Perempuan Lain

by - April 11, 2010

Cerpen Budi P. Hatees
Harian Sumut Post | Minggu, 11 April 2010

Keluar dari rumah, aku pamit pada isteriku untuk pergi ke kampus mengajar. Di tengah jalan, aku bukannya mencari kendaraan umum menuju ke kampus, malah mencari kendaraan umum ke arah Terminal Rajabasa. Ketika tiba di terminal yang ramai itu, aku berpikir akan mencari angkutan kota menuju kampus, tetapi aku malah menaiki bus menuju Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni. Selama satu setengah jam dalam bus, aku tertidur dan bermimpi bertemu dirinya. “Aku tak tahan lagi. Aku akan meninggalkan pekerjaan ini pekan depan,” katanya.



Aku bilang dia terlalu cepat menyerah. Dia marah. “Kau tak paham. Kau tak akan pernah paham,” katanya. Aku bilang aku paham. Dia tambah marah. Tanpa kata-kata, dia meninggalkanku. Aku mengejarnya sambil meneriakkan namanya. Tapi tubuhnya menghilang, lalu muncul laki-laki paroh baya itu. “Sampeyan bermimpi. Banyak masalah tah?” Nada bicara laki-laki paroh itu meledekku. Aku diam saja. Kalau bus tidak segera berhenti, pasti aku akan emosi melihat cara laki-laki paroh baya itu tersenyum-senyum.

Bus sampai di Pelabuhan Bakauheni. Aku cepat-cepat turun sebelum laki-laki paroh baya itu memanggang kemarahanku. Berada di luar bus, aku tersentak. Semula aku berpikir sedang berada di kampus, ternyata aku di tempat lain. Aku agak bingung, lalu kuputuskan mencari kendaraan yang bisa membawaku ke kampus. Tapi, aku malah pergi ke loket dan membeli karcis kapal cepat. Di dalam kapal, aku tertidur lagi, lalu bertemu dia lagi.

“Aku ditakdirkan untuk tak pernah bahagia,” suaranya parau. “Semua hal yang aku lakoni dalam hidup membuatku tidak bahagia. Pekerjaan, pernikahan, pertemanan, dan sekarang….” Dia tak melanjutkan kalimatnya. “Sejak awal aku sudah berpikir hubungan kita tidak akan berhasil.”

Aku bilang dia terlalu cepat menyerah. Dia marah. “Kau tak paham. Tak akan pernah paham,” katanya.

Aku bilang aku paham.

Dia tambah marah. Tanpa kata-kata, dia meninggalkanku. Aku mengejarnya sambil meneriakkan namanya. Tapi tubuhnya menghilang, lalu muncul laki-laki paroh baya itu. “Sampeyan lagi. Bermimpi lagi.” Laki-laki paroh baya itu betul-betul keterlaluan.

Dia berbicara dengan nada mengejek sambil melangkah menuju barisan orang-orang yang bergerak perlahan ke sebuah pintu. Aku baru sadar telah berada di dalam sebuah kapal cepat. Aku bergegas turun.

Aku kaget sudah berada di Pelabuhan Penyeberangan Merak. Aku berpikir untuk kembali membeli tiket kapal cepat dan pulang ke Bandar Lampung, tapi aku malah menaiki sebuah bus. Ketika bus itu melaju, aku tertidur lagi. Aku bertemu dia lagi. “Hubungan apa yang terjadi di antara kita?” tanyanya.

Aku tak tahu ke mana arah bicaranya. Dia sendiri masih tampak ingin melanjutkan kalimatnya. Dia tatap aku sangat lama. “Di dalam telepon, setiap kali kita berbicara, aku berharap kau ada di sampingku. Kau tahu, aku bahkan membayangkan kita melakukan hal-hal yang romantis, pekerjaan yang akan dilakukan oleh dua sejoli yang sedang dimabuk cinta. Pernahkah kau mempunyai keinginan untuk menciumku mesra sekali, atau ingin bersetubuh dengan aku?”

Ditanya begitu, aku malah gugup. Dia terlalu vulgar, dan itu membuatku merasa dia tahu isi kepalaku. Dia seolah-olah baru saja mengembara ke dalam tubuhku, mendatangi jantungku, berhenti sebentar di hatiku. Dia tahu persis semuanya. Mungkin, dalam pengembaraannya, dia juga sempat singgah di kepalaku. Di sana dia pasti melihat potret-potret bernama kenangan yang kubingkai, kugantung dengan rapih. Dalam potret-potret itu kami selalu berdua di tempat-tempat yang pernah kami kunjungi, dan pada setiap tempat aku selalu menyimpan keinginan yang luar biasa untuk mengecupnya bibirnya setelah sebuah persetubuhan yang indah.

“Aku tahu kau menghasratkan tubuhku kan,” katanya.

Aku tertunduk.

“Jangan merasa malu karena aku bisa menebak isi kepalamu.” Dia mendekatiku dan mendekatkan matanya ke wajahku. Dia menatap jauh ke dalam mataku. “Aku juga menghasratkan tubuhmu, tapi…..” Dia berdiri dan melangkah. “Kita tak akan pernah berhasil, karena aku tidak akan pernah berhasil dalam segala hal. Pekerjaan, cinta, rumah tangga, pertemanan….ah, aku selalu gagal.”

“Itu perasaanmu saja.”

“Perasaanku katamu. Semua ini nyata.” Mendadak nada bicaranya meninggi. “Kau tidak paham.”

Aku bilang aku paham.

“Kau tidak akan pernah paham.”

Dia tambah marah. Tanpa kata-kata dia meninggalkanku. Aku mengejarnya sambil meneriakkan namanya. Tapi tubuhnya menghilang, lalu muncul laki-laki paroh baya itu lagi. “Sinting. Dalam waktu singkat kau bermimpi tiga kali dan semua mimpimu bersambung,” katanya sambil menggeleng.

Laki-laki paroh baya itu duduk di sampingku, menatapku dengan sorot mata yang aneh. “Masalahmu pasti sangat kompleks.”

“Apa maksudmu?”

“Ssssst. Jangan berteriak begitu. Tak malu kau didengar semua orang.” Laki-laki paroh baya itu menebar tatapan. “Semua orang memperhatikanmu.”

Aku menebar tatapan. Di dalam bus, semua mata tertuju ke arahku. Aku tertunduk.

“Semua orang punya masalah dalam hidupnya. Ada orang yang tidak selalu berusaha menghindari masalah sepanjang hidupnya meskipun orang itu tidak mampu. Ada orang yang mampu mengatasi masalahnya. Ada juga yang pura-pura mampu menghadapi masalah. Tapi kau berbeda, kau justru menciptakan masalahmu sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Itulah masalahmu. Kau seharusnya mendengarkan kata hatimu, tapi kau selalu mengabaikannya.”

Aku menatap laki-laki paroh baya itu. Cara dia berbicara seolah-olah kenal betul dengan aku. Aku tak pernah merasa mengenalinya, kecuali hari ini. Dia selalu muncul setiap kali aku kehilangan seseorang dalam mimpi.

“Coba kau dengarkan hatimu bicara!” Dia menunjuk dadanya. “Di sini, kau tak akan pernah tersesat seperti sekarang.”

“Apa aku mengenalmu? Apa kau mengenaliku.”

“Kalau kau dengar hatimu, pertanyaan itu tak akan pernah kau ajukan.”

“Maksudmu?”

“Dengarlah hatimu!” Dia kembali menunjuk dadanya. “Di sini, tepat di sini.”
Aku menggeleng. “Sinting!”

“Cobalah!”

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Bus yang aku tumpangi telah memasuki Jakarta. Aku berpura-pura tidak menganggap kehadiran laki-laki paroh baya itu, tapi dia terus bicara.

“Nanti kau menyesal.”

“Kenapa kau begitu perduli.”

“Pertanyaan itu tidak akan kau ajukan kalau kau mau mendengarkan hatimu.”

“Memangnya kau siapa.”

Laki-laki paroh baya itu tersenyum. “Tidakkah kau lihat kemiripan di antara kita. Tidakkah kau sadar bahwa aku mengetahui banyak hal tentang dirimu.”

“Apa yang kau ketahui tentang aku. Dasar manusia aneh.”

“Akulah hatimu.” Suaranya berat dan ditekan. “Kalau bukan karena perempuan yang ada di rumahmu, aku tak akan pernah keluar dari dalam tubuhmu. Kau tahu perempuan itu? Dia seorang isteri yang setia, dia tahu suaminya berselingkuh dengan perempuan lain, tapi dia tidak marah karena itu. Setiap hari dia berdoa agar Tuhan membukakan pintu hatimu yang tertutup dan mabuk oleh perempuan itu. Dia tahajud, dia dhuha, dan dia mengadukanmu kepada Tuhannya agar hatimu dibukakan.”

“Kau mengada-ada. Jangan katakana bahwa aku sedang berbicara dengan diriku sendiri.”

“Ya. Kau berbicara dengan dirimu sendiri. Tuhan mengabulkan doanya. Aku dikelurkan dari dalam dirimu untuk mengingatkanmu.”

“Sinting.” Aku tertawa, tapi berhenti karena semua mata menatapku.

“Kau yang akan dikira sinting. Kau tertawa sendiri, berbicara sendiri. Orang-orang tidak melihatku, hanya kau yang bisa melihatku. Apa tidak terpikir olehmu kenapa selalu aku yang muncul setiap kali kau selesai bermimpi.”

“Aku yang membuat perempuan dalam mimpimu itu pergi.”

“Apa maksudmu.”

“Aku hasil doa isterimu. Aku mencoba membuka hatimu. Aku ingin kau menyadari kekeliruanmu. Kau menciptakan persoalanmu sendiri.”

Mendadak aku merasa terbakar. Laki-laki paroh baya itu betul-betul keterlaluan. Aku pikir dia harus diberi pelajaran. Aku bangkit dan melayangkan tin juku. Dia tidak apa-apa. Beberapa orang berteriak-teriak di dalam bus. Bus mendadak berhenti. Seseorang yang duduk di sampingku bertanya: “Ada apa denganmu, Pak? Kenapa kau memukuli dirimu sendiri.”

Aku terhenyak. Aku merasa semua mata menatapku. Aku merasa mereka menuduhku gila. Tapi perasaan itu tidak berlangsung lama, karena bus memasuki Terminal Kampung Rambutan. Orang-orang turun sambil menatap heran kepadaku. Aku turun belakangan karena merasa malu.

Di luar bus, aku tersentak. Percakapan dengan laki-laki paroh baya itu betul-betul memengaruhiku. Aku memikirkan kalimat-kalimatnya. Aku khawatir semua yang diucapkannya benar, tapi aku tak percaya semua itu terjadi. Bagaimana mungkin? Ah, aku coba menebar tatapan untuk mencari laki-laki paroh baya itu. Di antara sekian banyak manusia, tidak kutemukan sosoknya. Aku pun berhenti mencarinya. Aku berpikir semua itu tidak benar. Aku mencoba melupakannya.

Aku gugup dan buru-buru menaiki bus yang akan membawaku kembali ke Lampung. Tapi, lagi-lagi aku malah memilih bus yang membawaku ke tempat lain.

Selama di dalam bus, sosok laki-laki paroh baya itu kembali melintas. Kali ini sekelebatan saja. Dia seolah-olah berjalan di gang antaraa bangku penumpang, melintas di sampingku, lalu melirikku sekilas. Dia tidak berusaha menegurku, hanya memandangiku sekilas, lalu menghilang. Dia pun tiba-tiba muncul di jendela saat aku menoleh keluar, lalu tersenyum padaku. Aku juga melihatnya berdiri di pinggir jalan, lalu melambai kepadaku.

Aku tak mengerti bagaimana dia melakukan semua itu. Bagaimana dia bisa berada di banyak tempat? Aku mencoba membuang bayangan laki-laki paroh baya itu. Tapi, mendadak, seseorang yang duduk di belakangku mengguit bahuku. Dia membisikkan sesuatu. “Kau yakin akan tetap menemui perempuan itu?” tanyanya.

Aku membalik badan dan menemukan seorang perempuan paroh baya duduk di kursi tepat di belakangku. Lama aku berdiri memperhatikan perempuan itu. Aku baru berhenti ketika laki-laki di sampingnya menegur. “Ada apa, Mas? Ada yang salah dengan isteri saya?” tanyanya.

Aku gugup. Aku sandarkan kepala. Aku mencoba memikirkan apa yang sedang aku hadapi. Tanpa sadar aku tertidur. Aku bertemu dia lagi. “Kau begitu yakin hubungan kita akan berhasil,” tanyanya.

Aku mengangguk. “Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.”

“Cinta.” Dia tertawa. “Kau yakin yang tumbuh di antara kita ini adalah cinta.”

“Aku memupuknya. Aku menikmatinya.”

“Ya, kau pasti menikmatinya.”

“Apa maksudmu?”

“Kita dipertemukan oleh situasi yang sama. Hubunganku dengan suamiku sedang bermasalah, aku putuskan untuk pisah sementara, lalu kupilih tinggal di Jakarta untuk memikirkan apa yang salah dari caraku mengelola rumah tangga. Lalu kita bertemu, dan kau memberikan banyak hal yang tidak pernah kudapatkan dari suamiku.”

“Kau juga memberiku banyak hal. Kau membuat perasaan mencintaiku tumbuh begitu sempurna.”

“Kita merasa serasi. Kita merasa cocok antara satu dengan lainnya. Kita mendapatkan apa yang tidak kita peroleh dalam rumah tangga kita.”

“Bukankah itu bagus.”

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Bagus katamu.” Dia tertawa sinis. “Semua itu membuatku mengkhianati suamiku.”

“Bukankah dia juga mengkhianatimu. Kau sendiri yang bilang dia punya perempuan lain.”

“Apakah pengkhianatan harus dibalas dengan kejahatan serupa. Lantas, apa bedaku dengan suamiku.”

Aku terdiam.

“Kau paham maksudku.”

Aku bilang aku paham.

“Tidak. Kau tidak paham.” Dia mendengus. Tanpa kata-kata, dia meninggalkanku. Aku mengejarnya sambil meneriakan namanya. Tapi tubuhnya menghilang, lalu muncul laki-laki paroh baya itu.

“Kau percaya sekarang?” tanyanya.

“Apa?”

“Ah, kau payah. Kau belum mengerti juga rupanya.”

“Kau lebih payah. Jangan ganggu aku lagi!”

“Ya, sudah.”

Aku meminta kenek berhenti. Aku turun. Di pinggir jalan, aku berpikir keras. Apakah yang mendorongku datang? Apakah karena aku begitu menginginkan pertemuan dengannya, ataukah karena seperti kata laki-laki paroh baya itu.

Aku tak tahu. Tapi, sangat pasti, semalam dia meneleponku, dan aku terus-menerus memikirkan ucapannya. “Apa sesungguhnya yang terjadi di antara kita. Aku berusaha melupakanmu, tapi aku terus-menerus memikirkanmu. Apakah kau mengalami hal yang sama?”

“Ya,” kataku. “Aku sangat ingin bertemu denganmu.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu. Semakin kita sering berkomunikasi, semakin kuat keinginanku untuk menemuimu.”

“Apa yang akan kau lakukan setelah bertemu.”

“Seperti biasa, aku hanya ingin melihatmu. Mungkin kita akan bercakap-cakap tentang apa saja. Mungkin kau akan mengeluhkan tentang pekerjaanmu dan aku hanya mendengarkan. Mungkin…..”

“Aku memang membutuhkanmu.”

“Aku juga membutuhkanmu.”

“Tapi ini tidak baik.”

“Kenapa?”

“Kita sama-sama punya keluarga.”

Aku diam. Apakah dia sedang memikirkan hal yang sama seperti sedang aku pikirkan. Sungguh, aku menganggap hubungan kami sangat ganjil. Aku selalu merindukannya. Aku selalu ingin bersamanya. Padahal aku punya keluarga, seorang isteri dan seorang anak. Aku mencintai mereka, meskipun dalam banyak hak antara aku dan isteriku acap bertentangan.

Aku bingung. Tapi aku sudah berada di kotanya. Aku putuskan untuk mendatanginya. Aku putuskan untuk menjalani semuanya.

Aku mendatangi ke tempat tinggalnya. Aku yakin dia di sana, lalu aku ketuk pintu rumahnya.

“Sekarang aku di sini. Kau pasti kaget, karena aku sendiri sangat kaget,” kataku ketika dia membukakan pintu.

“Gila. Sinting. Bagaimana kau ada di sini?” Dia tidak percaya. “Aku baru saja memikirkanmu….”

“Kau suruh dulu aku duduk. Suguhi dulu aku minum. Kau lihat keringat di tubuhku? Aku jalan kaki ke mari.”

Ia menutup pintu. “Bagaimana kau bisa ke sini?”

“Entahlah. Tiba-tiba aku sudah di sini. Mungkin karena aku sangat menginginkan pertemuan kita.”

“Aku juga.” Dia menghambur ke pelukanku. “Aku sudah lama menyadari kalau kita punya ikatan batin yang kuat. Kau tahu, baru saja aku membayangkanmu mengetuk pintu rumahku, baru beberapa menit.”

“Apa yang kau bayangkan.”

“Aku sudah putuskan, kita menikah saja.”

Aku terhenyak. Laki-laki paroh baya itu tiba-tiba muncul di sampingku, menatapku, lalu menggeleng. Aku mengalihkan pandangan, mempererat pelukanku di tubuhnya.

Bandar Lampung, ii—2010

You May Also Like

0 #type=(blogger)