Rokok dan Bunuh Diri Perlahan-lahan
Oleh Budi P. Hatees
Satu-satunya hal yang paling saya sesali adalah menjadi perokok
---- Fuad Hasan
Upaya manusia untuk menemukan eksistensi diri dari hal-hal yang sesungguhnya membahayakan dan bahkan dapat menyebabkan kematian, baik secara cepat maupun secara perlahan-lahan, sangat sulit diterima dengan akal sehat. Tapi, jika dipahami dari perspektif filosofis bahwa manusia merupakan mahluk yang senantiasa memiliki pertentangan di dalam dirinya, kita bisa menerima realitas tersebut sebagai sisi paradaksol manusia.
Dengan alasan filosofis itu, kita bisa menerima kenapa seseorang memilih pekerjaan yang membuat adrenalin manusia lain memompa kencang karena mengkhawatirkan keselamatannya seperti seorang petugas pembersih kaca jendela gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Kita juga dapat menoleransi kenapa seorang pemanjat tebing sangat menyukai tebing-tebing licin dan datar yang justru bagi orang lain hal itu tidak mungkin dapat dipanjat. Rasa toleransi yang sama harus kita berikan kepada manusia yang memutuskan bekerja sehingga sendi-sendi tubuhnya terasa pegal dan linu hanya karena mengharapkan upah yang cuma cukup untuk membeli dua atau tiga bungkus mie instant.
Manusia bekerja mengharapkan mendapat upah karena upah itu merupakan sebuah bentuk kebahagiaan bagi dirinya, sekalipun untuk mendapatkan upah mesti menyakiti diri sendiri. Begitu juga dengan setiap orang yang memilih melakukan sesuatu hal meskipun orang tersebut menyadari betul bahwa pilihannya akan membawanya pada kematian pada suatu saat. Tetapi karena pilihan itu membuatnya menemukan kebahagiaan hidup, maka segala resiko dan implikasi dari pilihan itu tidak menimbulkan kerisauan bagi dirinya. Sekalipun pilihannya itu sangat mengganggu bagi orang-orang di lingkungannya, pilihan tersebut akan tetap dipertahankan karena dari pilihan itu ia telah menemukan kebahagiaan hidupnya.
Manusia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kebahagiaannya. Meskipun sesungguhnya, jauh di dalam dirinya ada penolakan-penolakan terhadap pilihan-pilihan cara mendapatkan kebahagiaan itu. Penolakan-penolakan itu, pertarungan yang keras antara yang baik dan benar; yang hendak dilakukan dengan yang sedang dikerjakan; yang dapat dimakan dengan yang ingin dimakan, berlangsung sangat keras. Dengan logika seperti inilah kita bisa menerima kenapa seorang yang begitu alim dan sangat religius dalam kesehariannya ternyata menjadi tersangka kasus korupsi. Memang, kita dapat membantah soal korupsi ini jika dikaitkan dengan dunia hukum formal di Indonesia yang penuh kebobrokan karena dikelola dengan sistem hokum yang tidak menutup diri terhadap intervensi politik. Tapi, perubahan dari seseorang yang alim dan religius menjadi seorang koruptor, dapat dengan mudah terjadi karena seseorang tidak membekali dirinya dengan sesuatu yang dapat menjadi penyimbang pertarungan-pertarungan yang muncul dalam dirinya.
Para agamawan tentu akan menganjurkan pada penguatan nilai-nilai agama bagi setiap individu, karena nilai-nilai itu sangat luhur dan dapat mengembalikan manusia pada fitrahnya sebagai hamba Allah. Pertanyaan justru muncul setelah kita melihat fakta dalam kehidupan politik, misalnya, dimana para elite politik yang sebagian besar berasal dari lingkungan sangat religius dan diposisikan oleh masyarakatnya sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat, ternyata menyediakan diri sebagai agen-agen pertarungan politik yang mengabaikan masyarakat konstituennya. Nilai-nilai agama tidak lagi menjadi ukuran bagi sebagaian besar orang terutama di tengah-tengah merebaknya hedonisme, karena kepentingan sangat individual dan kebahagiaan personal telah menjadi religiusitas baru bagi manusia moderen.
Hidup bahagia dan menyengsarakan orang lain saat ini sudah menjadi hal paling elementer dari kodrat manusia. Dalam pandangan Plato, hal semacam ini terjadi karena kehidupan indrawi manusia dipisahkan dari kehidupan akal budi. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan hidup bahagia, manusia lebih banyak mengandalkan kemampuan idrawinya, dan di sana tidak ada kehidupan akal budi. Kehidupan akal budi merupakan wilayah transendental, dan hal itu senantiasa akan membuat hidup bahagia menjadi sulit dicapai.
Bahaya Tembakau dan Merokok
Dengan cara seperti di atas, kita akan mencoba memahami mengapa seseorang merokok, berusaha berehenti merokok, kesulitan untuk berhenti merokok, dan tidak pernah berpikir untuk berhenti merokok. Sebelumnya akan disinggung kembali kenapa perihal merokok menjadi sangat penting di Indonesia akhir-akhir ini, setelah pada Januari 2009 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil. Fatwa MUI kemudian diikuti Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada 9 Maret 2010 lalu, yang menyatakan hokum rokok haram meskipun sebelumnya menyebut hukum merokok adalah mubah.
Kita abaikan soal MUI sebagai representasi ummat Islam di Indonesia, sebuah negeri yang bukan berazaskan Islam. Tentu, fatwa MUI itu tidak akan berarti apa-apa bagi ummat non-Islam. Sama halnya fatwa PP Muhammadiyah tidak akan berarti banyak bagi masyarakat Islam di luar PP Muhammadiyah. Kalau pun kemudian ada ummat non-Islam yang berhenti merokok setelah fatwa MUI dan PP Muhammadiyah itu, bukan berarti keputusan untuk berhenti disebabkan kepatuhan terhadap fatwa tersebut. Begitu juga halnya ummat Islam jika kemudian berhenti merokok, karena sesungguhnya fatwa itu tidak ada kaitannya dengan religiusitas seseorang. Dengan sangat ekstrem seseorang bisa saja mengatakan untuk menanggapi fatwa MUI dan PP Muhammadiyah bahwa “hingga saat ini belum ada satu manusia pun yang masuk neraka karena merokok”, meskipun kita sulit menerima pernyataan yang di luar logika rasional itu.
Sebab itu, soal fatwa MUI maupun PP Muhammadiyah kita kesampingan. Biarkan saja MUI dan PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa itu. Tidak ada larangan jika HKBP, Walubi, atau organisasi-organisasi agama lainnya melarang ummatnya merokok dan memberi sanksi kepada setiap ummat yang melanggar. Namun bukan berarti bahwa seseorang yang merokok akan pasti masuk neraka, meskipun sangat pasti bahwa seseorang yang menjadi perokok akan menderita suatu penyakit yang kemudian menjadi penyebab kematiannya.
Soal pengaruh rokok terhadap kesehatan tidak terbantahkan. Meskipun seseorang bisa saja mengatakan: “seluruh keluarga saya merokok, kakek saya merokok, ayah saya merokok, dan saya merokok, tetapi tidak seorang pun di antara kami yang menderita penyakit jantung atau paru-paru”. Karena secara medis, telah banyak ahli yang meneliti dampak rokok (tembakau) bagi kesehatan manusia. Bahkan, sebuah hasil penelitian yang dilakukan sejumlah ahli yang tergabung dalam World Lung Foundation and American Cancer Society Tembakau, memaparkan tembakau dapat menewaskan satu miliar orang pada abad ini apabila kecenderungan sekarang (merokok) berlangsung terus.
Pemakaian tembakau (kebiasaan merokok) menelan biaya global sebanyak 500 miliar dolar AS per tahun dalam bentuk biaya medis langsung, kehilangan produktifitas, dan kerusakan lingkungan hidup. Tembakau mengambil tempat potensi produksi makanan di atas lahan pertanian seluas hampir empat juta hektare di planet ini, sama dengan luas perkebunan jeruk atau pisang. Sebanyak 100 juta orang tewas akibat tembakau pada Abad 20. Tembakau bertanggung jawab atas satu dari 10 kematian di seluruh dunia. Perokok meninggal rata-rata 15 tahun lebih dini dibandingkan orang yang tidak merokok.
Penggunaan tembakau (perokok) akan menewaskan enam juta orang pada 2010 akibat penyakit kanker, jantung, bengkak pada paru-paru karena pembuluh darahnya kemasukan udara dan penyakit lain. Tembakau menewaskan sepertiga sampai separuh orang yang merokok. Risiko kematian akibat kanker paru-paru lebih dari 23 kali lebih besar pada pria yang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok dan 13 kali lebih tinggi pada perempuan yang merokok. Penggunaan tembakau akhirnya akan menewaskan 250 juta dari seluruh remaja dan anak-anak saat ini.
Mereka yang akan mati karena rokok sekaligus mereka yang akan menyebakan orang lain mati karena rokok adalah satu miliar pria merokok, 35 persen pria di negara kaya dan 50 persen pria di negara berkembang. Sebanyak 250 juta perempuan merokok setiap hari, 22 persen di negara maju dan 9 persen perempuan di negara berkembang.
Salah satu diantara perokok itu adalah kita. Salah satu diantara manusia yang akan mati karena rokok itu adalah kita. Salah satu di antara manusia yang akan menjadi pembunuh manusia lain –anak-anak, remaja, dan generasi bangsa—adalah kita.
Simalakama Industri Rokok
Inilah paradoksal manusia. Meskipun banyak penelitian yang menegaskan bahwa merokok merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan-lahan sekaligus pembantaian generasi manusia dalam bentuk perlahan-lahan, manusia tetap saja merokok karena menemukan kebahagiaan di sana. Bagi sebagian besar perokok, merokok adalah kebahagiaan. Karena merupakan kebahagiaan, tidak sedikit orang yang mengaitkan merokok dengan hak asasi manusia, sehingga tidak boleh dihilangkan sebagaimana hak manusia yang paling mendasar yakni hak untuk hidup.
Bagi para pengusaha pabrik rokok manusia seperti itu adalah konsumen yang mesti dirawat sebagaimana para entrepreneur merawat jaringan distribusi dan segmentasi dari produk-produk usahanya. Manusia seperti itu adalah gemerincing uang yang ditabung dalam deposito, yang membuat harga saham perusahaan berada dalam daftar list paling atas dan selalu menjadi favorit para pemburu rente ekonomi. Mereka akan mengupayakan apa saja, bahkan jika dimungkinkan menemukan sebuah zat yang dapat membuat manusia kecanduan terhadap tembakau, mereka akan memasukkan zat itu sebagai campuran racikan rokok. Meskipun sebetulnya, banyak dari pemilik perusahaan rokok yang bukan seorang perokok.
Di Indonesia, sesuai hasil penelitian Lembaga Penanggulangan Masalah Merokok (LM3), jumlah konsumen pabrik-pabrik rokok menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar nomor ketiga dari seluruh negara yang ada di dunia setelah China dan India. Sebanyak 48 persen perokok di kawasan ASEAN atau Asia Tenggara terdapat di Indonesia. Secara global, pada tahun 2008 terdapat enam juta kematian akibat rokok dan jumlah tersebut akan meningkat menjadi 10 juta kematian pada tahun 2030.
Data itu menjadi alasan kuat kenapa industri rokok begitu berkembang di negeri ini. Sampai pada tataran ini, menjadi semakin jelas bahwa sesungguhnya upaya para perokok mendapat kebahagian dari merokok bukanlah hal yang berdiri sendiri. Upaya itu dipermudah dan diwujudkan oleh industri-industri rokok yang begitu berkembang di negeri ini, yang perkembangannya mampu melahirkan sebuah fenomena fantastis terkait sumbangan cukai tembakau terhadap devisa negara. Bahkan, sejumlah pemerintah daerah seperti Nusa Tenggara Barat sangat menggantungkan pendapatan asli daerahnya dari bagi hasil cukai tembakau, sama persis seperti daerah-daerah yang memiliki industri rokok.
Besarnya harapan pemerintah daerah terhadap bagi hasil cukai tembakau itu ikut acap menjadi pembenaran bagi para perokok untuk tetap merokok. Tapi cara berpikir seperti ini hanya akan menunjukkan betapa manusia tidak menyadari bahwa urusan manusia tidak semata-mata berurusan dengan dunia fisik. Manusia harus tetap menyadari bahwa dalam urusan mencapai kebahagiaannya, manusia harus mengandalkan metode introspeksi diri yang akan membawanya pada usaha mengenali diri, sehingga sampai pada kesadaran bahwa seseorang tidak bisa hidup seorang diri dan mengabaikan lingkungan di sekitarnya. Kebahagiaan seseorang harus didapat dengan cara yang sama seperti manusia menilai manusia lain dari sisi kesadaran manusia bersangkutan.
Ketika seorang perokok merasa mendapat kebahagiaan dengan merokok, maka kebahagian itu harus mempertimbangkan manusia lainnya yang ada di lingkungannya. Sebuah solusi yang tepat apabila banyak tempat dijadikan sebagai daerah bebas asap rokok seperti yang muncul di beberapa kota di Indonesia, tapi menjadi bukan keputusan yang baik ketika sejumlah tempat seperti ruang tunggu bandar udara menyediakan tempat khusus bagi para perokok. ***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda