MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Golput, Nasionalisme Baru Kita

Setiap kali mendengar akan digelar Pilkada (pemilihan kepala daerah), rakyat tidak lagi melihat Pilkada sebagai momentum untuk membangun harapan baru, ekspektasi baru, dan kehidupan yang baru. Rakyat hanya senyum getir dan tak mau berpikir untuk menyisahkan sedikit waktu dari kesibukan mengais sesuap nasi untuk pergi ke tempat-tempat pemungutan suara. Rakyat sudah mahfum, pada akhirnya Pilkada hanya akan menghasilkan pemimpin, tetapi subtansinya tetap saja mewarisi figur pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan individu, kelompok, dan kartel politiknya.


Oleh Budi P. Hatees


Tak heran jika angka golongan putih (Golput) dalam Pilkada 2010 di sejumlah daerah yang baru saja digelar tetap tinggi, berkisar 30% sampai 40%. Dari survei yang dilakukan Lembaga Riset Publik (LARISPA) Medan, misalnya, jumlah pemilih pada Pilkada Kota Medan sekitar 1,92 juta orang. Usai Pilkada yang digelar 12 Mei 2010, total suara sah sekitar 681.392 dan suara tidak sah 14.330. Ada 40% rakyat yang tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding jumlah suara yang diperoleh dua pasang pemenang, Rahudman--Eldin Dzulmi memeroleh 22,09% dan pasangan Sofyan Tan--Nelly Armayanti memeroleh 20,66% suara.

Kondisi hampir sama juga terjadi saat Pilkada di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Tapanuli Selatan, dan lain sebagainya.

Jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu 2009 lalu, angka golput saat Pilkada 2010 mengalami peningkatan drastis. Hasil survei LP3ES terhadap golput dalam Pemilu 2009 menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir jumlah golput paling banyak pada Pemilu 2009 karena sampai 34%. Pada Pemilu 2004, angka golput 26%, dan Pemilu 1999 (20%).

Tingginya angka golput membuktikan bahwa Pilkada tidak lagi memiliki daya tarik untuk membujuk rakyat agar melibatkan diri dalam penyelenggaraan negara. Realitas tersebut mengindikasikan telah terjadi apatisme di kalangan pemilih. Apatisme yang merupakan akumulasi dari ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap para pemimpinj yang telah dipilih dalam Pilkada,

Keberadaan golput dalam pesta demokrasi lokal mengkhawatirkan banyak pihak. Para agamawan bahkan merasa cukup alasan untuk mengeluarkan fatwa haram terhadap golput seolah-olah menjadi golput bukan merupakan dosa. Para penyelenggara Pilkada dan calon kepala daerah melihat golput akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Padahal, demokrasi sudah lumpuh manakala kata Pilkada digembar-gemborkan.

Semua kekhawatiran itu sangat beralasan. Tapi, alasan yang dimiliki rakyat untuk tidak berpartisipasi dalam Pilkada perlu juga diperhatikan.

Tingginya angka golput tidak melulu kesalahan rakyat. Selain karena factor apatisme terhadap Pilkada sebagaimana dijelaskan di awal tulisan, golput muncul karena buruknya mobilisasi yang dilakukan penyelenggara, calon kepala daerah, dan partai politik. Mobilisasi yang tak mampu merangsang peningkatan partisipasi public, karena penyelenggara Pilkada lebih memfokuskan perhatian pada urusan-urusan yang tak subtansial.

Sudah menjadi rahasia umum, setiap kali Pilkada akan digelar, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurusi kelengkapan-kelengkapan Pilkada. KPUD acap memfokuskan diri untuk mengurus kelengkapan-kelengkapan penyelenggaraan Pilkada berupa pengadaan atribut-atribut karena hal itu berkaitan dengan proyek pengadaan barang.

Dalam situasi seperti itu, KPUD melupakan hal paling subtansial terkait penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Buruknya pendataan DPT berdampak serius terhadap tingginya angka golput.

***

Harus ada golput (golongan putih) di antara kita karena Pilkada ternyata hanya menarik bagi golongan kelas menengah ke atas. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh publik, elite-elite partai politik, pengusaha, konsultan politik, dan orang kaya baru yang tak terpuaskan oleh kekayaannya. Bagi mereka, Pilkada merupakan momentum mewujudkan hasrat berkuasa melalui pertukaran antara harapan rakyat jelata dengan kebohongan politik yang niretika.

Pilkada menjadi pintu gerbang yang mestinya bisa dilalui siapa saja untuk menakik tangga menuju puncak kekuasaan pemerintahan di daerah. Inilah salah satu manfaat reformasi, meskipun manfaat itu kemudian tidak seperti yang dibayangkan semua lapisan masyarakat. Sebab Pilkada tidak memberi peluang yang sama kepada rakyat jelata, dimana rakyat jelata hanya kebagian hak memilih dan bukan hak dipilih.

Dalam Pilkada, rakyat jelata diposisikan sebagai pasar politik. Para elite partai politik bersama kandidat kepala daerah menjadi pemasok barang-barang produksi dari mesin-mesin politik yang bernama program-program politik. Dalam sistem produksi itu, selalu terdengar kalimat meningkatkan kesejahteraan rakyat, meskipun kalimat itu hampir tidak ada kaitannya dengan upaya merealisasikannya.

Sebagai pasar, tetapi yang berlaku bukanlah hukum pasar tentang pasokan dan permintaan (supplay and demand). Rakyat tidak bisa memilih barang, karena semua program politik yang ditawarkan mesin-mesin politik itu tidak memiliki nilai lebih antara satu dengan lainnya. Jika ada enam kandidat calon kepala daerah, maka keenamnya selalu menawarkan program yang sama: mensejahterakan rakyat, menggratiskan sekolah, menggratiskan pengobatan, membersihkan KKN, dan membangun birokrasi pemerintahan yang bersih (clean governance).

Produk-produk mesin politik itu sangat umum. Para calon kepala daerah di Pulau Sumatra akan menawarkan program yang sama seperti ditawarkan para calon kepala daerah di Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Jawa, dan lain sebagainya. Tidak ada spesifikasi dan tampak tidak terlalu mempertimbangkan aspek-aspek. Calon Wali Kota Bandar Lampung, misalnya, berkutat pada perkara menggratiskan sekolah dan pengobatan, seolah-olah para calon Wali Kota itu punya memiliki institusi pendidikan dan rumah sakit sendiri.

Program-program menggratiskan lebih menunjukkan rendahnya penghargaan para calon kepala daerah terhadap kapasitas para profesional di bidang pendidikan dan kesehatan. Karena hasil kerja mereka dibuat gratis. Meskipun kenyataannya, hampir tidak ada yang gratis di era saat ini, apalagi ketika pemerintah daerah mengalami kesulitan keuangan akibat rendahnya pendapatan asli daerah. Artinya, apakah para calon kepala daerah akan merealisasikan hal-hal gratis itu dari sumber dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus (DAK)—satu-satunya sumber pembiayaan daerah yang bisa dipastikan akan diperoleh.

***

Pilkada telah mempertajam perbedaan kelas sosial yang berlangsung di lingkungan masyarakat. Mereka yang tampil sebagai calon kepala daerah adalah mereka yang secara ekonomi mapan. Mereka lebih banyak kesempatan untuk mencalonkan diri dibanding mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Karena Pilkada tidak mengutamakan kemampuan, kapasitas, dan moralitas seseorang dalam memimpin, tetapi menomorsatukan ekonomi.
Melalui mekanisme pencalonan oleh partai politik, Pilkada berubah menjadi pasar politik yang mengharuskan setiap orang melakukan negosiasi ekonomi. Peran pemerintah pusat sangat besar dalam hal ini. Melalui regulasi politik, pemerintah mengontrol rakyat jelata agar tak bisa tampil sebagai calon kepala daerah. Kontrol yang memosisikan partai politik sebagai motor dari geliat demokrasi di daerah, sementara kontrol pemerintah terhadap partai politik setengah kopling.
Pemerintah memosisikan partai politik sebagai motor Pilkada. Mereka yang mendapat kesempatan menentukan siapa yang akan menjadi calon kepala daerah. Meskipun kemudian pemerintah memberi peluang bagi calon independen, tetapi jalan yang mesti dilewati seorang calon independen sangat terjal dan membutuhkan perjuangan keras untuk mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Mereka harus mendapat dukungan sekian ribu fotokopy KTP, sementara persoalan KTP saja bangsa ini masih belum beres.
Sebagai motor, partai politik bukan mesin yang memiliki kapasitas luar biasa untuk dipacu 24 jam tanpa masalah pada engine. Partai politik adalah mesin tua yang senantiasa terbatuk-batuk dalam mencari sosok kepala daerah. Mesin yang baru akan bersuara lembut apabila para calon kepala daerah mengganti oli dan bila perlu memperbaharui piston sehingga mampu berjalan dengan kapasitas yang seharusnya. Untuk itulah, para calon kepala daerah mesti merogoh kantong dalam-dalam, dan dana-dana itu belum termasuk perangkat dan atribut kampanye politik.
Pengalaman saya menemani seorang calon kepala daerah di Kabupaten Lampung Selatan merupakan pengalaman berharga tentang betapa partai politik lebih banyak bekerja dalam kapasitas “mempolitiki” ketimbang “berpolitik”. Kerja mereka diawali dengan “mempolitiki” calon kandidat kepala daerah, lalu “mempolitiki” rakyat sebagai pemilik suara, lalu “mempolitiki” sesama anggota partai politik yang menyebabkan si calon kepala daerah tidak diterima seluruh lapisan konstituen partai politik bersangkutan. Kondisi yang sama juga dialami calon kepala daerah yang diterima konstituen partai di tingkat arus bawah, tetapi ditolak elite partai politik tersebut. Dicalonkan dari partai politik lain, tetapi didukung oleh konstituen partai politik yang berbeda.
***
Karena alasan-alasan itu, peristiwa politik Pilkada yang mestinya melibatkan seluruh lapisan masyarakat, menjadi tak menarik lagi bagi rakyat jelata. Pilkada bagi rakyat sudah berevolusi menjadi mesin politik yang menggarami luka-luka kemiskinan. Pilkada menjadi sebuah momentum yang selalu mengingatkan pada kegagalan mereka dalam memilih pemimpin selama ini, juga pada rasa pahit kehidupan yang tidak kunjung berubah manis meskipun pemimpin-pemimpin sudah dipilih berkali-kali.

Realitas menunjukkan, setiap pemimpin yang sudah dipilih, hanya menambah panjang sejarah pahit pembohongan publik. Program-program dan janji-janji politik berhamburan tidak lebih daripada pemerah bibir. Program-program kerja selama kampanye politik tidak dapat mengubah apaapun. Korupsi dana APBD tetap terjadi, nepotisme rekrutmen pegawai negeri sipil terus berlangsung, makelar proyek tumbuh subur dalam jaringan kekuasaan para kepala daerah, dan good governance hanya slogan yang lebih mengesankan agar terlihat gagah.***