Anak Jalanan dan Altruisme Dewan
Oleh Budi P. Hatees
Dipublikasi di Radar Lampung | Rabu, 14 April 2010
Menjadi anggota DPRD Kota Bandar Lampung, juga wakil rakyat dimana pun, adalah menjadi seorang traveler (orang yang hobi bepergian) yang berbahagia: bisa pergi kemana saja tanpa harus merogoh kantong dalam-dalam.
Simpul semacam ini pastilah sulit diterima oleh para anggota DPRD Kota Bandar Lampung. Mskipun menjadi realistis jika dikaitkan dengan kecenderungan para politis partai politik ini untuk melakukan studi banding ke berbagai daerah setiap tahun. Seperti yang kini dilakoni Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Bandar Lampung yang membahas rancangan peraturan daerah tentang penanganan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
Mereka berangkat traveling ke Kota Bandung dan Kota Yogjakarta. Rombongan terdiri delapan anggota Pansus, satu orang dari unsur pimpinan, dan dua orang dari sekretariat DPRD Kota Bandar Lampung. Dalam perjalanan yang selama lima hari itu, dana APBD 2010 akan dipakai sebanyak Rp40 juta. Selama itu pula para wakil rakyat akan menelusuri titik-titik yang menjadi tempat berkumpulnya anak jalanan di Kota Bandung, lalu melenggang kangkung ke Kota Yogjakarta untuk menyaksikan unit pelayanan teknis daerah (UPTD) yang mengelola anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
***
SEMUA kegiatan anggota Dewan dalam menghabiskan dana APBD tampaknya selalu mendapat pembenaran. Traveling yang disebut studi banding ke Kota Bandung dan Kota Yogjakarta merupakan kegiatan yang menghabiskan dana APBD. Dana sebanyak Rp40 juta itu habis selama lima hari hanya untuk mengakomodasi kepentingan traveling delapan wakil rakyat.
Jika dana sebanyak itu dialokasikan untuk mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, sukar mengatakan bahwa dana itu tidak akan membawa pengaruh positif. Sebab itu, terhadap keputusan Pansus pergi ke Kota Bandung dan Kota Yogjakarta, bisa dibilang sebagai keputusan yang kurang mempertimbangkan masalah Kota Bandar Lampung akibat banyaknya anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
Keputusan traveling itu pengaminan atas egoisme kelompok wakil rakyat yang merasa sebagai entitas paling diharapkan untuk melegalisasi sebuah peraturan daerah tentang mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Tingginya ekspektasi eksekutif terhadap hasil kerja legislatif membuat para wakil rakyat merasa menjadi anak emas yang mesti dipenuhi semua keinginannya.
Padahal, tanpa pergi ke Kota Bandung dana kota Yogjakarta—karenanya tanpa harus menghabiskan Rp40 juta—akan lebih baik lagi apabila anggota DPRD Kota Bandar Lampung mengamati titik-titik tempat berkumpulnya anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang ada di Kota Bandar Lampung. Dengan melakukan observasi, para anggota Pansus akan paham masalah apa saja yang ditimbulkan kehadiran anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Wakil rakyat yang juga dipilih para gelandangan dan pengemis ini pasti akan mampu membuat variable juga indicator permasalahan yang ditimbulkan kehadiran anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
Persoalan yang ditimbulkan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis di Kota Bandar Lampung sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat umum dihadapi dan ditemukan di sebuah daerah perkotaan. Mereka merupakan entitas masyarakat yang selalu ada di lingkungan sebuah perkotaan, dan hampir tidak ada pemerintah daerah kota yang mampu menolak kehadiran entitas ini di lingkungan masyarakat. Bahkan Kota Bandung, bisa dibilang sulit mengatasi keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang berkeliaran di perempatan jalan dan beroperasi setiap kali lampu merah menyala. Konon lagi masalah yang ditimbulkan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang ada di Kota Yogjakarta meskipun pemerintah daerah di sana mencoba membuat solusi dengan mendirikan unit pelayanan teknis daerah (UPTD).
Artinya, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis senantiasa akan muncul di lingkungan sebuah kota. Mereka akan lebih banyak tumbuh apalagi bila kota itu tumbuh dengan derajat pemerataan kesejahteraan sosialnya sangat buruk. Jika kehadiran mereka di Kota Bandar Lampung semakin banyak, sangat mungkin kemunculan mereka karena ketimpangan kesejahteraan masyarakat sangat tajam. Perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat perkotaan inilah yang menjadi pendorong utama munculnya anak jalanan, gelandangan, dan pengemis.
Tingginya tingkat pengangguran usia produktif akibat rendahnya peluang kerja, punya andil besar terhadap perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat. Minimnya kesempatan dan peluang usaha baru akibat buruknya tata administrasi perizinan dan rendahnya akses permodalan atau pembiayaan, merupakan factor penting yang perlu solusi kreatif dari eksekutif maupun legislatif.
Sayangnya, eksekutif maupun legislatif cenderung memosisikan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sebagai sisi buruk dari realitas kehidupan di Kota Bandar Lampung yang mesti dihapus. Mereka tidak diposisikan sebagai entitas masyarakat yang butuh perlakuan sama dengan warga lainnya yakni sebagai penduduk Kota Bandar Lampung yang mengalami masalah sosial.
***
Pengalaman Pemda DKI Jakarta dalam menangani anak jalanan, gelandangan, dan pengemis tampaknya layak dipahami. Kepala Seksi Pelayanan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta, Ani Suryani, seperti diberitakan Kompas (21 Januari 2010), mengakui menyelesaikan persoalan anak jalanan bukan pekerjaan mudah. Pola pikir para orangtua dari kalangan ekonomi bawah ini masih menempatkan anak sebagai salah satu pencari nafkah. "Kami berikan modal usaha, habis. Misalnya, mau usaha gorengan, dikasih kompor, dan lain-lain, malah dijual. Katanya untuk makan. Mereka maunya yang instan. Mindset ini yang susah diubah. Kami perlu waktu," kata Ani Suryani.
Kendala serupa juga dialami di hampir semua kota besar. Di Kota Bandar Lampung, berbagai program untuk anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sudah dirumuskan dan diterapkan sejak lama. Salah satunya membangun rumah singgah dan mengefektifkan rumah singgah sebagai tempat pembinaan. Namun, hasilnya tidak memuasakan karena pengelola rumah singgah sangat tergantung terhadap dana yang digelontorkan pemerintah.
Apa yang telah sukses dilakukan Pemda Kota Semarang tampaknya bisa diadobsi. Pemerintah setempat mengatasi anak jalanan, gelandangan, dan pengemis dengan program "Semarang Bergandeng Tangan". Program ini menggugah altruisme (prososial) setiap anggota masyarakat agar setiap keluarga mampu menggandeng satu anak jalanan sebagai anak asuh. Walikota Semarang Sukawi Sutarip memberikan contoh nyata dengan mengangkat anak jalanan menjadi anak asuh yang jumlahnya ratusan, dengan membiayai pendidikan dasarnya. Cara ini ternyata efektif, yang menurut Pemkot lebih efektif guna mengurangi anak jalanan.
Altruisme atau sikap prososial bisa dipahami sebagai tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Artinya, untuk mengatasi anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, yang paling penting dilakukan adalah bukan mengelola objek yang ada tetapi meningkatkan peran subyek yakni eksekutif, legislative, dan masyarakat dengan cara menguatkan nilai-nilai altruisme mereka.
Munculnya anak jalanan, gelandangan, dan pengemis di Kota Bandar Lampung merupakan implikasi logis dari semakin menurunnya kualitas altruisme masyarakat. Perbedaan tingkat kesejahteraan yang begitu menyolok, membuat perbedaan sosial sangat tajam, dan kondisinya semakin parah ketika nilai-nilai prososial ikut tergerus. Pilihan para anggota Dewan traveling ke Kota Bandung dan Kota yogjakarta untuk menghabiskan dana APBD Rp40 juta salah satu bukti bahwa nilai-nilai prososial legislative sudah kritis. Konon lagi mengharapkan masyarakat bisa ikut berperan mengatasi masalah anak jalanan, gelandangan, dan pengemis ini. ***
0 #type=(blogger)