Endapan dalam Kepala

by - March 12, 2010

Seorang marketing, harus seperti binatang undur-undur. Kita selalu melihat apa yang dilakukan sebagai kemunduran, tetapi sesungguhnya ia sedang melangkah jauh lebih maju.


Ke rumah saya di sebuah kompleks sederhana di kawasan Rajabasa, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, acap datang orang-orang—biasanya perempuan muda atau laki-laki muda—tetapi bukan untuk bertamu. Pintu rumah yang senantiasa saya larang dikunci pada siang hari, rupanya mereka terjemah sebagai simbol keterbukaan dan penerimaan penghuni rupa terhadap pendatang. Harus saya akui bahwa mereka sangat paham nilai tradisi yang saya bawa dari kampung di Sumatra Utara dan saya tradisikan kepada semua anggota keluarga, meskipun sesungguhnya mereka hanya menebak-nebak berdasarkan logika kebiasaan dan kewajaran.

Ketika mereka datang, saya menangkap kesan bahwa mereka ingin diperlakukan seperti tamu. Karena itu, saya selalu memperlakukan mereka sebagai tamu, menyambut mereka di pintu sambil mengumbar senyum. Mereka ramah, teramat ramah. Saya senang betul. Namun belakangan saya tahu segala keramahan itu muncul karena ada hal yang mereka harapkan dari saya; berusaha mengubah saya, juga persepsi saya, menjadi konsumen dari produk-produk industri yang mereka bawa.

Orang-orang itu—biasanya perempuan muda atau laki-laki muda—mungkin dilahirkan ke atas dunia ini sebagai manusia yang obsesis. Ketika mereka inginkan suatu hal, mereka akan melakukan apa saja agar keinginan itu tercapai. Saat mereka menginginkan agar saya membeli produk-produk industri yang mereka bawa—dengan demikian mereka berusaha mengubah saya menjadi konsumen, termasuk mengubah persepsi saya tentang konsumerisme—sebetulnya mereka tidak pernah mengatakan: “Beli barang saya, Pak!”

Saya baru menyadari, tentu setelah mereka pergi, bahwa sejak pertama kali mereka datang, mereka hanya mengumbar hal-hal baik dan terbaik dari produk-produk industri yang dibawa. Tanpa pernah meminta saya agar membeli produk-produk itu, mereka berbicara sangat lancer, cerdas, dan terlihat begitu menguasai. Sekali-sekali mereka memuji-muji saya dan saya yakin mereka sangat paham bahwa orang seperti saya sangat cepat terlena oleh pujian.

Pujian-pujian itu sering tidak ada kaitannya dengan produk-produk industri yang mereka bawa. Dan saya memang kemudian merasa tersanjung, lalu bersikap lebih lembut, kemudian bercakap-cakap tentang produk-produk industri yang mereka bawa. Saat itulah saya berpikir keras bahwa sesungguhnya mereka sangat piawai mengubah saya, terutama persepsi saya, sehingga mau meluangkan waktu sekedar melihat bawaan mereka.

Sering betul, setelah puas bercakap-cakap, mereka berpamitan. Tetap saja tidak pernah ada pembicaraan bahwa saya harus membeli produk-produk itu. Mereka berpamitan dengan cara yang sangat ramah, tidak jarang ada yang mendoakan semoga saya mendapat limpahan rezeki. Saya hanya bilang “amin” dengan sungguh-sungguh.

Setelah mereka pergi, saya pun melupakan mereka dengan cepat. Kesibukan membuat saya tidak mengenang sepotong kata pun yang pernah kami perbincangkan.

Namun, setelah beberapa pekan kemudian, misalnya ketika aliran listrik dari PLN padam, segera ingatan saya kembali pada percakapan dengan salah seorang dari orang-orang yang datang ke rumah. Saat itu ia membawa bermacam-macam lampu emergency, mulai dari berbentuk senter sampai berbentuk lampu petromak yang klasik. Dari segi desain, lampu-lampu itu terlihat cantik. Desain itulah yang kami perbincangkan saat ia datang, dan ia menjelaskan dengan sangat piawai bahwa hasil desain itu telah melampaui berkali-kali uji coba.

Lalu percakapan kami beralih pada hal ahwal ketekunan seseorang untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai tinggi dengan cara melakukan uji coba demi uji coba. Lampu emergency, kata dia, termasuk produk yang lahir dari uji coba demi uji coba yang entah keberapa sehingga menghasilkan yang ada sekarang.

Begitulah, saat itu, saya tidak terpikir untuk membeli sebuah lampu emergency meskipun saya mengagumi desain dan teknologinya, dan saya tidak punya lampu seperti itu. Ia pun tidak pernah meminta saya untuk membeli lampu itu.

Tapi, ketika listri dari PLN padam, saya baru menyadari bahwa seharusnya saya membeli sebuah lampu emergency. Jika saat itu saya membeli sebuah lampu emergency, sangat pasti ketika aliran listrik PLN padam, saya tidak perlu lagi mencari-cari dimana meletakkan lilin atau tidak perlu memeriksa apakah masih ada minyak tanah pada lampu templok.

Tapi saya tidak membeli sebuah lampu emergency, dan saya tidak memilikinya. Maka, saya menjadi kesulitan mencari lilin ketika gelap datang memerangkap. Saat itulah saya menyesal kenapa tidak membeli lampu emergency, kemudian berharap agar besok atau lusa orang itu datang lagi.

Besok harinya, orang yang membawa lampu emergency itu tidak datang. Saya tetap menunggu. Dua hari kemudian, ia tetap tidak datang. Saya tidak bisa lagi menunggu karena lampu emergency itu dibutuhkan. Lalu saya pergi ke sebuah toko yang menjual lampu emergency, dan saya baru sadar nama toko itu saya dapat dari orang yang datang membawa lampu emergency.

Ketika saya merasa butuh lampu emergency, semua pembicaraan dengan orang yang membawa lampu emergency itu terbongkar kembali.

Saya menjadi sadar bahwa orang itu, mereka yang datang ke rumah saya, sesungguhnya memang tidak ingin meminta saya membeli produk-produk industri yang mereka bawa. Mereka, menurut saya, hanya menginginkan satu hal: mengendapkan sesuatu tentang produk-produk industri itu di dalam ingatan saya dengan cara yang sangat luar biasa.

Saya kemudian mengangguk karena kagum. Betapa luar biasanya mereka, orang-orang yang datang membawa produk-produk industri itu, sementara saya acap merasa sangat tidak menyukai ketika mereka muncul. Kalaupun saya menemani mereka mengobrol, semua itu saya lakukan hanya karena tidak ingin mereka memunyai kesan bahwa saya sombong.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda