) pemilik media sehingga laporan-laporan itu masih banyak kejanggalan. Karena kelemahancitizen journalism itulah kemudian jejaring sosial muncul. Di dalam jejaring ini, para Facebooker boleh melaporkan apa saja yang terjadi di lingkungannya. Bahkan laporan-laporan itu acap lebih menarik dibandingkan laporan yang disajikan media massa.

Pada tataran ini, kita akan mempersoalkan perihal etika jurnalistik bahwa semua produk jurnalistik harus mengikuti etika yang sudah disepakati. Persoalannya, status yang dibuat para Facebooker meskipun dalam tataran tertentu sama persis seperti berita karena mengandung informasi (pesan) yang dibutuhkan publik, kita tidak bisa menyebutnya sebagai karya jurnalistik. Laporan-laporan berupa status di jejaring sosial itu merupakan hasil penglihatan dan pengalaman langsung para Facebooker yang disampaikan tanpa memikirkan nilai-nilai berita.

Informasi tersebut dalam banyak hal mampu mengalahkan informasi yang disajikan pers. Akibatnya, publik lebih banyak mengandalkan jejaring sosial sebagai ruang publik baru ketimbang mengandalkan pers yang dalam banyak hal sangat bergantung pada pengelola institusinya. (*)

You May Also Like

0 #type=(blogger)