Cerita (2)
BAGIAN IV
Ia benci jika gambaran yang dibuat tentang suatu tempat tidak seperti kenyataan. Lihatlah Lampung! Ia terlanjur menggambarkannya sebagai sebuah provinsi yang tidak kalah dengan Jakarta. Ternyata keliru. Lihatlah Kota Bandar Lampung, ibu kotanya. Sebuah kota, katanya. Tetapi ia merasa tak sedang berada di tengah-tengah sebuah kota. Segalanya lebih mirip desa, atau sesuatu yang terlihat seperti sebuah kota.
Ketika Atu Yunita mengajak ke kampusnya, sepanjang perjalanan dari rumah, ia tebar tatapan. Tidak ada satu tanda pun yang membuat tempat ini pantas disebut kota. Jalan-jalan sempit dan jorok. Bangunan-bangunan tumbuh tanpa ditata, ruko-ruko sepanjang jalan dan sebagian besar masih kosong. Jalanan senantiasa penuh oleh orang menyeberang. Sembarangan. Angkutan kota berhenti sesuka sopirnya. Caci-maki terlontar begitu saja dari mulut sopir-sopir dan pejalan kaki. Sangat mudah. Sangat wajar. Ia tidak mengerti kenapa tidak seorang pun punya kesabaran lebih. Mereka seakan asing antara satu dengan lainnya. Seperti orang baru dengan orang baru. Tak saling mengenali.
“Ini kotamu. Begini kotamu, Atu?” Ia sampaikan penilaian itu kepada Atu Yunita. “Desa sudah lewat, kota belum sampai.”
Atu Yunita tersenyum. Di belakang setir, Atu Yunita terlihat lain. Aura kedewasaan memancar dari sosoknya, mungkin karena Atu Yunita mengenakan kerudung dan stelan serba merah jambu. Begitu ceria.
Ia tidak pernah begitu dekat dengan gadis berkerudung selama ini. Di kampus lama, Universitas Indonesia, gadis-gadis berkerudung selalu terlihat mengelompok. Ia merasa mereka punya cara pandang lain terhadap dirinya, mungkin ia tidak masuk dalam kategori mereka. Mereka menggeneralisir anak orang-orang kaya seperti dirinya ke dalam kelompok manusia yang tidak layak didekati. Bagi mereka, seolah-olah yang ada dalam pikiran anak orang kaya hanyalah kesenangan. Kemewahan. Mereka mengambil jarak. Seakan anak-anak orang kaya tinggal di dua dunia yang bertolak-belakang.
Memang kesalahan ada padanya. Ia tidak pernah berusaha untuk dekat. Tapi, sebetulnya ia tidak pernah berusaha dekat dengan gadis manapun. Ia asyik dengan dunia sendiri. Dengan kawan-kawannya. Entahlah. Ia tidak pernah berpikir soal hati. Tidak pernah serius. Bukan takut. Ia cuma punya keisengan. Ada kalanya Bennyny, Tom, maupun Rio memanjakan keisengan-keisengan. Terutama Bennyny, ia sering menantangnya. “Elu lihat cewek itu!” kata Bennyny suatu hari saat mereka kumpul di halaman kampus. “Yang baru turun dari Honda Jazz merah itu.”
Mereka memandang ke arah Honda Jazz merah yang baru berhenti di lapangan parkir. Seseorang keluar dari dalam, Clara. Dalam stelan serba ketat, Clara seperti etalase tonjolan tubuh. Ia mengenal Clara dengan baik. Anak bankir di sebuah bank pemerintah. Bankir yang sukses. Seorang gedongan. Kabar terakhir, nama ayahnya tersangkut kasus kredit macet seorang pengusaha yang juga anggota DPR RI. Tapi, entahlah, kabar dari para wartawan sulit dipegang keBennynyarannya. Clara pun tidak terpengaruh. Masih seperti biasa, datang ke kampus, berjalan seperti etalase. Gadis itu seolah-olah ingin menunjukkan seluruh aset keluarganya.
Ia tidak begitu dekat dengan Clara, meskipun sering mengajaknya ngobrol. Beberapa kali mereka mengambil mata kuliah yang sama. Tidak jarang sebangku. Tapi, Clara bukan tipenya. Di kepala Clara tidak ada mata kuliah. Hanya ada gaya hidup. Kemewahan-kemewahan. Bahkan terlalu mewah. Sulit diraih. Dan, ini yang penting, tidak cerdas.
Bennyny memberi isyarat. “Kalau kau bisa mengajaknya keluar malam ini, aku siap menjemput ke rumahmu setiap pagi,” kata Bennyny.
Ia paling suka ditantang. Ia selalu ingin menguji kemampuan. Mendekati Clara, mengajaknya keluar malam ini. Ia tidak melihat ada kesulitan untuk itu. Ia mengangguk. Teman-teman bertepuk.
“Deal!” kata Benny.
Dan Benny, seperti ia duga, Clara berhenti di hadapan mereka. Sebuah senyum ia sodorkan. Manis. Clara memang manis. Anugerah Tuhan. Adakah orang yang mau menyia-nyiakannya. Cepat ia tangkap senyuman itu. Hups! Dapat. “Ada kuliah hari ini?” sapanya.
Clara menggeleng. “Kebetulan bertemu elu. Hari ini gue bete banget. Temenin gue dong.”
Ia melirik Bennyny, Rio, Tom, dan gank lainnya. Mereka memberi isyarat jempol. Siip. Tapi, kalau bukan karena tawaran Bennyny, ia tak akan mau jalan dengan Clara. Ini ajakan kesekian kalinya dari Clara. Sebelumnya ia selalu punya alasan untuk menolak. Sekarang, biarlah Clara merasa menang. Itu artinya ia menangkan tantangan Bennyny. Lagi pula apa salahnya ia temani. Cuma sebatas itu. Tidak lebih.
Tapi, seperti ia duga, sejak itu Clara merasa ia sebagai belahan jiwanya. Dasar! Ia sendiri tidak merasakan apa-apa. Seperti orang lain, Clara baginya cuma teman. Tidak lebih.
Sejak kasus Clara, Bennyny, Rio, Tom, dan anggota gank lain, berturut-turut menantangnya. Fina, Nani, Shintya, Rahma, Cici, Warni...ah, terlalu banyak nama yang telah jadi korban. Seperti Clara, mereka juga terlanjur memupuk harapan. Tapi, ketika mereka sudah merasa yakin, ia justru tidak memperdulikan. Ia tidak terlalu memikirkan soal itu. Ia mendekati mereka semata karena pertaruhan, permainan yang acap mereka mainkan. Ia tahu ia pasti menang, karena cewek-cewek di kampus tahu persis siapa dirinya; anak seorang konglomerat. Itulah yang mereka lihat, dan ia tidak pernah melibatkan perasaan untuk perkara itu.
Lalu gosip itu pun muncul. Entah siapa biangnya. Tiba-tiba ia diberi cap itu: playboy kampus. Betapa hebat. Sejak itu ia mengalahkan popularitas Burhan di kampus. Burhan, bintang sinetron itu, yang sinetronnya jadi ikon para remaja, tak ada artinya di hadapannya. Ia menjelma seperti magnet bagi cewek-cewek. Sering ia tak berpikir apa-apa, tiba-tiba ada yang datang. “Elu emang oke, Bram. Mau nggak elu jadi temen gue.”
Astaga! Magnet yang dasyat. Ia tidak melambung. Ia tetap di bumi. Berpijak. Ia berusaha seperti bumi dengan bulan. Magnet bumi selalu menjaga jarak agar bulan tak terlalu dekat. Tapi cahayanya menyinari bumi. Ia dikelilingi banyak bulan. Nyala mereka membuat ia menyala. Cihuiiii!
“Hoi, turun!” Suara Atu Yunita membuyarkan semuanya. Buru-buru ia turun. Menebar tatapan. Kampus Universitas Lampung. Betulkah!? Pohon-pohon tinggi, gedung-gedung tua. Inikah kampus? Tak terbayang tempat seperti ini disebut kampus. Mana para mahasiswanya? Jalanan lengang. Mobil-mobil memenuhi pinggir jalan. Memakan sebagian badan jalan. Ruwet.
Atu Yunita membawanya melewati gang antargedung. Tidak ada taman. Cuma rumput-rumput yang tak hijau. Sekali-sekali mereka berpapasan dengan mahasiswa. Tak lama kami memasuki sebuah gedung. Sedikit agak lebih tinggi dibanding gedung-gedung lain. Di dekat pintu tertulis “rektorat”. Atu Yunita tidak banyak bicara. Tak banyak cerita, seperti memberi kesempatan kepada agar ia mengenali semua tempat.
Ketika mereka memasuki ruang administrasi, Atu Yunita menyuruhnya menemui perempuan paroh baya di bagian administrasi. Sambil memperbaiki letak kaca matanya, petugas administrasi itu bertanya: “Kau bawa berkas-berkasmu?” Suaranya lembut. Nyaris tidak terdengar.
“Apa, Bu?”
“Berkasmu.” Atu Yunita menjelaskan.
***
Sambil berkonsentrasi pada setir, Atu Yunita mengajak ngobrol tentang dirinya. Ia tak suka tema percakapan itu. Entah sudah berapa kali ia jelaskan, tetapi Atu Yunita seolah-olah tidak puas, terus berusaha ingin tahu banyak hal, juga hal-hal pribadi. Ia tidak akan bersikap terbuka. Atu Yunita tahu ia berusaha menutupi soal pribadi. “Kamu nggak adil. Gue sudah cerita banyak, tetapi kamu tetap menutup diri,” katanya.
Memang, Atu Yunita banyak bercerita tentang dirinya. Semua kegiatannya. Keterlibatannya di kelompok diskusi, organisasi intrakampus, organisasi ekstrakampus, dan segudang kegiatan lainnya. Tak ketinggalan kegemaran.
Atu Yunita seorang pemain teater. Ia menyodorkan kliping-kliping koran berisi berita pementasan kelompok teaternya. Dengan teater pula ia mengililingi sebagian kecil Nusantara.
Atu Yunita menceritakannya sendiri tanpa diminta. Ia tahu Atu Yunita sedang berusaha bersikap terbuka karena ingin agar ia bersikap serupa. Tapi ia tidak bisa. Ia sangat tertutup. Entahlah. Ada perasaan tidak enak menceritakan diri sendiri. Ia ingin orang lain tahu tentang dirinya dari orang lain. Bukan dari dirinya sendiri. Lagi pula, ia merasa tidak banyak hal yang bisa diambil dari dirinya. Hidupnya sangat kering. Kurang kasih sayang. Tidak banyak aktivitas. Ia hanya punya kawan akrab, berkumpul dengan mereka, dan menghabiskan banyak waktu di café-café di Jakarta.
Ia tidak pernah ikut kegiatan di kampus. Tidak pernah masuk organisasi intrakampus maupun ekstrakampus. Ia tidak merasa hal itu begitu penting. Sebaliknya, ia merasa semua itu sia-sia. Baginya, mahasiswa seharusnya cuma memikirkan belajar, bukan politik. Soal politik, bisa dipikirkan nanti setelah kuliah selesai. Terserah kalau mau jungkir-balik di dalam politik.
Meskipun begitu, ia tidak pernah menjauh dari teman-teman aktivis. Ia berteman dengan mereka. Sebagian dari mereka sudah menjadi teman sejak masih SMU. Berteman, cuma sebatas itu. Tidak terlalu dekat. Ada yang aneh baginya pada cara mereka berpikir. Barangkali lantaran terlalu memikirkan politik, mereka terlibat di dalamnya. Mereka, entahlah, merasa seolah-olah telah menjadi politisi. Berpikir seperti politisi.
Ia ingat betul, dulu ayah pernah ikut partai politik. Cuma untuk mencari kesibukan. Ibu melarang dengan alasan politik dapat merusak seseorang. Ayah tidak perduli, malah marah sama ibu, tetap saja ikut partai politik. Namanya masuk sebagai calon anggota legislatif. Sebelum daftar nama calon legislatif diumumkan, ayah sangat bangga dengan pencalonan itu. Ketika daftar nama diumumkan ke publik dan ayah ada pada nomor ke-7, semuanya langsung berubah. Politik menjadi musuh utama ayah. Mula-mula ayah bisa bersikap tenang. Apalagi penjelasan dari ketua partai sangat melegakan hatinya. Semua nomor itu bakal jadi anggota legislatif. Sesuai peraturan partai politik, setiap anggota legislatif akan melakukan pergantian antarwaktu. Ayah berpikir, suatu saat ia akan menjadi anggota legislatif sesuai pergantian antarwaktu. Tapi kemudian ayah berubah pikiran. Ayah protes kepada ketua partai politik dan meminta namanya jadi calon nomor atas. Ayah protes karena ia terlanjur membayar mahal untuk mendapatkan nomor paling atas. Orang-orang partai politik tidak perduli. Ayah memutuskan keluar dari partai politik itu.
Politik bagi ayah cuma untuk mengisi waktu senggang. Bukan ayah saja, bahkan sebagian besar politisi. Tidak ada seorang pun yang masuk partai politik memang untuk berpolitik. Banyak yang ingin masuk karena tidak punya pekerjaan. Padahal politik bukan badan usaha, dan tidak pernah ada partai politik yang membuka lowongan kerja. Entah, apakah kawan-kawan aktivis mahasiswa tak tahu soal ini. Mungkin tahu, tetapi justru karena itulah mereka terlibat dalam politik.
Politik bukan cita-cita, melainkan naluriah. Di kampusnya setiap mahasiswa berpolitik. Kata mereka, mahasiswa tidak boleh tinggal diam melihat kenyataan pahit di lingkungannya. Padahal tak ada yang bisa diubah mahasiswa. Semua yang sudah terjadi, tetap terjadi. Dulu, mahasiswa banyak mengubah kondisi negara ini. Tapi sekarang, mahasiswalah yang dituntut berubah. Menyesuaikan diri dengan kondisi negara ini. Kalau tidak...ah, seharusnya mahasiswa tahu soal ini.
Dugaannya bahwa para aktivis mahasiswa itu tidak tahu politik semakin beralasan. Politik baginya hanya omong kosong. Suatu hari, ratusan mahasiswa turun ke jalan memprotes kenaikan harga BBM. Dadang, teman waktu SMU, ketua organisasi ektrakampus, memimpin demontrasi itu ke gedung DPR RI. Dadang terlihat begitu bersemangat. Berpidato di hadapan mahasiswa di halaman Fakultas Hukum, seolah-olah seluruh kalimat yang dilontarkannya mengeluarkan api. Ia bilang mahasiswa bisa mengubah kebijakan pemerintah. Para mahasiswa pun tersanjung. Bersorak. Bertepuk tangan. Beramai-ramai mereka bertolak menuju gedung DPR RI. Menaikki dua bus yang disandra di depan kampus.
Ia dan kawan-kawan cuma menonton. Mereka tidak mau terlibat. Mereka berpikir ini sia-sia. Ini politik. Dan Bennynyar, dari ibunya dapat kabar, beberapa rekan pebisnisnya mengumpulkan dana untuk membiayai aksi mahasiswa menentang kenaikan harga BBM. Kebijakan pemerintah itu berdampak langsung terhadap bisnis mereka. Biaya produksi jadi tinggi. Jika tidak diprotes, para pebisnis akan mengurangi jumlah karyawananya untuk mengurangi biaya produksi. Itu risiko paling fatal. Jika tidak, perusahaan-perusahaan akan banyak gulung tikar. Jelas, para pebisnis tak mau risiko terakhir ini. Kalau harus mengambil risiko, mereka lebih memilih melakukan pemutusan hubungan kerja.
“Kau ikut dalam aksi itu, Bram?” tanya ibu.
Ia menggeleng.
“Kenapa? Kau kan akrab dengan Dadang. Dia yang mengkoordinir aksi itu.”
“Dadang?”
“Dia mendatangi ibu, meminta ibu mengkoordinir rekan-rekan pebisnis untuk membiayai aksi mereka.”
Dadang, ah.... Aktivis mahasiswa yang selalu terlihat bersih itu, ternyata tidak ada apa-apanya. Semua aksi itu hanya untuk uang. Ia menemui Dadang sehari sesudah mereka bertolak ke DPR RI dan televise mengutif ucapan Dadang dalam tayangan durasi lima detik. “Salam dari ibu,” katanya. Dadang tersenyum.
Kawan-kawan lain tidak tahu soal perilaku Dadang. Ia tidak mau menceritakannya kepada siapapun, tak ingin membuat Dadang malu. Dadang tahu, ia paling tak suka menceritakan keburukan orang lain.
Atu Yunita menyentuh pundaknya. “Kedengarannya masa mahasiswa kamu sangat kering?” Atu Yunita menyimpulkan. “Tak pernah ikut kegiatan kampus, tak tahu rasanya demontrasi, tak....”
“Sudahlah!” Ia memotong. “Untuk apa saya lakukan semua itu. Banyak contoh para aktivis mahasiswa yang dulu bergitu menggebu, setelah jadi pejabat....”
“Itu contoh buruk. Kenapa harus diikuti.”
“Bangsa kita ini tidak punya contoh baik. Coba Atu sebut satu nama yang bisa jadi contoh baik. Bahkan tokoh-tokoh Malari saja tidak bisa dipercaya.”
“Maksudmu.”
“Banyak dari mereka yang jadi pejabat sekarang. Watak mereka sama persis dengan pejabat yang pernah mereka protes. Anti-kritik.”
“Banyak juga yang menolak jadi pejabat.”
“Bukan menolak, tetapi tidak punya kapasitas. Kalau punya, mereka tidak akan jauh berbeda. Lagipula yang tidak bisa jadi pejabat, tetap bekerja seperti mahasiswa. Kalau terlihat kritis, sikap itu karena ada yang bayar. Mana aktivis pro-demokrasi saat reformasi bergulir. Banyak dari mereka yang jadi peliharaan pejabat sekarang.”
“Di Lampung juga ada aktivis pro-demokrasi zaman reformasi. Dia masih bersikap kritis, bukan peliharaan pejabat.”
“Atu nggak dengar, terkahir dia diangkat jadi Komisaris PT Pos Indonesia karena dekat dengan presiden.”
“Komisaris. Masa iya.”
“Ya. Sebuah jabatan dimana seseorang tinggal menerima hasil. Sudahlah! Saya tidak simpati dengan mereka.”
“Apa yang bisa membuat kamu simpati.”
“Watak baik.”
Atu Yunita tertawa. “Terlalu global.”
“Bersikap biasa saja. Apalagi mahasiswa. Bagi saya, mereka baru akan berarti setelah selesai dan memunyai pilihan karir tertentu. Tapi, Atu lihat, banyak dari aktivis mahasiswa yang memilih terjun ke politik setelah tamat. Bukan lantaran ingin berpolitik, tetapi karena tidak bisa masuk ke pasar dunia kerja. Tak ada yang bisa mereka andalkan. Paling banyak jadi wartawan, karena wartawan butuh kemampuan kritis mereka. Tapi, koran-koran juga tidak bersikap kritis meskipun banyak merekrut aktivis mahasiswa jadi wartawannya.”
“Kau pesimis dalam hidup.”
“Dari tadi Atu selalu mendakwa saya.”
Atu Yunita tergelak.
“Kau sensitive juga ternyata.”
“Tu kan.”
Atu Yunita tergelak lagi.
***
Malam hari ibu menghubungi lewat hand phone. “Kau kerasan, Bram?” Suara ibu lembut. Ia mengangguk. Tentu ibu tak tahu angukan itu. Ibu terus berbicara, menanyakan ini dan itu yang lebih menunjukkan betapa ibu sangat mengkhawatirkannya. Ia bilang ibu tak perlu khawatir. “Saya mudah menyesuaikan diri. Di sini ada Uwa Rahman, ada Atu Yunita.”
Ibu minta ia sampaikan salamnya untuk Uwa Rahman. Soal Atu Yunita, ibu bertanya banyak hal. “Ibu tanya langsung saja. Atu Yunita ada di sini.”
Ia sodorkan hand phone, Atu Yunita menyambut. “Tante....”
Ia tak mau menguping percakapan mereka. Ia menemui Uwa Rahman di ruang keluarga sedang menikmati berita di televisi. Uwa Rahman tak sadar dengan kehadirannya. Ketika ia duduk di sampingnya, Uwa Rahman mengalihkan mata dari pesawat. “Bagaimana pengalaman hari ini?” Nada bicara Uwa Rahman sangat akrab. Ia merindukan keakraban seperti ini.
Pemandangan itu, Benny dengan ayahnya, terlintas lagi. Ia merasa bisa memperoleh pengalaman serupa dari Uwa Rahman. Ia sangat berharap. Benny! Tiba-tiba wajah teman itu melintas. Pasti Benny dan gank mencari-cari. Ia tidak memberitahu mereka. Tidak sempat. Lupa. Semua terjadi begitu cepat. Ia pergi tanpa memberi kabar. Ia tidak berusaha menghubungi mereka, tapi ia berniat suatu saat akan menghubungi mereka.
Sambil menonton televise, Uwa Rahman mengajaknya berdiskusi tentang berita di televise. Ia jarang mengikuti berita, karena baginya itu tidak terlalu penting. Tapi, karena ingin lebih dekat dengan Uwa Rahman, ia memutuskan menjadi pendengar. Sekali-sekali ia mendebat, memberikan argumentasi berbeda dari perspektif orang yang lama di Jakarta. Uwa Rahman mendebatnya. Mereka berdiskusi. Ia pun menyadari bahwa Uwa Rahman sesungguhnya kurang begitu suka dengan tema pembicaraan tentang berita televise, tetapi Uwa Rahman tetap membicarakannya. Ia mengambil kesimpulan bahwa sebetulnya Uwa Rahman hanya berusaha untuk bisa mengobrol dengannya.
Ia tersenyum dalam hati. Ia kagum pada cara Uwa Rahman membangun kedekatan dengan dirinya. Ia teringat pada Benny dan ayahnya, dan kini ia mengalaminya bersama Uwa Rahman. Mereka seperti kawan sebaya. Sekali-sekali terdengar tawa mereka.
“Jangan coba-coba merebut posisi saya dari hati Papa.” Tiba-tiba Atu Yunita muncul. Sambil menyodorkan hand phone, ia melanjutkan komentarnya, “Saya tidak terima kalau kau melakukan itu.”
“Melakukan apa?”
“Merebut hati Papa.”
Mereka pun tertawa. Uwa Rahman mencubit pipi Atu Yunita. “Kau cemburu ya?” Uwa Rahman berusaha mengimbangi. “Tergantung. Kalau kamu buat ulah, Papa akan....”
“Papa!? Kapan Yunita buat ulah.”
Mereka tertawa lagi. Atu Yunita membuat ia iri. Keakrabannya. Kemanjaannya. Ia tidak pernah punya kesempatan seperti itu. Dengan ayah, mustahil. Dengan ibu, juga mustahil. Dengan ayah, ia cuma punya ketegangan. Dengan ibu, ia cuma punya kesibukan.
“Tante kirim salam buat Papa,” kata Atu Yunita.
“Kapan Tantemu ke sini.”
“Jangan berharap, Uwa.” Ia memotong. “Ibu tidak akan pernah punya waktu. Sangat sibuk.”
Uwa Rahman tersenyum. “Jangan begitu. Kesibukannya untuk kamu juga.”
Ia mencoba tersenyum. “Uwa tak mengerti. Semua orang punya orang tua. Semua orang tua punya kesibukan, bekerja, dan berusaha. Semua usaha, memang, untuk anak-anak mereka. Tapi, ini yang berbeda, tidak semua orang tua seperti ibu. Seluruh waktunya tersedot untuk urusan bisnisnya. Ibu lebih banyak di kantor. Kalau tidak, di luar kota. Tiap sebentar ibu harus bertemu kolega bisnisnya. Kolega yang tersebar tidak cuma di seluruh Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Kolega yang membuat ibu sering ke luar negeri.”
Uwa Rahman terdiam. “Nada bicaramu lebih menunjukkan kekesalan.”
Ia terdiam dan mengangguk pelan.
“Jangan begitu sama orang tua.”
“Betul kok, Pa.” Atu Yunita membenarkan. “Tadi Tante pesan, ia mau ke Penang. Katanya, ada pembicaraan bisnis dengan kolega di sana.”
“Penang!?” Uwa Rahman agak heran.
“Ya.” Ia yang menjawab. “Ibu sering ke sana. Kolega bisnisnya di Penang banyak membantu.”
“Bisnis apa?” Uwa Rahman mendesak.
“Uwa pasti tahu. Bisnis lama ibu, ekspor impor.”
Uwa Rahman mengangguk. “Kau sering ditinggal?”
“Uwa pasti mengerti. Bukankah itu alasan ibu mengirim saya ke mari.”
Uwa Rahman diam. Ketika Uwa Rahman ingin mengatakan sesuatu, ia mendadak bangkit. “Saya istirahat dulu, Uwa. Capai jalan seharian.” (bersambung)
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda