MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Pesimisme Politik Publik

PESIMISME terhadap tujuan-tujuan ideal politik merebak akhir-akhir ini di lingkungan masyarakat. Harapan yang terlanjur digantungkan public kepada elite politik ternyata tidak memberi arah positif bagi realitas kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang tenang dan berbahagia menjadi sulit dipikirkan apalagi untuk diraih.



Oleh Budi P. Hatees


Segala tindak politik para elite justru menghadirkan realitas kehidupan yang mencemaskan. Tampak menonjol justru kegelisahan-kegelisahan menghadapi aras masa depan, karena segala sesuatu serbatak jelas, jauh dari gambaran dan perhitungan yang sudah dirancang.

Kini setiap orang dipaksa mencurahkan perhatian dan mengubah strategi hidup saban hari guna mengantisipasi tingginya harga sembako, ruwetnya mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara, canggihnya tindak kriminalitas, dan berubah-ubahnya peraturan perudang-undangan yang berlaku. Yang disebut terakhir paling besar pengaruhnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana tidak ada kata final dalam pengambilan keputusan untuk menata masa depan, karena realitas yang terjadi senantiasa berubah-ubah dalam hitungan hari.

***
KENAIKAN harga bahan bakar minyak (BBM) salah satu buktinya. Meskipun Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengatakan tak lagi akan menempuh kebijakan yang dibenci public itu, tetap memilih kebijakan tersebut. Merasa dibohongi pemerintah, muncul reaksi keras dari masyarakat dalam bentuk aksi massa yang memperlhat betapa kekerasan menjadi begitu wajar dilakukan.

Pemerintah bergeming dengan kebijakannya sambil menyaksikan satu per satu rakyatnya hidup dalam kondisi kesejahteraan yang semakin memprihatinkan. Ragam kebijakan pendukung berupa pemberian bantuan konpensasiu kenaikan BBM dalam bentuk uang tunai (BLT) maupun kredit usaha rakyat (KUR), ternyata melahirkan persoalan-persoalan yang tak kalah krusial. Mereka yang tak masuk dalam daftar penerima BLT, merasa mendapat perlakuan tak adil dan menuntut perlakuan sama. Sebab, kenaikan harga BBM betul-betul memorakporandakan perekonomian rakyat, membuat mereka yang sebelumnya tak masuk katagori miskin, mendadak jadi miskin.

Efek kenaikan harga BBM tidak dapat diukur dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang dipergunakan para pengambil kebijakan di negara ini. Banyak faktor yang tak diperhitungkan dan dipikirkan sebelumnya justru menimbulkan dampak besar. Watak kultural masyarakat kita yang sangat individual sebagaimana mereka pelajari dari para elite yang gemar memperkaya diri sendiri, salah satu factor yang menyebabkan setiap orang memutuskan memikirkan kepentingan diri sendiri. Produsen dengan enteng memakai alasan kenaikan harga BBM telah memaksa menaikkan harga barang produksi.
Kondisi ini tidak akan berubah seadainya pun legislatif berhasil mencapai tujuan hak angket yang mereka ajukan. Fakta menunjukkan, sekali harga-harga barang produksi dan konsumsi sudah sempat naik, maka harga itu akan bertahan sampai ada factor bazru yang menyebabkan kenaikan harga berikutnya.

***
MASYARAKAT hidup dengan harapan yang serbatak jelas. Apapun program yang diluncurkan pemerintah terasa bagai “isapan jempol” para elite. Bantuan langsung tunai (BLT) yang tak seberapa, menyebabkan kekecewaan yang semakin berlarut-larut dan diwujudkan dalam bentuk mengkonsumsikan uang tersebut bukan untuk kepentingan sehari-hari.

Kondisi ini masih ditambah persoalan lama, dimana banyak kebijakan berupa undang-undangan yang dibuat pemerintah selama reformasi berlangsung tidak dipersiapkan menjadi nilai konstant dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-undang dan peraturan yang ada sangat kuat dipengaruhi oleh versi, sangat tergantung kepada siapa yang paling dominan memainkan peran. Alhasil, undang-undang dan peraturan disahkan sebagai kebijakan baru yang mesti dijalankan, tetapi hal itu tidak menjamin apa pun dapat terlaksana dengan baik.

Ekspektasi terhadap reformasi yang perlahan-lahan dibangun, secara perlahan-lahan pula menjadi luntur. Elite-elite yang memiliki janji-janji politik tidak lagi diperhatikan. Masyarakat akhirnya mengelu-elukan pemerintah Orde Baru yang hagemonik. Kecenderungan rakyat itu membuktikan telah terjadi apatisme sosial yang menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap segala upaya perbaikan yang datang dari pemerintah. Pada akhirnya, kondisi ini menciptakan patologi sosial dimana segala yang buruk menjadi begitu baik di mata masyarakat.

Segala perbuatan yang tidak direstui dalam kehidupan social selama ini, kini mendapat tempat terhormat. Setiap orang berlomba-lomba mengikuti jalan kejahatan, karena menjadi ideal berarti menenggelamkan diri dalam kebodohan dan ketololan. Realitas hidup mengharuskan segala dimensi kehidupan dipahami dalam mekanisme moderen yang memperkenalkan globalisasi dan tidak memberi tempat terhadap segala bentuk nilai-nilai tradisional yang diwariskan dari leluhur budaya bangsa.

Masyarakat kita tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap masa depan, karena elite-elite lebih memikirkan bermanuver politik yang cuma berorientasi pada kepentingan individu. Masyarakat memelihara perspektif negatifnya atas semua dinamika kehidupan, menolak segala pemikiran positivisme. Entitas semacam ini menderita frustasi secara kolektif dengan luka psikologi yang sulit disembuhkan oleh kegiatan-kegiatan medik apa pun.

***
INILAH implikasi dari sepak terjang elite politik, mereka yang menggerakkan roda partai-partai politik berdasarkan kepercayaan yang diberikan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang duduk di lembaga legislatif, yang bekerja, bertindak, dan berbuat atas nama label rakyat itu, tetapi dominan orientasinya justru sangat individual (self-oriented). Di tangan mereka, politik tidak menciptakan kebaikan umum, tanpa prinsip ekualitas, menegasikan keadilan, dan bersikap masa bodoh terhadap asas kemanusiaan.

Kecenderungan para elite untuk tidak memikirkan masa depan rakyat karena mereka sebagai mahluk social telah kehilangan kapasitas-kapasitas individunya. Kedudukannya dalam sebuah sistem membuat elite melakukan penghancuran individu (deindividuasi) dan melebur ke dalam kapasitas kelompok. Pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman individu digantikan oleh orientasi kelompok.

Fenomena psikologi ini dalam banyak hal menjadi pendorong terciptanya patologi sosial, yang salah satunya melahirkan masyarakat dengan biografi yang gelap. Masyarakat yang hidup tanpa penghormatan terhadap etika dan moralitas sosial, sehingga realitas kehidupan berjalan bagai di atas batu-batu cadas yang runcing dan tajam.

Para kepala daerah, misalnya, terpaksa menghilangkan kapasitas pribadinya untuk lebur dalam sistem yang ada di lingkungannya. Intelektualitas, kecakapan, dan nilai-nilai yang dimilikinya, tidak mendapat peluang untuk diterapkan di dalam sistem yang bobrok dan busuk. Alhasil, untuk bisa diterima dalam sistem, elite-elite akhirnya menyesuaikan diri. Jika tidak, mereka akan berhadapan dengan realitas berseberangan, dimana segala upaya yang dilakukan berhadapan dengan jalan buntu.

Keluhan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tentang benturannya dengan DPR RI beberapa waktu lalu salah satu bukti. Untuk bisa diterima oleh legislatif, hal itu hanya mungkin terjadi jika Presiden SBY melakukan kompromi atas tuntutan DPR RI sekalipun hal itu sulit diterima dalam sistem tata negara yang ideal. Sedang DPR RI tidak bisa disalahkan karena mereka mesti menyesuaikan diri dengan sistem yang ada, dimana kedudukan partai politik sangat kuat untuk melakukan intervensi politik.

Sebab itu, seorang intelektual yang duduk sebagai anggota DPR RI akan kehilangan kapasitas intelektualnya di hadapan kepentingan-kepentingan partai politiknya. Begitu juga halnya kapasitas pribadi para elite partai politik, yang sangat pasti akan hancur oleh kepentingan-kepentingan sistem yang dikendalikan oleh keinginan-keinginan berkuasa.

Fenomena deindividuasi ini sangat mengkhawatirkan, karena tidak membuka diri terhadap konsensus, aturan main, dan norma-norma tidak berlaku. Yang menonjol justru euphoria, karena kesamaan tujuan, visi, dan harapan membuat setiap individu lebih mengutamakan amuk. Sears, Freedman, dan Peplau dalam buku mereka, Social Psycology (1985), mengatakan deindividuasi muncul dalam realitas kelompok. Individu menjadi hancur dalam kelompok. Aktivitas mereka lebih didasarkan pada kepentingan kelompok. Dengan begitu, tanggung jawab pribadi jadi hilang, sehingga setiap orang tidak merasa perlu bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok, mereka dapat melakukan apa saja. Dalam hal inilah setiap orang akan mengabdi pada anonimitas. ***