MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Sastrawan di Jejaring Facebook

Agus R. Sarjono, sastrawan yang sangat dikenal public sastra di negeri ini, membuat atas status di jejaring sosial Facebook dengan judul “Puisi Pertamaku Sebagai Penyair Facebook”. Puisi itu terdiri dari lima baris dan ditulis dalam bahasa Inggris, lalu dikaitkan (tag line) ke jejaring Facebook puluhan sastrawan.

Dalam hitungan menit, muncul ragam komentar atas puisi itu: memuji, mengkritik, menyanjung, dan ucapan selamat dengan ikon jempol. Ada sekitar 25 pengomentar. Semua pengomentar tak lain dan tak bukan adalah masyarakat sastra di negeri ini.
***
Bukan soal puisi itu yang akan saya bicarakan. Dalam dunia jejaring Facebook, setiap orang bisa menulis puisi seperti juga setiap orang bisa membaca puisi, ada atau tidak latar belakang puisi seseorang. Kata “bisa” di sini bukan berarti “menulis puisi dan membaca puisi itu gampang”. Kata “bisa” lebih bermakna bahwa jejaring Facebook telah mendorong setiap orang memiliki kesadaran tinggi untuk memanfaatkan medium yang ada guna berkomunikasi.
Puisi adalah salah satu bentuk cara berkomunikasi. Memang tidak universal, karena bahasa (diksi) syarat akan metafora. Tapi metafora puisi tidak jadi penghambat, karena komentar-komentar atas puisi dari orang lain (yang lebih menguasai penafsiran atas metafora dunia sastra) telah memaksa anggota jejaring Facebook untuk belajar memahami.
Facebook menjadi ruang pembelajaran sastra. Setiap sudut pandang para pengomentar, memiliki perspektif yang beragam, sehingga sebuah karya menjadi lebih kaya penafsiran. Sastra menemukan habitatnya di jejaring Facebook.
Di dunia media cetak (koran), penafsiran atas karya sastra cenderung tunggal. Penafsiran (kritik atau apresiasi karya sastra) yang terbit di Koran dalam bentuk esai, misalnya, lahir dari seorang penulis yang memosisikan pembaca hanya sebagai penerima. Tidak ada dialok atas karya yang muncul di koran itu, seolah segala sesuatu yang disampaikan telah final. Meskipun pekan berikutnya muncul tanggapan atas esai tersebut, hal yang sama kembali berulang.
Sastra di dunia Facebook tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan komentar. Dialog (interaksi) antara sastrawan dengan pembaca berlangsung dalam hitungan detik.
Kembali ke soal keputusan Agus R Sarjono mempublikasikan puisinya di jejaring Facebook. Kebutuhan akan dialog dan interaksi dengan pembaca, barangkali, salah satu factor yang mendorong Agus r Sarjono mempublikasikan puisinya.
***
Setiap hari, Facebook menyajikan karya sastra baru. Setiap hari anggota jejeraing Facebook dapat membaca karya sastra baru, bahkan dalam hitungan detik. Aktualitas sebuah informasi (sastra) melampaui pemikiran dan gagasan para ahli media massa.
Seorang sastrawan merasa belum cukup apabila tidak mengkomunikasikan karya terbarunya di jejaring facebook, meskipun karya itu sudah dipublikasikan di media massa. Tentu, yang diharapkannya bukan sekedar agar orang lain membaca—lebih banyak pembaca karyanya. Tapi, sebuah proses komunikasi, dimana terjalin interaksi langsung antara dirinya (sastrawan) dengan pembacanya. Ada dialok atas karya tersebut, sehingga seorang sastrawan mendapat ragam perspektif atas hasil kreativitasnya. Ada pujian, ada kritikan.
Semua perspektif menjadi berharga. Karya itu pun menjadi kaya. Motivasi sastrawan makin berbinar. Maka, terhadap pilihan sastrawan menyiarkan karya sastra di jejaring Facebook kita bisa menyebut sebagai upaya membangun personal branding di mata masyarakat Facebook.
Aktivitas di dunia jejaring sosial Facebook pada dasarnya aktivitas untuk melakukan personal branding. Seorang sastrawan yang karya-karyanya sudah muncul di dunia media cetak juga sejumlah buku, ternyata masih menyiarkan karya-karya di dunia Facebook. Terhadap sastrawan seperti ini, kita pantas angkat topi.
***
Tapi, tidak sedikit sastrawan yang kemudian jengah terhadap komentar orang lain, lalu memutuskan menghapus orang tersebut dari daftar pertemanan. Tentu, perbuatan menghapus orang lain dari daftar pertemanan dapat merusak branding yang sudah dibangun. Seharusnya, seorang sastrawan lebih siap atas realitas dunia jejaring Facebook, bahwa masyarakat di lingkungan ini tidak bisa dipaksakan harus menyukai semua yang kita hasilkan: karya, pemikiran, gagasan, idiom, frasa, metafora, dan lain-lain.
Ketika memutuskan mensosialisasikan karya di jejaring Facebook, hal pertama yang mesti dipegang: “pasti akan ada yang mengkritik.”
Nah, selama merayakan sastra Facebook, sastra branding.