Motivasi Jurnalisme

by - March 18, 2010

Gadis itu berpenampilan sangat menarik. Di lingkungan SMA dimana ia menjadi siswa, tidak sulit baginya untuk menjadi seorang primadona. Tanpa ia minta pun, orang akan menjadikannya primadona. Bukan cuma karena kecantikannya, tetapi juga karena kegiatan ekstrakurikuler yang dilakoninya selama ini.


Ia seorang pemimpin redaksi dari majalah intrasekolah yang dikelola oleh Organisasai Siswa Intra Sekolah (OSIS). Majalah yang tidak tebal dan sesungguhnya sangat sederhana bentuk fisiknya, terbit sekali sebulan. Setiap kali terbit, dibagi-bagikan secara gratis kepada para siswa.

Bukan karena gratis majalah itu dibaca para siswa. Seandainya para siswa harus mengeluarkan uang jajan untuk mendapatkan majalah itu, mereka pasti akan melakukannya. Karena majalah itu pantas untuk dibaca.

Di dalamnya senantiasa ada informasi seputar lingkungan sekolah, hal-hal yang sesungguhnya sudah diketahui oleh siswa. Tetapi informasi itu menjadi sangat menarik ketika disajikan dalam bentuk laporan jurnalistik di dalam majalah itu. “Entah bagaimana mereka melakukannya, yang jelas kami sangat tertarik untuk bisa melakukan hal serupa,” kata salah seorang siswa.

Itu pula yang menjadi alasan sebagian besar siswa di SMA itu untuk ikut pelatihan singkat jurnalistik. Segala seuatu tentang jurnalistik mereka awali dengan keterkaguman terhadap hasil kerja kejurnalistikan. Makanya, ketika saya datang ke SMA itu menawarkan pelatihan jurnalistik, mereka sangat antusias. “Kami malah berencana hendak membawa siswa ke kantor koran agar mereka lebih paham prosesnya,” kata seorang guru.

Saya punya jadwal khusus sekali dalam setahun menggelar pelatihan jurnalistik keliling sekolah-sekolah di Provinsi Lampung. Program itu didukung oleh perguruan tinggi di Jakarta yang ingin menjaring calon mahasiswa di Lampung. Saya sengaja memilih perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi beserta ilmu terapannya seperti Ilmu Jurnalistik, Ilmu Humas, Ilmu Broacast, dan lain sebagainya.

Pelatihan jurnalistik keliling sekolah ini biasanya menghabiskan waktu berbulan-bulan. Selama itulah saya dan beberapa rekan akan memberikan pelatihan, berdiskusi tentang kejurnalistikan, belajar menulis, belajar mendesain halaman koran, dan terakhir mempromosikan perguruan-perguruan tinggi sebagai alternative kampus yang bisa didatangi para peserta jika berminat menjadi ahli jurnalistik dan sebagainya.

Pada hari saya bertemu dengan pemimpin redkasi yang cantik itu, saya merasa tidak sekedar membagi pengalaman dan pengetahuan. Sebaliknya, saya juga mendapatkan banyak hal baru, yakni perihal minat yang luar biasa dari siswa-siswa SMA untuk lebih mengetahui hal-hal kejurnalistikan. Pertemuan-pertemuan itu pun acap saya pakai untuk mengukur motivasi para siswa SMA, juga mengukur hal-hal lain yang sesungguhnya belum seharusnya mereka pikirkan.

Saat itulah saya berbincang banyak hal dengan pemimpin redaksi yang cantik itu. Ia mengaku tertarik dengan jurnalistik diawali dari kebiasaannya menulis buku harian. Kalau sedang menulis buku harian, ia bisa melakukannya berjam-jam sampai lupa melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Ia menemukan keasyikan dalam menulis.

Saat menulis, ia akan menulis apa saja. Tidak melulu tentang dirinya, layaknya buku harian. Ia juga menulis tentang pedagang sayur yang melintas di depan rumahnya setiap pagi selalu pada jam yang sama. Ia juga menulis tentang kebiasaan kucing kesayangannya. Ia pun sangat piawai menulis tentang seluruh kawan-kawannya, menceritakan watak dan kebiasaan mereka dengan sangat rinci. “Saya mewawancarai mereka, karena saya khawatir isi tulisan itu nantinya fiktif,” katanya.

Saya Tanya apakah ia punya impian untuk suatu saat menjadi seorang jurnalis. Ia mengangguk, tetapi kemudian ia bilang: “Orang tua saya melarang.”

Ia pun bercerita streotipe yang dibangun orang tuanya tentang profesi jurnalis. Seperti sedang membuat daftar keburukan, orang tuanya pun menegaskan tidak akan pernah mendukung cita-cita itu.

Apakah semangatnya untuk belajar jurnalistik kemudian buyar?

Tidak. Apalagi setelah ia terpilih menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah. Semangatnya semakin menggebu. Saat saya bertemu dengannya, api semangat itu terlihat berkobar-kobar setiap kali saya bicara tentang kejurnalistikan. Lalu, tiba-tiba ia bertanya: “Betulkan seorang jurnalis seperti yang dikatakan ayah saya?”

Kalau saya mengatakan bahwa ayahnya tidak keliru, jelas saya tidak berbohong. Kalau saya katakana ayahnya keliru, saya pun tidak berbohong.

Tapi, karena ia memiliki motivasi yang kuat dengan semangat yang berkobar-kobar, saya memutuskan untuk tidak memadamkan semangatnya. Saya bilang padanya: “Ayahmu keliru.” Lalu saya jelaskan perihal profesi jurnalis, juga segala hal yang menguntungkan dari pekerjaan itu. Saya tidak lupa menjelaskan kondisi profesi jurnalis yang tidak akan membuat seseorang menjadi sejahtera. “Kalau kau ingin kaya materi, jangan menjadi jurnalis,” kata saya.

“Saya sudah kaya kalau materi,” katanya.

Saya paham maksudnya, karena sesungguhnya ia memiliki warisan dari ayahnya yang akan sulit habis seandainya ia tidak usah bekerja mencari nafkah. Ayahnya seorang pengusaha terkenal di Lampung dengan tingkat kekayaan yang luar biasa.

Namun, justru karena kondisi kekayaan orang tuanya itulah saya kemudian menjadi sangat khawatir atas semua penjelasan tentang kejurnalistikan yang baru saya ucapkan. Semua yang saya jelaskan adalah hal-hal yang idealis, padahal sesungguhnya hal-hal idealis tidak ada lagi dalam dunia profesi jurnalis. Hal-hal idealis itu hanya ada dalam kitab-kitab etika profesi.

Saya menatap gadis itu. Entah kenapa saya merasa telah menipunya. n





You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda