Kaki Kanan di Malaysia, Sebelah Lagi di Indonesia

by - June 19, 2010

Nurhayati tersenyum. Kaki kananya perempuan berusia 58 tahun itu menjejak di Serawak, Malaysia, sedang kaki lainnya berada di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Sementara laki-laki berseragam militer berusaha mencegatnya.



Oleh Budi P. Hatees


Pertengahan Juli 2008 lalu, Nurhayati tiba di perbatasan Indonesia-Malaysia atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Pos itu berada di Dusun Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Entikong berjarak sekitar 312, 4 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, ke arah timur.
Ia tidak sedang berniat mau ke Malaysia. Bersama seluruh anggota keluarga, ia hanya menghabiskan waktu selama mengunjungi famili di Sanggau. Kebetulan familinya menawarkan jalan-jalan ke Entikong, sebuah kawasan yang juga sering dijadikan objek wisata di daerah itu. Karena belum pernah ke Entikong, dan didorong rasa ingin tahu tentang daerah perbatasan, ajakan itu tidak ditolaknya.
Mengendarai mobil dari Sanggau, layaknya sedang berwisata, tawa mereka pecah. Keluarga Nurhayati—suami, enam anak, dan dua cucu ditambah seorang menantunya--memang membutuhkan wisata.
Kesibukan sehari-hari di tempat tinggalnya, di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara, membuat ia tak pernah memikirkan liburan. Untung ada kesempatan dari anak ke-5, Muhammad Yunus, yang berniat menikahi seorang gadis asal Sanggau, Diana. Usai acara pernikahan dengan tata cara adat khas Melayu Sanggau, ditutup dengan kegiatan berwisata.
***
Bayangan tentang Entikong, yang diceritakan famili barunya (besan), berlintasan. Sebuah tempat yang akan menjadi sangat menyenangkan.
Entikong merupakan satu dari beberapa tempat di Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Entikong di Kabupaten Sanggau. Nanga Badau di Kabuapaten Kapuas Hulu. Paloh dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Dan, Senaning di Kabupaten Sintang.

Hanya di Entikong terdapat PPLB. Lainnya masih belum dibuka, dan masih berupa Pos Lintas Batas (PLB). Pembukaan masalah lintas batas, harus ada kesepakatan dari kedua belah negara berdaulat.

Entikong tak pernah sepi. Di daerah perbatasan ini, segala sesuatu menggeliat. Orang-orang selalu datang, mengendarai angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Mobil-mobil keluar dan masuk kawasan, tapi hanya sebatas tempat parker yang terlihat seperti terminal.
“Tempat ini memang berfungsi sebagai terminal angkutan umum. Angkutan trayek Entikong-Sanggau berhenti di sini,” kata Marzuki, petugas parker.
Ia tinggal di Desa Entikong itu bersama istrinya, Hanna, yang membuka salah satu warung makan di kawasan tersebut. “Dua puluh empat jam. Tempat ini selalu ramai,” katanya.
Sekitar setengah kilometer sebelum mobil yang dikendarai Nurhayati memasuki kawasan PPLB, mulai terasa aroma perbatasan. Entikong terlihat berbeda dengan kebanyakan perkampungan yang telah dilewati. Ia seperti sebuah kota yang baru tumbuh dengan infrastruktur jalan yang jauh lebih mulus.
Segala fasilitas bisa ditemukan. Ruko-ruko yang menyajikan berbagai jenis barang belanjaan, gedung imigrasi yang mentereng, dan pos-pos polisi. Semua terlihat masih baru. Beberapa bangunan baru sedang diselesaikan para pekerja. Daerah ini, Kecamatan Entikong, jadi tampak seperti make up.
Mereka yang datang dari Malaysia, yang melintasi PPLB, segera akan berada di Kecamatan Entikong dan melihat sebuah kota yang baru tumbuh. Mana kala mereka mulai melewati pusat kota, akan membentang potret yang bertolak-belakang. Kemiskinan penduduk disembunyikan di balik bangunan-bangunan mentereng di kawasan pertasan itu.
Mobil yang ditumpangi Nurhayati berhenti. Dengan gesit Nurhayati turun. Setelah berfoto beberapa kali jepret di tugu nama bertulis Entikong, ia mengajak suaminya, Rencong Hutasuhut, ke pos penjaga. “Saya ingin menginjakkan kaki sebelah di Malaysia, sebelah lagi tetap di Indonesia,” kata Nurhayati.
Anak-anak dan cucu Nurhayati sibuk mengambil gambar. Mengabadikan keberadaan mereka di Entikong. Ada kegembiraan memancar. Ada tawa lepas. Semua yang tampak pada keluarga itu adalah kekhasan orang yang sedang berwisata.
Meskipun kebahagiaan itu hampir tidak ditemukan pada sebagian besar masyarakat Entikong. Karena beberapa orang yang ditemui mengaku, keberadaan PPBL di Entikong telah mengungkap potret ketimpangan perhatian pemerintah pusat dua negara berbeda. Di wilayah Malaysia, kawasan Serawak, geliat pembangunan melonjak drastic sejak pembukaan PPBL disepakati kedua negara. Sementara di wilayah Indonesia, nyaris tidak ada geliat ekonomi.
***
Pemerintah Malaysia menangkap potensi besar ekonomi dari pembukaan PPBL di Entikong. Kawasan Serawak, yang semula hanya daerah tempat tinggal, belakangan menggeliat menjadi salah satu kawasan industri di Malaysia. Perkembangan sector industri ini, yang cuma berjarah beberapa kilometer dari Indonesia, menjadi daya tarik baru bagi orang Indonesia untuk menguji peruntungan dan nasib sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
Malaysia memang super ketat soal ini. Tapi, di Entikong, mereka bisa dengan mudah menyeberang ke Malaysia. Berbekal passport dari kantor imigrasi di daerah itu. Soal surat-surat dan dokumen pribadi, ada cerita yang sangat menarik.
Meskipun pemerintah pusat sudah memperketat kehadiran para calo, tetapi menjadi calo merupakan pilihyan utama bagi masyarakat Entikong. Hanya pekerjaan itu, yang cuma bermodalkan kemampuan merayu dan menyuap petugas—dan petugas memang menyukainya—seseorang akan mendapat keuntungan besar.
“Dalam sehari, paling sedikit 10 orang mengurus passport,” kata Firkah, seorang calo, yang sudah menekuni kariernya selama bertahun-tahun.
Banyak calon TKI yang ingin menyeberang ke Malaysia untuk memanfaatkan ruang-ruang kosong pada sector tenaga kerja (buruh) di sejumlah pabrik yang baru dibuka. Sektor tenaga kerja lapis bawah itu, biasanya membuka diri untuk tenaga-tenaga murah dari Entikong. Yang penting, mereka punya dokumen pribadi yang sah. Tanpa itu, mereka tak akan bisa melwati adangan para askar di perbatasan.
Kehadiran pabrik-pabrik baru di Serawak, bukan cuma membuat calon TKI tergiur. Tapi, juga membuat para pengusaha berbagai komoditas mentah mencium ada potensi ekonomi besar untuk memasok bahan baku. Para pengusaha dari Kalimantan Barat, kemudian mengupayakan pengiriman berbagai jenis bahan baku ke Serawak melalui PPBL.
Sebaliknya, para pengusaha di Serawak melihat potensi pasar yang besar di wilayah Kalimantan Barat. Melalui jalur PPBL, sering terlihat truk-truk bermuatan barang-barang produksi asal Serawak masuk ke Entikong. Kalimantan Barat pun berubah menjadi pasar potensial bagi Malaysia dengan produk yang sesungguhnya bisa diproduksi masyarakat Entikong. Sebut saja bidai atau tikar, juga sandal jepit.
Dua produk itu sangat diminati masyarakat Kalimantan Barat. Karena produk serupa dari Indonesia, harganya mahal. Sedang produk dari Malaysia, harganya murah dan meriah.
Tingginya perhatian Pemerintah Malaysia terhadap daerah perbatasan, berbanding terbalik dengan buruknya perhatian Pemerintah Indonesia. Sebagian masyarakat Entikong akhirnya lebih tertarik memasuki Malaysia, karena di sana mereka bisa menikmati apa yang tidak bisa mereka nikmati di Indonesia.
Dalam hal kemajuan teknologi komunikasi, misalnya. Teknologi itu tak tumbuh subur di sana. Masyarakat tidak bisa mengakses informasi dari TV, radio, koran Indonesia, tetapi mudah mengakses informasi dari Malaysia. Perhatian mereka selalu tertuju pada setiap informasi baru dari Malaysia seperti pembangunan kawasan industri baru di Serawak itu.
***
Nurhayati ngotot ketika petugas berseragam militer di pos jaga menghalangi niatnya menginjakkan kaki. Ia dan suaminya tidak hilang akal. Mengeluarkan kamera saku, suami Nurhanyati menyuruh istrinya mendekati pos jaga. Tiga aparat militer, yang masih muda usia, diminta ikut berpose.
“Ini kenang-kenangan bahwa saya pernah sampai ke Entikong,” kata Nurhayati.
Petugas itu tersenyum. “Tetap tidak boleh ibu ke sana. Ibu hanya boleh di garis netral ini,” kata petugas.
Nurhayati pun maju ke garis netral. Lalu memasukkan sebelah kakinya ke wilayah Malaysia, dan sebelah lagi tetap di Indonesia. Suaminya dengan gesit memotret, sementara aparat militer mencoba menghalangi.

You May Also Like

0 #type=(blogger)